Thursday, March 26, 2009

Bisakah Indonesia?



Business Week-Indonesia
No 07: 1-8 April 2009


Berly Martawardaya

Nothing to fear but fear it self

Demikian ujar Franklin Delano Roosevelt saat dilantik sebagai Presiden Amerika. Tugasnya tidak ringan, Great Depression telah menelan lebih dari seperlima dari GDP dan melemparkan satu dari tiga pekerja di negara Paman Sam menjadi pengangguran. Fasisme di Eropa dan Komunisme di Rusia memperkuat posisinya sebagai alternatif dari demokrasi.

Setelah menaklukkan rasa takut, FDR menjinakkan depresi ekonomi dengan langkah-langkah kreatif yang bertentangan dengan doktrin kebijakan saat itu. Nazi dan sekutunya pun perlahan dapat digulung di Perang Dunia II sehingga perdamainan dan kemakmuran kembali mewarnai dunia.

Malaysia Boleh!

Negara jiran yang tadinya mengandalkan kelapa sawit dan tambang timah ini ingin menjadi negara industri maju pada 2020. Mahathir Muhammad sebagai Perdana Mentri mendorong rakyatnya untuk bergerak cepat. Melayu harus menjadi sinonim dengan kerja keras dan intelektualitas katanya. Percaya diri bangsa dibangun dengan keringat dan pencapaian nyata.

Pendidikan dijadikan prioritas dan putra bangsa terbaik dikirim untuk belajar ke berbagai negara maju. Dibangunlah infrastruktur tangguh dan administrasi publik yang efisien, perusahaan high-tech seperti Microsoft, Oracle, Intel, datang mengisi Multimedia Super Corridor (MSC) dan ikut mengembangkan entrepreneur lokal.

Yes, we can!

Krisis ekonomi dunia datang lagi. Namun sebagian besar rakyat Amerika justru optimis dengan masa depan. Semua karena seorang Obama dengan ibu dari Kansas dan bapak dari Kenya yang berhasil menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat.

Tapi Obama puas sekedar menjadi simbol perubahan, dia ingin menjadi agent of change. Sebelumnya ditoleransi bahwa rakyat miskin tidak bisa mendapat layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Tidak lagi. Sebelum masa jabatannya berakhir, Amerika akan menjadi negara yang bertanggung jawab terhadap warganya. Kaya atau miskin.

Bisakah Indonesia?

Kita sudah berkali-kali tertinggal kereta. Pada tahun 80-an, Indonesia adalah bagian dari Newly industrialized Country (NIC) bersama Taiwan, Malaysia, Thailand, Filipina dan Cina. Sekarang semuanya telah memiliki pendapatan sekian kali lipat.

Dampak krismon paling parah di Indonesia dengan pertumbuhan minus 13 % pada tahun 1998 dan paling lama pulih dibandingkan Malaysia, Korsel dan Thailand. Perubahan sistem politik juga memakan waktu dan biaya yang cukup besar. Baru sekarang Bill Liddle,
Indonesianis ternama dari Amerika, menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi kita sudah selesai.

Goldman Sachs pada tahun 2005 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari Next-11 (N-11) yang merupakan pendorong ekonomi dunia masa depan karena besarnya potensi penduduk dan kapasitas industri. Tidak ketinggalan, PricewaterhouseCoopers pada tahun 2006 memproyeksikan Indonesia bersama Cina, India, Brazil, Rusia, Meksiko and Turki untuk melampaui G-7 (Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Itali dan Kanada) pada tahun 2050.

Tapi bukankah Indonesia hanya menempati ranking 58 pada Global Competitiveness Report dan 107 pada Human Development Index? Sulitnya menjalankan usaha di Indonesia tercermin pada nomor urut 129 di survey Bank Dunia. Indonesia bahkan termasuk negara dengan tingkat new business terendah di dunia.

Tapi potensi yang besar dan kondisi yang belum maksimal menunjukkan bahwa the only way is up. Indonesia diproyeksikan tumbuh 3-5 % di 2009. Dalam satu grup bersama beberapa negara seperti Cina dan India yang tidak banyak terpengaruh krisis global karena pasar domestik yang besar.

Layunya gerak perusahaan multinasonal yang bermasalah di negaranya membuka peluang bagi pengusaha lokal untuk merebut kembali pasar lokal. Turunnya rupiah juga membuat ekspor Indonesia lebih kompetitif di dunia. Bebasnya Indonesia dari kekang IMF memungkinkan kita untuk mengalokasikan dana demi perbaiki infrastruktur dan layanan sosial.

Dani Rodrik dari Harvard menggunakan kerangka growth diagnostic untuk menganalisa pertumbuhan ekonomi. Penyingkiran berbagai bottle neck dapat menampilkan potensi yang terpendam dan memberikan boost besar bagi perekonomian

Saatnya bagi Indonesia untuk serius membereskan birokrasi, pendidikan dan kesehatan demi menempati posisi yang sepantasnya.

Mungkin juga kita bisa.


Dosen FEUI dan Kandidat Doktor Ekonomi di University of Siena, Italia

Sunday, March 22, 2009

Don't waste the stimulus

The Jakarta Post (original link)

Berly Martawardaya , Jakarta | Sun, 03/22/2009 2:02 PM | Opinion

Never let a serious crisis go to waste, said Barack Obama's chief of staff Rahm Emanuel, as he directed the multi trillion dollar stimulus bill and budget, not only to get America out of the recession, but also to alter its fundamental structure.

Although America is the richest country in the world, it is also the world's largest polluter, whose population has one of the lowest levels of education and access to healthcare in the developed world. Obama and his team are pulling all the levers available to change this. Now, the world can look forward to a greener America, with healthier and more educated citizens.

Charles Krauthammer, a neoconservative and Washington Post columnist, said Obama was planning to remake the American social contract.

What about Indonesia? What would a Rp 73.3 trillion stimulus package do to this country?

It depends. Looking at the way the current stimulus approved by parliament is structured, much less than we think.

During economic downturns, both consumers and producers increase their preference for liquidity. Consumers prefer to hold cash in case things get worse, while producers are reluctant to invest since the near future is bleak.

But the productive capacity is still there. The factories and workers are ready to produce. If only the demand was there.

That's where government comes in, to break John Maynard Keynes' paradox of thrift.

According to Keynes, the government is the only agent during a depression with the long-term vision to jump-start the economy. It can afford to run a deficit in the form of counter cyclical economic policy. When the economy grows again, the surplus is used to pay accumulated debt.

But not all economic stimuli are created equal. Larry Summer, Obama's chief economic advisor, stated that a good stimulus should be timely, targeted and temporary.

To spare the economy from severe V- or U-shaped downturn, the stimulus needs to be implemented almost immediately. As income and spending power are inversely related, the main part of the stimulus needs to be targeted toward low-income earners. Since the downturn is temporary, the remedy also needs to be temporary so as to avoid high inflation in the near future.

In order to convince Republicans, who always insist on tax cuts, to endorse his plan, Obama designed a stimulus package made up of 40 percent tax cuts and the rest in government spending.

Top-notch economists and Nobel Prize winners Paul Krugman and Joseph Stiglitz have previously pointed out that policies based on tax cuts are ineffective, as during a recession, people tend to save a higher proportion of their income. The richer a person is, the higher the savings and vice versa.

As for Indonesia, 76 percent of its stimulus package comes from tax cuts, mostly permanent.

The Rp 56.3 trillion tax-cut is a combination of personal income tax, corporate tax, sales tax as well as import tariff cuts. While import tariff cuts could have a higher effect if properly targeted to support exporting firms, empirical studies have shown that the other types of cuts have a relatively low impact.

Bearing in mind Indonesia's small personal tax base, with only 5 percent of the population, or 12.7 million registered tax payers, most of the tax cuts end up lining the coffers of large corporations.

Yes, it is true that our stimulus contains Rp 17 trillion directed to infrastructure spending. Many parts of Indonesia certainly need better roads and buildings to improve commerce. And yes, the 2009 budget also includes salary increases for state employees, teachers and cash transfers (BLT).

But our stimulus program is more notable for what it lacks, rather than what it contains.

It lacks a coherent vision to remake the Indonesian social contract. It surely does not address our oil dependency and deficient public health system. It's quite puzzling that a government facing a near election is not taking advantage of this opportunity.

This is the worst of times, yet the best of times too.

With multinational firms in retreat, now is the chance to strengthen our domestic companies. While imports are getting more expensive, our products are becoming more competitive to export. Now that dinosaur corporations with old business models are facing extinction, it is time to cut government red tape and support entrepreneurship.

And what about skills training?

The Finance Ministry needs to work with other technical departments to increase the proportion of government spending. A monitoring and evaluation framework, with the participation of civil society, needs to be put firmly in place to ensure the money goes where it should and the impact can be carefully calculated for future programs.

One of the key components of economic recovery that has not been addressed is monetary policy. There is room to lower interest rates more aggressively, due to the deflationary trend in commodity and energy prices.

But the declining effectiveness of the transmission mechanism must be taken seriously. It is useless to have more money in banks if it is not lent, or if it is lent at a punitive rate. If major banks cannot be persuaded to lower their lending rates, Bank Indonesia needs to be creative and find ways to increase the lending rate quickly or directly.

On the international side, Indonesia should join hands with other developing countries in pressuring developed countries to abolish their agricultural subsidies that have been a hindrance to our exports.

Indonesia still has time to revise its stimulus or could end up wasting it.

The writer is a lecturer at FEUI and PhD candidate in Economics at the University of Siena-Italy and a member of the NU Professional Circle

Saturday, March 14, 2009

Lanjutkan dengan SBY-Ani?



Majalah Gatra

No 18 tahun XV. 12-18 Maret 2009
Rubrik Perspektif (hal 106 - original link)

Berly Martawardaya

Mari kita dukung terus. Lanjutkan!

Begitulah seruan Partai Demokrat di berbagai media massa dalam beberapa bulan ini. Iklan politik itu berupaya menyampaikan pencapaian pemerintahan Presiden SBY dan mengajak rakyat untuk melanjutkan pemerintahan di periode 2009-2014.

Pertanyaannya, SBY akan melanjutkan dengan siapa? SBY dan JK banyak mengeluarkan sinyal dan isyarat bahwa duet ini akan dipertahankan untuk periode kedua. Tapi belakangan JK mendapat banyak tekanan dari internal Golkar supaya partainya memajukan calon presiden (capres) jika memenangkan pemilu legislatif. Bagai buah simalakama, kekalahan pun sulit di bendung jika maju sendirian sebagai capres. Namun jika tidak maju akan memicu perpecahan internal di Golkar.

Di lain pihak, popularitas SBY cukup tinggi. Penurunan harga minyak dunia memungkinan pemotongan harga BBM domestik yang disambut baik. Dampak krisis ekonomi global ke Indonesia relatif lebih kecil dari negara tetangga. Redamnya isu separatisme di Aceh dan Papua juga menjadi nilai plus. Seperti layaknya pemilu dengan incumbent sebagai salah satu kandidat, pemilu berikut adalah referendum atas pemerintah yang sedang berjalan.

Jika Partai Demokrat dan koalisinya mendapat suara mendekati 20 %, terbuka kemungkinan mengusung Ani, panggilan akrab Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai calon wakil presiden (cawapres). Pooling di website harian Bisnis Indonesia menunjukkan pasangan ini lebih didukung dari SBY-JK. Pada periode lima tahun mendatang ekonomi dan resesi global tetap akan menjadi permasalahan besar sehingga duet wapres-cawapres perlu memiliki kompetensi ekonomi.

Bukan pertama kali ekonom menjadi pimpinan politik. Jan Peter Balkenende, Perdana Menteri Belanda sejak tahun 2002, adalah profesor ekonomi di Free University Amsterdam sebelum terjun ke politik. Reformasi pasar tenaga kerja dan pensiun yang dilakukannya telah di puji para ekonom karena beresiko politik dalam jangka pendek tapi memiliki pengaruh positif pada jangka panjang. Balkenende pun sempat mengasah insting politiknya sebagai anggota parlemen beberapa periode sebelum menjadi pimpinan pemerintahan.

Namun Ani perlu mengkaji pilihan yang terbuka dan berhati-hati untuk tidak jatuh pada jebakan "Peter Principle", Formulasi yang dinyatakan oleh Dr. Laurence J. Peter and Raymond Hull, bahwa seseorang akan dinaikkan posisi dan tanggung jawab sampai satu tingkat di luar batas kompetensinya.

Para pendukung SBY, baik di Partai Demokrat atau organ informal seperti Jaringan Nusantara, telah membuka pintu untuk SBY-Ani sebagai pasangan capres-cawapres. Bahkan PKS juga telah memberi sinyal positif. Latar belakang keluarga Ani yang aktivis PNI diharapkan menjadi daya tarik bagi pemilih nasionalis dan perempuan yang sedang di kejar oleh PDI Perjuangan.

Pencapaian Ani dalam mengemudikan ekonomi Indonesia, sebagai Ketua Bappenas, Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu cukup nyata. Pengakuan sebagai Menteri Keuangan terbaik dunia tahun 2006 datang dari Euromoney, majalah keuangan terkemuka di Eropa. Majalah Forbes menempatkan Ani pada peringkat ke-23 wanita paling berpengaruh di dunia.

Ani juga menunjukkan kepemimpinan dan integritas dalam berbagai kesempatan. Pembersihan di institusi Bea Cukai dan reformasi pajak menyelamatkan kekayaan negara dan meningkatkan competitivenes. Konfrontasi suspensi saham Bumi dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang memiliki dukungan politik kuat menunjukkan jabatan bukan segalanya bagi Ani.

Namun bila sebelumnya Sri Mulyani dapat fokus pada perbaikan ekonomi dan permasalahan teknis, sebagai cawapres ia harus berhadapan dengan strategi politik yang abstrak dan komunikasi publik dengan audiens yang beragam latar belakang pendidikannya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Ani untuk keluar dari comfort zone. Wapres pertama Indonesia, Mohammad Hatta, selain sebagai ekonom juga memiliki basis politik dan regional serta keterlibatan panjang dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Herbert Feith dalam karya besarnya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, membagi peran dwitunggal Sukarno-Hatta sebagai administrator dan solidarity maker.

Bagi SBY, apakah nilai positif memiliki wapres yang loyal dalam pemerintahan sebanding dengan hilangnya dukungan mesin politik ketika berkampanye dan stabilitas ketika memerintah? Golkar tidak akan keluar dari tiga besar pemenang pemilu legislatif dan akan sulit menggolkan kebijakan pemerintah tanpa dukungannya.

Dilemma ini dapat diatasi jika Partai Demokrat mampu membangun koalisi luas dengan berbagai parpol minus Golkar dan PDI Perjuangan yang “rela” Ani menjadi cawapres.
Tapi ada kemungkinan lain dari pemunculan pasangan SBY-Ani. Yaitu demi meningkatkan posisi tawar Partai Demokrat dan menekan konsesi dari Golkar jika SBY-JK dilanjutkan. Politics is the art of possibilies. Lanjutkan!


Penulis adalah Dosen FEUI dan alumnus Free University Amsterdam

Friday, March 13, 2009

Menelusuri Dana Kampanye

Koran SINDO (original link - berlangganan)
Jumat, 12 Maret 2009

Berly Martawardaya

Demikian saran DeepThroat,nama samaran pejabat tinggi di pemerintahan Nixon yang menentang praktik kotornya, kepada Carl Bernstein Bob Woodward.

Informasi ini membawa dua wartawan muda idealis di koran Washington Post menelusuri skandal di balik pembobolan kantor pusat Partai Demokrat di kompleks Watergate di Washington pada bulan Agustus 1972. Pelacakan rekening bank tersangka pembobolan belakangan membongkar konspirasi ilegal yang dilakukan CREEP (Comittee to Re-elect President) untuk mengegolkan Nixon pada periode kedua kepresidenan.

Alur dana menuju pada penipuan kampanye, spionase politik,sabotase,penyadapan, dan penggelapan pajak.Tidak sampai dua tahun setelahnya, Nixon mengundurkan diri sebagai presiden dan wakilnya, Gerald Ford, lalu disumpah sebagai pengganti. Episode sejarah di atas menunjukkan pentingnya transparansi finansial dan transaksi.Tanpa kejelasan kepemilikan rekening, sulit untuk melacak siapa pelaku dan otak kejahatan yang sesungguhnya. KPU dan demokrasi Indonesia menghadapi tantangan besar untuk menuntut transparansi dari partai politik.

Baru saja para partai politik melaporkan saldo awal rekening kampanye mereka sesuai ketentuan perundangan. Bagai pembagian bobot di olahraga tinju, di kelas berat di atas Rp5 miliar hanya ada Partai Hanura, Demokrat, PKS, dan Gerindra, sedangkan di kelas bulu kurang dari 5 juta terdapat 7 partai. Partai-partai dengan sejarah panjang dalam bangsa ini seperti Golkar, PDIP, dan PPP berada di tengah-tengah dengan dana cekak.

Namun, apakah memang begitu adanya? Tampaknya ada kejanggalan di sini.Menurut hasil survei Nielsen Media Research Indonesia, belanja iklan politik sepanjang 2008 menembus rekor baru, yaitu Rp2,208 triliun. Melonjak naik 66% dibandingkan tahun 2007,Rp1,327 triliun.Adapun belanja pada Pemilu 2004 kurang dari seperlima dari 2008. Tidak terlalu bombastis jika total pengeluaran pada Pemilu 2009 dapat melebihi Rp3 triliun. Dana yang hanya maksimal Rp15 miliar tentu hanya titik kecil dalam statistik itu. Angka itu pun jelas tak akan mampu membeli spot iklan di televisi yang jika ditotal mencapai berjam-jam.

***

Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam penyikapannya mempertanyakan minimnya informasi yang dibuka.Dengan hanya dilaporkannya nomor rekening dan saldo membuat rancu apakah kepemilikan atas nama pribadi atau partai. Apakah untuk mengetahui nama pemilik harus ada aksi dari kejaksaan? Lebih parah lagi adalah tidak dilampirkannya pemasukan dan pengeluaran kampanye selama ini.

Dalam prinsip laporan finansial ada laporan kondisi keuangan (income statement) dan ada arus kas (cash flow).Yang kedua ini tidak dilaporkan oleh partai, padahal tidak kalah pentingnya. Laporan ini juga tidak merespons perubahan paradigma setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menggeser pusat kegiatan kampanye dari partai ke individu calon anggota legislatif (caleg).

Dalam sistem suara terbanyak, para caleg akan berkompetisi tidak saja dengan caleg dari partai lain,tapi juga dari partai sendiri. Pelaporan rekening partai tidak mencerminkan dana kampanye yang dikeluarkan. Bahkan dapat dipastikan dana partai hanya merupakan bagian kecil dari total dana kampanye. Harusnya tiap caleg juga melaporkan rekening yang digunakan untuk menampung aliran dana kampanye. Peraturan KPU No 01/2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Partai Politik memberikan aturan main yang jelas di banyak hal,tapi juga masih memiliki beberapa kerancuan.

Pasal 11 menyatakan bahwa dana kampanye yang perlu dilaporkan juga meliputi jasa yang didefinisikan sebagai pelayanan yang dilakukan oleh pihak lain dan dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar. Siapa yang menentukan harga pasar yang wajar ini? Sebaiknya tiap KPU di kabupaten/ kota sejak dini menentukan standar harga lokal untuk bentuk jasa yang diperkirakan akan muncul sehingga tidak ada over/under pricingdi kemudian hari.

Perlu dipertanyakan apakah KPU familier dengan proses audit karena waktu yang diberikan amatlah pendek. Paling lama 30 hari setelah laporan keuangan disampaikan oleh parpol, hasil audit harus sudah disampaikan (Pasal 32). Padahal pembukuan dana kampanye pemilu sudah dimulai tiga hari setelah partai politik ditetapkan sebagai peserta pemilu (Pasal 14). Sejak bulan Agustus 2008 ketika 38 peserta pemilu telah ditetapkan, berarti pencatatan dana telah dimulai dan dapat mulai diaudit.

Dalam proses audit dikenal istilah mid-term dan quarterly review di mana auditor sudah memegang dan menganalisis laporan keuangan walaupun belum difinalisasi. Reviu ketika transaksi masih berjalan memungkinkan auditor untuk mengungkap proses yang tidak tepat sehingga dapat diperbaiki setelahnya. Metode ini juga meringankan kerja di akhir periode karena hanya perlu update terhadap transaksi yang baru dilakukan setelah reviu terakhir.

Mengenal metode pencatatan parpol dan melakukan semua proses audit yang standar pada transaksi yang demikian beragam sangatlah sulit dan berisiko. Mengingat sanksinya adalah pembatalan penunjukan (Pasal 33),sangat mungkin banyak kantor akuntan publik (KAP) tidak akan mau terlibat pada audit parpol daripada tidak mendapat fee pada ujungnya.

***

KPU seperti tidak sadar bahwa terdapat perbedaan kapasitas dan kompetensi antara berbagai KAP.Pada Pasal 29 ditetapkan bahwa tiap KAP mengaudit 1 (satu) laporan dana kampanye partai politik tingkat pusat dan/atau 1 (satu) laporan dana kampanye untuk 1 (satu) partai politik tingkat provinsi dan mengaudit laporan dana kampanye partai politik yang sama pada tingkat kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Berarti dibutuhkan paling tidak 38 KAP yang berbeda untuk melaksanakan amanat pasal itu. Padahal sudah menjadi praktik umum untuk satu KAP melaksanakan audit bagi beberapa perusahaan. Apalagi KAP yang memiliki standar internasional di Indonesia dapat terhitung dengan jari tangan.Jangan sampai timbul kesan bahwa ketentuan ini untuk bagibagi proyek dengan mengebelakangkan kualitas. Namun yang paling membuat geregetan adalah mengenai sanksi (Pasal 36).

Sekilas sepertinya sudah tepat bahwa jika DPP, DPD provinsi, dan DPD kabupaten/kota atau calon anggota DPD tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada KAP yang ditunjuk KPU sampai dengan batas waktu,partai politik atau calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya sebagai anggota parlemen.Namun tidak ada ketentuan jelas mengenai ketepatan dan keakuratan laporan keuangan. Asal sudah menyampaikannya, tinggal melenggang menjadi wakil rakyat yang terhormat.

Merujuk pada berbagai permasalahan di atas, Peraturan KPU No 01/ 2009 masih memiliki kelemahan yang dapat fatal akibatnya bagi demokrasi Indonesia. Kita tidak ingin kursi parlemen dapat dibeli dengan uang karena kebijakan yang dihasilkan akan besar dampaknya bagi kehidupan rakyat. Sebelum direvisi secara mendasar untuk melacak arus uang secara detail dan komprehensif, KPU tidak bisa mendapatkan opini tertinggi gaya KAP,yaitu ”wajar tanpa syarat.”(*)

Penulis adalah Dosen FEUI dan Kandidat Doktor Ekonomi di University of Siena, Italia

Wednesday, March 11, 2009

Election candidates: Who are these people?


The Jakarta Post (original link)
Berly Martawardaya , JAKARTA | Wed, 03/11/2009 10:49 AM | Opinion

They are everywhere!

We cannot go anywhere or even take a sneak peak out of the window without seeing one of the gazillion advertisements for political candidates seeking legislative seats in the upcoming elections.

They invade our cozy afternoon walk around our neighborhood. Few trees are safe from being a hanging place for a smiling face asking for my vote. No matter where we go, the situation is similar if not worse.

Don’t get me wrong, I am serious about my civic responsibility and never miss voting in elections, even when I was studying abroad. I have every interest in exercising my rights and ensuring the next government is competent and responsive to people’s needs.

But who are these people?

I usually know the person in the background, since they are either the current or former presidents of Indonesia. Parties with no presidential association put a picture of their chairman to shadow their own candidate. Some others even put Obama, David Beckham or even their famous child. But I don’t know the candidates.

None of them state who they are, what they have done and what they will do to deserve my vote. Most only put their name, academic degree and number on the ballot with their party affiliation. As if I only need to be reminded to vote for a candidate, and not why.

During the American presidential election, it was hard not to know the candidates. Media dug deep to get the candidates’ background details. We know of McCain’s heroic deeds in Vietnam and how he refused to get special treatment from the Vietcong because his father was an admiral. We know how Obama did not use his Harvard law degree to get a high-paying job but became a community organizer instead.

This get-to-know process, albeit on a smaller scale, also worked with individual legislative candidates. That is how Obama and McCain became senators in the first place.

They sold their life stories and invited voters to get acquainted with them. We even know how they met their wives. To remain aloof and distance was a sure recipe for defeat.

After the constitutional court decision, this is the first time candidates have to fight for their own share of vote instead of relying on big names. They could be forgiven for not adapting to the rules of political marketing yet, but the voter might not forgive them if they do not learn quickly enough.

John Quelch, a professor at Harvard Business School, pointed to similarities between commercial and political marketing. Both need to focus on current and emerging customer needs, developing products and service solutions, informing interested citizens about them and making them easily accessible. These messages need to be delivered consistently over time.

Political candidates understandably need to be careful in taking positions on issues. While commercial marketing can focus on and profit from a single niche or group, candidates must win enough votes from their constituents to get seated in parliament. They cannot afford to antagonize any significant segment of potential voters.

Putting up a photograph of Obama or Beckham is not likely to offend anyone. But neither is showing concern and priority over the nation’s more pressing needs such as poverty, health or education.

They are either being too careful or simply don’t have a clue. If this situation continues, parliament will be filled with local leaders with deep social and religious roots. Which is not necessarily a bad idea.

Even the leader of each party is not doing well in the recognition department. Aside from the incumbent and former presidential candidates, none make us feel like we know them and how they have got this far. Instead they are trapped in a one-line stereotype (military, businessman, or worse…politician) that they need to expand upon.

Paul Waldman (2007) conducted a study that successful contenders construct their candidacies as a three-part narrative: Part one tells what is wrong with the country and its government, part two describes the place they want to take the country, and part three explains why they, and only they, can deliver us from the bleak present to the brighter tomorrow they promise.

Why do personal stories matter?

Because political candidates already have the stigma of being willing to say anything to get elected. By getting acquainted with their life journeys and arcs of experience, it is easier to identify with candidates and project how they will govern if elected.

Of course, many deviate from their previous life paths, but voters need to know and trust the person while not always agreeing with every position they are taking on issues.

According to AC Nielsen, the spending for political advertising was Rp 35 billion in 1999 and skyrocketed to Rp 3 trillion in 2004. Even with the global crisis and economic downturn looming, this cycle of elections is likely to break that limit.

Use the money well, introduce us to the candidates.


The writer is a lecturer at FEUI, a PhD candidate in Economics at the University of Siena, Italy and a member of the NU professional circle

Friday, March 6, 2009

Menuju MUI Baru dalam Masyarakat Kaya Infomasi

Berly Martawardaya

Majalah Madina (hal 52-53)
Th II No. 14 2009


Dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III, di Padang Panjang, Sumatra Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghasilkan beberapa keputusan yang mendulang debat hangat dan diskursus publik yang intens. Yang paling ramai dibicarakan, tentulah fatwa mengenai merokok, golput dan yoga.

Kita tahu bahwa bukan kali ini saya fatwa MUI menjadi pembicaraan luas. Sebelumnya, fatwa tentang Ahmadiyah serta pengharaman liberalisma dan sekularisme mendapat sorotan tanjam karena dianggap berpotensi mematikan hak-hak asasi manusia. Kendati fatwa-fatwa tersebut memang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tetap saja fatwa-fatwa tersebut dianggap merupakan bukti intervensi agama terhadap kebijakan publik

Kita perlu bersikap adil. Aspirasi agar pandangan MUI sebagai institusi keagamman memperngaruji kebijakan publik dalam negara berpenduduk mayoritas Islam, tentulah tidak aneh. Corak dan budaya serta sistem pemikiran masyarakat ,yang antara lain dipengaruhi oleh agama, tidak dapat diabaikan dalam pengambilan kebijakan publik.

Avinash K. Dixit, ekonom terkemuka dari Princeton, dalam The Making of Economic Policy (1996) menyatakan bahwa formulasi kebijakan publik adalah proses yang terus berlangsung, tidak sempurna dan tidak lengkap dengan dinamika tersendiri yang perlahan tapi pasti

Kebijakan publik tentu mencerminkan karakter bangsa. Dalam hal ini, sangat wajar kebijakan publik mencerminkan paham keagamaan yang dominan. Kebijakan progresif dan liberal seperti legalisasi aborsi dan perkawinan sesama jenis dapat lolos sebagai produk perundang-undangan di negara dengan mayoritas Protestan seperti Inggris dan Belanda tapi sulit diiterima di negara dengan mayoritas Katolik seperti Italia dan Filipina.

Walau penampakan luarnya terkesan liberal, di Filipini perceraian masih tidak di perbolehkan bagi pemeluk agama Katolik dan alat kontrasepsi sulit didapatkan. Sejalan dengan itu, tidak ada negara dengan mayoritas penduduk Islam yang melegalkan perkawinan sesama jenis.

Dengan demikian terlihat bahwa ini bukanlah hanya soal Islam. Ketiga agama Semitik, dengan masing-masing, variabilitas internalnya memiliki pendekatan berbeda berdasarkan jalur historisitas yang ditempuh.

Dalam tradisi Kisten, walau dalam Injil disebutkan untuk memberikan pada Kaisar apa yang menjadi haknya dan pada Tuhan apa yang milik-Nya, tapi agama Kristen di Eropa memiliki hubungan yang erat dengan negara sejak dikeluarkannya edik toleransi oleh Kaisar Konstantine I pada tahun 313 Masehi.

Setelah Kaisar Theodosius I menyatakan Katolik sebagai agama resmi Kerajaan Romawi maka otoritas negara dan agama baru menjalani pemisahan bertahap seiring bangkitnya Renaissance di abad pertengahan. Paus adalah sekaligus penguasa temporal serta militer pada wilayahnya dan memiliki pengaruh besar pada konstelasi kekuasaan di Eropa. Gerakan Protestan yang dipimpin Martin Luther mempunyai penetrasi pengaruh yang lebih ringan dalam kehidupan bernegara.

Otoritas agama dan negara pada komunitas Yahudi mengalami keterputusan sejak dihancurkannya kuil kedua oleh Romawi pada tahun 70 Masehi. Diaspora Yahudi ke segenap penjuru dunia tanpa perangkat negara meletakkan individu dan keluarga sebagai unit otonom penjaga tradisi agama. Ketika Israel berhasil didirikan, bentuk yang dipilih adalah negara demokrasi sekuler yang tidak memberikan tempat formal untuk otoritas agama pada perumusan kebijakan publik.

Perjalanan sejarah Islam berbeda lagi. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, otoritas keagamaan yang dimiliki para khalifah tidak penuh. Umar diprotes karena tidak membagikan tanah pampasan perang dan Utsman dikritik keras karena menempatkan kerabatnya di posisi tinggi pemerintahan. Ali bahkan berperang dengan para sahabat yang dipimpin Aisyah, istri tersayang Nabi, pada perang Shiffin.

Setelah berdirinya dinasti Umayyah, otoritas keagamaan khalifah kian menurun. Ulama sebagai pewaris otoritas keagaamaan tidak otomatis mendukung khalifah sebagai penguasa temporal serta tidak menjadi bagian integral dari pemerintah. Iran dengan konsep Vilayat-e Faqih memberikan kekuasaan pemerintahan yang amat besar pada ulama adalah perkecualian di dunia Islam modern.

Di umumnya negara modern, para pemuka agama tak memiliki tempat formal dalam pemerintahan dan perumusan kebijakan publik. Namun mereka tetap dapat mempengaruhi kebijkan dengan otoritas moral yang dimilikinya yang dapat mengarahkan opini publik.

Dalam hal ini, institusi keagamaan juga dapat dianalisa sebagai kelompok kepentingan (pressure groups). Gary S. Becker, peraih Nobel Ekonomi dari Universitas Chicago, dalam Theory of Competition among Pressure Groups for Political Influence (1983) menyatakan bahwa kebijakan publik tidak hanya ditentukan oleh preferensi individu tapi juga pada intensitas pengorganisasian isu dan opini publik yang dilakukan oleh kelompok orang dengan agenda yang sama. Salah satu kelompok yang dimaksudkan bisa saja adalah kaum ulama.

Namun juga tidak tepat untuk melihat proses ini sebagai jalan sebagai satu arah dimana hanya kelompok kepentingan yang ingin mempengaruhi kebijakan negara. Sebaliknya juga kerap terjadi, khususnya bila posisi negara lemah, negara akan membutuhkan legitimasi dari kelompok masyarakat untuk mendukung kebijakannya.

Dalam konteks inilah kita melihat bagaimana di Indonesia para ulama kerap memainkan peran penting dalam tujuan kebangsaan dan kenegaraan. Praktik paling dramatis di Indonesia adalah deklarasi seruan jihad fi sabilillah, kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad, yang dikeluarkan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU pada tahun 1945. Dalam deklarasi itu, umat Islam wajib membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika berhadapan dengan penjajah. Sulit dibantah bahwa fatwa ini berperan signifikan dalam menggerakkan perjuangan meraih kemerdekaan.

Keberhasilkan program Keluarga Berencana (KB) adalah contoh lain yang tidak dramatis tapi sangat besar peranannya dalam mengurangi beban pelayanan pendidikan dan kesehatan di Indonesia yang masih terbatas pendapatannya. Fatwa ulama lebih efektif dampaknya ketika sudah ada keraguan berbasis agama dalam menjalankan atau menghindari sesuatu aktivitas.

Sebagai kelompok kepentingan, MUI tentu saja tak harus selalu sejalan dengan pemerintah. Dalam kasus Ahmadiyah, fatwa MUI untuk waktu yang lama tak dipergunakan sebagai dasar kebijakan pemerintah tentang keberadaan aliran keagamaan itu. Karena itulah MUI mengeluarkan lebih dari satu fatwa mengenai Ahmadiyah, yang kemudian di respons dengan aksi kekerasan oleh masyarakat karena pemerintah dianggap tidak kunjung bertindah melarang Ahmadiyah. SKB dua menteri yang dikeluarkan tahun lalu pun sebenarnya tak mengakomodasi sepenuhnya fatwa MUI.

Tidak sedikit juga fatwa MUI yang diabaikan masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cianjur mengeluarkan fatwa haram terhadap pentas acara dangdutan dalam peringatah hari kemerdekaan, namun warga tetap menggelar acara bernuansa dangdut. NU dan Muhammadiyah juga memiliki lembaga fatwa dan perlu diingat bahwa tidak ada stasion TV yang menghentikan acara infotaintment setelah fatwa haram NU tahun 2006.

Kalau begitu, bagaimanakan peran ideal MUI di masa mendatang?

Dengan meningkatnya pendidikan masyarakat dan perbaikan akses informasi maka institusi keagaamaan resmi akan berkurang pengaruhnya. Ada banyak sumber informasi yang lebih mudah di akses daripada menunggu pimpinan agama mengeluarkan fatwanya. Beragam sumber informasi itu juga bisa digunakan masyarakat sebagi bahan pembanding atas fatwa lembaga seperti MUI.

Untuk mencerdaskan masyarakat akan lebih baik bila beberapa institusi keagamaan mengeluarkan pendapatnya sehingga terjadi market place of idea yang terbuka. Akan ideal kalau fatwa pada permasalahan agama yang dianggap penting perlu didampingi dengan analisis dan background paper sehingga dapat ditelaah oleh tiap individu. Dari situ warga dapat menelusuri alur pemikiran yang berujung pada suatu keputusan dan mengambil yang paling sesuai diantara beragam pilihan yang tersedia. Pada kasus yang mempunyai dampak publik maka fatwa menjadi rallying point yang tidak mengikat bagi kelompok masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan negara.

Dalam islam tidak ada sistem kependetaan dan penghubung resmi menuju Tuhan. Tujuan akhir dari MUI dan asosiasi ulama tentulah utuk membimbing masyarakat luas mengambil pilihan yang sesuai dengan ajaran agama. Namun masyarakat kini sudah mulai terbiasa dengan tradisi demokratis yang memberi ruang bagi perbendaan pendapat, sementara mereka sendiri punya cukup pengetahuan agama, pola pikir kritis dan akses informasi untuk mengambil keputusannya sendiri. Ketika semua orang adalah insan kamil dan ulil albab, MUI tampaknya harus serius mempertimbangkan kembali keberadannya.

Allahumma bis shawab.

Penulis adalah kandidat doktor ekonomi di University of Siena- Italia, pengajar ekonomi dan kebijakan publik di FEUI serta aktivis jaringan NU Circle.