Friday, March 6, 2009

Menuju MUI Baru dalam Masyarakat Kaya Infomasi

Berly Martawardaya

Majalah Madina (hal 52-53)
Th II No. 14 2009


Dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III, di Padang Panjang, Sumatra Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghasilkan beberapa keputusan yang mendulang debat hangat dan diskursus publik yang intens. Yang paling ramai dibicarakan, tentulah fatwa mengenai merokok, golput dan yoga.

Kita tahu bahwa bukan kali ini saya fatwa MUI menjadi pembicaraan luas. Sebelumnya, fatwa tentang Ahmadiyah serta pengharaman liberalisma dan sekularisme mendapat sorotan tanjam karena dianggap berpotensi mematikan hak-hak asasi manusia. Kendati fatwa-fatwa tersebut memang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tetap saja fatwa-fatwa tersebut dianggap merupakan bukti intervensi agama terhadap kebijakan publik

Kita perlu bersikap adil. Aspirasi agar pandangan MUI sebagai institusi keagamman memperngaruji kebijakan publik dalam negara berpenduduk mayoritas Islam, tentulah tidak aneh. Corak dan budaya serta sistem pemikiran masyarakat ,yang antara lain dipengaruhi oleh agama, tidak dapat diabaikan dalam pengambilan kebijakan publik.

Avinash K. Dixit, ekonom terkemuka dari Princeton, dalam The Making of Economic Policy (1996) menyatakan bahwa formulasi kebijakan publik adalah proses yang terus berlangsung, tidak sempurna dan tidak lengkap dengan dinamika tersendiri yang perlahan tapi pasti

Kebijakan publik tentu mencerminkan karakter bangsa. Dalam hal ini, sangat wajar kebijakan publik mencerminkan paham keagamaan yang dominan. Kebijakan progresif dan liberal seperti legalisasi aborsi dan perkawinan sesama jenis dapat lolos sebagai produk perundang-undangan di negara dengan mayoritas Protestan seperti Inggris dan Belanda tapi sulit diiterima di negara dengan mayoritas Katolik seperti Italia dan Filipina.

Walau penampakan luarnya terkesan liberal, di Filipini perceraian masih tidak di perbolehkan bagi pemeluk agama Katolik dan alat kontrasepsi sulit didapatkan. Sejalan dengan itu, tidak ada negara dengan mayoritas penduduk Islam yang melegalkan perkawinan sesama jenis.

Dengan demikian terlihat bahwa ini bukanlah hanya soal Islam. Ketiga agama Semitik, dengan masing-masing, variabilitas internalnya memiliki pendekatan berbeda berdasarkan jalur historisitas yang ditempuh.

Dalam tradisi Kisten, walau dalam Injil disebutkan untuk memberikan pada Kaisar apa yang menjadi haknya dan pada Tuhan apa yang milik-Nya, tapi agama Kristen di Eropa memiliki hubungan yang erat dengan negara sejak dikeluarkannya edik toleransi oleh Kaisar Konstantine I pada tahun 313 Masehi.

Setelah Kaisar Theodosius I menyatakan Katolik sebagai agama resmi Kerajaan Romawi maka otoritas negara dan agama baru menjalani pemisahan bertahap seiring bangkitnya Renaissance di abad pertengahan. Paus adalah sekaligus penguasa temporal serta militer pada wilayahnya dan memiliki pengaruh besar pada konstelasi kekuasaan di Eropa. Gerakan Protestan yang dipimpin Martin Luther mempunyai penetrasi pengaruh yang lebih ringan dalam kehidupan bernegara.

Otoritas agama dan negara pada komunitas Yahudi mengalami keterputusan sejak dihancurkannya kuil kedua oleh Romawi pada tahun 70 Masehi. Diaspora Yahudi ke segenap penjuru dunia tanpa perangkat negara meletakkan individu dan keluarga sebagai unit otonom penjaga tradisi agama. Ketika Israel berhasil didirikan, bentuk yang dipilih adalah negara demokrasi sekuler yang tidak memberikan tempat formal untuk otoritas agama pada perumusan kebijakan publik.

Perjalanan sejarah Islam berbeda lagi. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, otoritas keagamaan yang dimiliki para khalifah tidak penuh. Umar diprotes karena tidak membagikan tanah pampasan perang dan Utsman dikritik keras karena menempatkan kerabatnya di posisi tinggi pemerintahan. Ali bahkan berperang dengan para sahabat yang dipimpin Aisyah, istri tersayang Nabi, pada perang Shiffin.

Setelah berdirinya dinasti Umayyah, otoritas keagamaan khalifah kian menurun. Ulama sebagai pewaris otoritas keagaamaan tidak otomatis mendukung khalifah sebagai penguasa temporal serta tidak menjadi bagian integral dari pemerintah. Iran dengan konsep Vilayat-e Faqih memberikan kekuasaan pemerintahan yang amat besar pada ulama adalah perkecualian di dunia Islam modern.

Di umumnya negara modern, para pemuka agama tak memiliki tempat formal dalam pemerintahan dan perumusan kebijakan publik. Namun mereka tetap dapat mempengaruhi kebijkan dengan otoritas moral yang dimilikinya yang dapat mengarahkan opini publik.

Dalam hal ini, institusi keagamaan juga dapat dianalisa sebagai kelompok kepentingan (pressure groups). Gary S. Becker, peraih Nobel Ekonomi dari Universitas Chicago, dalam Theory of Competition among Pressure Groups for Political Influence (1983) menyatakan bahwa kebijakan publik tidak hanya ditentukan oleh preferensi individu tapi juga pada intensitas pengorganisasian isu dan opini publik yang dilakukan oleh kelompok orang dengan agenda yang sama. Salah satu kelompok yang dimaksudkan bisa saja adalah kaum ulama.

Namun juga tidak tepat untuk melihat proses ini sebagai jalan sebagai satu arah dimana hanya kelompok kepentingan yang ingin mempengaruhi kebijakan negara. Sebaliknya juga kerap terjadi, khususnya bila posisi negara lemah, negara akan membutuhkan legitimasi dari kelompok masyarakat untuk mendukung kebijakannya.

Dalam konteks inilah kita melihat bagaimana di Indonesia para ulama kerap memainkan peran penting dalam tujuan kebangsaan dan kenegaraan. Praktik paling dramatis di Indonesia adalah deklarasi seruan jihad fi sabilillah, kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad, yang dikeluarkan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU pada tahun 1945. Dalam deklarasi itu, umat Islam wajib membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah. Sulit dibantah bahwa fatwa ini berperan signifikan dalam menggerakkan perjuangan meraih kemerdekaan.

Keberhasilkan program Keluarga Berencana (KB) adalah contoh lain yang tidak dramatis tapi sangat besar peranannya dalam mengurangi beban pelayanan pendidikan dan kesehatan di Indonesia yang masih terbatas pendapatannya. Fatwa ulama lebih efektif dampaknya ketika sudah ada keraguan berbasis agama dalam menjalankan atau menghindari sesuatu aktivitas.

Sebagai kelompok kepentingan, MUI tentu saja tak harus selalu sejalan dengan pemerintah. Dalam kasus Ahmadiyah, fatwa MUI untuk waktu yang lama tak dipergunakan sebagai dasar kebijakan pemerintah tentang keberadaan aliran keagamaan itu. Karena itulah MUI mengeluarkan lebih dari satu fatwa mengenai Ahmadiyah, yang kemudian di respons dengan aksi kekerasan oleh masyarakat karena pemerintah dianggap tidak kunjung bertindah melarang Ahmadiyah. SKB dua menteri yang dikeluarkan tahun lalu pun sebenarnya tak mengakomodasi sepenuhnya fatwa MUI.

Tidak sedikit juga fatwa MUI yang diabaikan masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur mengeluarkan fatwa haram terhadap pentas acara dangdutan dalam peringatah hari kemerdekaan, namun warga tetap menggelar acara bernuansa dangdut. NU dan Muhammadiyah juga memiliki lembaga fatwa dan perlu diingat bahwa tidak ada stasion TV yang menghentikan acara infotaintment setelah fatwa haram NU tahun 2006.

Kalau begitu, bagaimanakan peran ideal MUI di masa mendatang?

Dengan meningkatnya pendidikan masyarakat dan perbaikan akses informasi maka institusi keagaamaan resmi akan berkurang pengaruhnya. Ada banyak sumber informasi yang lebih mudah di akses daripada menunggu pimpinan agama mengeluarkan fatwanya. Beragam sumber informasi itu juga bisa digunakan masyarakat sebagi bahan pembanding atas fatwa lembaga seperti MUI.

Untuk mencerdaskan masyarakat akan lebih baik bila beberapa institusi keagamaan mengeluarkan pendapatnya sehingga terjadi market place of idea yang terbuka. Akan ideal kalau fatwa pada permasalahan agama yang dianggap penting perlu didampingi dengan analisis dan background paper sehingga dapat ditelaah oleh tiap individu. Dari situ warga dapat menelusuri alur pemikiran yang berujung pada suatu keputusan dan mengambil yang paling sesuai diantara beragam pilihan yang tersedia. Pada kasus yang mempunyai dampak publik maka fatwa menjadi rallying point yang tidak mengikat bagi kelompok masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan negara.

Dalam islam tidak ada sistem kependetaan dan penghubung resmi menuju Tuhan. Tujuan akhir dari MUI dan asosiasi ulama tentulah utuk membimbing masyarakat luas mengambil pilihan yang sesuai dengan ajaran agama. Namun masyarakat kini sudah mulai terbiasa dengan tradisi demokratis yang memberi ruang bagi perbendaan pendapat, sementara mereka sendiri punya cukup pengetahuan agama, pola pikir kritis dan akses informasi untuk mengambil keputusannya sendiri. Ketika semua orang adalah insan kamil dan ulil albab, MUI tampaknya harus serius mempertimbangkan kembali keberadannya.

Allahumma bis shawab.

Penulis adalah kandidat doktor ekonomi di University of Siena- Italia, pengajar ekonomi dan kebijakan publik di FEUI serta aktivis jaringan NU Circle.

No comments: