Monday, July 25, 2016

Tax Amnesty, APBN-P & Hantu 3 Persen

Harian Sindo, 14 Juli 2016 (original link)


Dua undang-undang yang berpengaruh besar pada kondisi fiskal 2016 telah disahkan. Tax Amnesty dan APBN-P 2016 diketuk palu oleh DPR menjelang libur Lebaran. 

Apa saja isi dua kebijakan tersebut dan bagaimana dampaknya bagi perekonomian Indonesia? Setelah sekitar setengah tahun di dengungkan, akhirnya tax amnesty yang diajukan pemerintah lolos di DPR. Pada prinsipnya, kebijakan ini mengampuni pidana pajak yang dilakukan individual dan perusahaan dengan persyaratan dana tersebut ditanam dalam instrumen yang ditentukan negara sampai paling tidak tiga tahun ke depan. 

Detail lebih persisnya akan tercantum di peraturan menteri keuangan (PMK) yang terbit setelah Lebaran. Perbedaan estimasi penerimaan yang cukup jauh antara Kementerian Keuangan (Rp165 triliun) dan Bank Indonesia (Rp50 triliun) tentu menjadi perhatian publik. Angka dari Kemenkeu yang dimasukkan ke APBN-P 2016 sehingga bila tidak tercapai akan menambah defisit fiskal yang saat ini diproyeksikan mencapai 2,35% dari PDB. 

Ketua Badan Anggaran DPR Kahar Muzakir mengatakan, berdasarkan besaran asumsi dasar yang telah disepakati maka pendapatan negara dan hibah dalam APBN-P Tahun Anggaran 2016 sebesar Rp1.786.225,0 triliun, yang terdiri atas penerimaan dalam negeri Rp1.784.249,9 triliun dan penerimaan hibah Rp1.975,2 triliun. 

”Pendapatan dalam negeri terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.539.166,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp245.083,6 triliun,” kata Kahar dalam laporannya dirapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6). Realisasi penerimaan pajak pada 2015 mencapai Rp1.235,8 triliun atau sekitar 83% dari target Rp1.489,3 triliun. Namun jika memperhitungkan kas yang dialokasikan untuk restitusi pajak, realisasi pajak neto mencapai Rp1.055 triliun. 

Adapun realisasi pendapatan negara 2015 mencapai Rp1.491,5 triliun atau 84,7% dari target Rp1.761,6 triliun. Penerimaan tersebut merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak, bea cukai, serta PNBP. Dirjen Pajak pun mengalami pergantian. Berarti target penerimaan pajak di APBN-P 2016 mengalami kenaikan 24,5% dibandingkan realisasi pada 2015. Target pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan rerata kenaikan penerimaan pajak 2013-2015 yang hanya 8,2%. 

Tingginya target yang melebihi tren normal memicu melemahnya kepercayaan publik pada kredibilitas APBN-P. Apalagi, ekonomi dunia dan Indonesia masih pada tahap pemulihan. Pebisnis dan kalangan usaha tidak suka pada risiko serta ketidakpastian. Setelah melakukan identifikasi pada risiko fiskal, mereka akan mencoba melakukan pengurangan, tanggung renteng, atau pemindahan yang juga memakan biaya. 

Kalau target penerimaan pemerintah kurang kredibel, belanja pemerintah juga akan dikhawatirkan. Wajar para pengusaha jadi tidak yakin apakah kontrak yang mereka jalankan dari pemerintah tahun ini akan dilunasi secara penuh atau ada potensi ditunda. Bila ditunda maka dari mana mereka bisa mendapatkan pembiayaan untuk menutup biaya yang dikeluarkan. 

Target profit tahun 2016 perlu diturunkan, yang artinya belanja serta investasi juga akan lebih konservatif. Apa akibatnya bila proporsi pencapaian target pada tahun ini penerimaan seperti tahun lalu atau target, sedangkan pagu belanja tetap? Ikhsan Modjo telah menyajikan analiiss yang tajam di KORAN SINDO awal bulan lalu. Pada akhir tahun, pemerintah harus mengambil satu atau gabungan dari tiga pilihan berikut. 

Pilihan pertama adalah mengurangi belanja pemerintah. Setelah tengah tahun, akan terlihat apakah target penerimaan bisa tercapai. Apabila tandatanda tidak tercapai semakin kuat maka belanja bisa direm. Metode ini banyak dipakai pada masa Presiden SBY khususnya untuk menambal subsidi BBM. Pada masa Presiden Jokowi, belanja operasional dan rapat bisa dipotong. 

Namun, lebih sulit untuk memotong infrastruktur yang menjadi komponen besar pada APBN-P 2016. Pilihan lainnya adalah berupaya menambah pendapatan nonpajak. Namun, dengan ekonomi dunia masih melemah dan Amerika sedang menjalani pemilu presiden, maka tidak banyak indikasi harga minyak dan ekspor nonmigas (khususnya komoditas) akan meningkat. 

Pilihan ketiga adalah menambah utang dari dalam ataupun luar negeri. Utang tidak selalu jelek dan bisa layak diambil bila digunakan untuk kegiatan yang memiliki tingkat pengembalian dan/atau multiplier effect yang besar. Namun, berarti ada kemungkinan defisit akan lebih dari 3% dari PDB. Padahal, penjelasan Pasal 12 ayat 3 dan Pasal 17 ayat 3 diUU17/ 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB). 

Ketentuan ini memang berada penjelasan yang lebih rendah derajatnya dari kalau berada di pasal. Namun, ketentuan 3% ini telah menjadi hantu bagi para penentu kebijakan fiskal Indonesia. Pembatasan ini tidak sesuai dengan prinsip countercyclical yang diajukan Keynes di mana pemerintah dapat, bahkan perlu, memberikan stimulus pada perekonomian ketika menghadapi pelemahan/krisis ekonomi. 

Besar stimulus yang diperlukan, dan sebagai konsekuensinya defisit, bergantung pada kebutuhan. Penelitian Swasono & Martawardaya (2015) menemukan bahwa penambahan 1% defisit fiskal memiliki dampak positif dan signifikan sebesar 0,29% pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data menunjukkan bahwa beberapa negara tetangga memiliki defisit melebihi 3% dan mereka tidak memiliki pembatasan kaku seperti Indonesia. 

Defisit fiskal Malaysia mencapai 3,6% dan sebesar 3,9% di Vietnam. Angka serupa di India bahkan sudah 4,1% dan di Jepang bahkan menembus 6,5%. Tapi kalau ketentuan tersebut dicabut, apakah nanti pemerintah tidak melemah disiplin fiskalnya dan jadi seenaknya sehingga memicu inflasi besarbesaran? Ada jalan tengah yang perlu dikaji, yaitu menghubungkan batas defisit dengan pertumbuhan ekonomi periode sebelumnya. 

Bila pertumbuhan sudah tinggi maka tidak perlu defisit yang besar untuk stimulus dan sebaliknya. Angka yang spesifik tentu perlu studi yang mendalam dan komprehensif. Tapi kajian bisa dimulai dengan melakukan simulasi kenaikan pembatasan menjadi 3,5% bila pertumbuhan ekonomi berada pada range 4-5% seperti tahun 2015. 

Bila perekonomian alami krisis sehingga pertumbuhan ekonomi di bawah 4% maka tentu perlu stimulus yang lebih besar. Kebijakan ekonomi perlu disusun pada teori ekonomi yang valid dan best practice internasional. Bukan karena ketakutan pada hantu yang katanya muncul bila defisit mencapai 3%. 

Mendorong UMKM Go-Global

Bisnis Indonesia, 14 Juli 2016 (original link)
JAKARTA - UMKM merupakan penyerap mayoritas tenaga kerja di Indonesia, namun tidak banyak yang berkembang menjadi perusahaan besar, serta masih sedikit juga yang melakukan ekspor. 

Studi Wignaraja dan Jinjarak (2015) dari Asian Development Bank Institute menemukan bahwa walaupun UMKM di Indonesia menyerap 97,2% dari total tenaga kerja, tetapi kontribusi terhadap ekspor masih jauh dari proporsional dan 15,8%.

Kondisi tersebut cukup jauh beda dibandingkan dengan Thailand di mana UMKM menyerap 77,9%, tapi produk yang dihasilkannya merupakan 29,5% dari total ekspor. UMKM di Vietnam, Filipina, dan Malaysia memiliki proporsi sekitar 20% dari ekspor. Kondisi diatas menunjukkan bahwa UMKM di negara-negara Asean memiliki daya saing yang lebih tinggi, bukan hanya terhadap pasar di dalam negeri tapi juga terhadap pasar luar negeri.

Apa saja langkah-langkah yang perlu diambil Indonesia untuk memperkuat UMKM, sehingga produknya makin bersaing di dalam negeri dan mampu bersaing ke luar negeri?

Sehingga UMKM bukan hanya aktor ekonomi kecil yang selalu perlu dibantu, namun juga turut memperkuat ekonomi nasional. Membangun dan membesarkan UMKM tidak mudah. Tentunya, setiap usaha akan berbeda dan perlu penekanan keunikan tersendiri atas dasar lokasi geografis dan bidang usaha. Namun, secara umum terdapat empat masalah besar yang dihadapi setiap UMKM, yaitu keterampilan, pengelolaan usaha, standar kualitas, pendanaan, serta akses pasar.

Tantangan pertama, dengan jumlah pekerja yang terbatas, maka fungsi perusahaan yang beragam, mulai dari produksi, keuangan, pemasaran, serta masih banyak lagi, harus dikerjakan oleh sedikit orang. Pada lain sisi, persaingan semakin ketat dengan perusahaan berbagai skala, baik domestik maupun global. 

Keterampilan tinggi dibutuhkan untuk menjalankan bisnis, padahal tenaga kerja terdidik dan terampil biasanya lebih memilih bekerja di perusahaan yang sudah mapan.

Kedua, menjaga standar kualitas. 

Produk UMKM beragam tipenya, tetapi juga bervariasi kualitasnya. Pelanggan ingin kepastian, bahwa tiap kali membeli produk dari penjual yang sama akan mendapat barang yang kualitasnya stabil. Kebanyakan UMKM masih menggunakan teknologi dan metode produksi yang tradisional, serta quality control yang tidak ketat, karena pemilik masih turun tangan langsung mengawasi. Ketika produknya laku dan ekspansi usaha dilakukan, maka semakin sulit untuk menjaga kualitas. 

Ketiga, mendapatkan akses pendanaan. 

Studi Wignaraja dan Jinjarak (2015) juga menemukan bahwa rata-rata perusahaan UMKM di Indonesia membutuhkan dana sebesar US$29.000 (sekitar Rp385 juta) untuk mengembangkan skala usahanya. Sebagian besar UMKM mendapatkan modal untuk memulai usahanya dari tabungan sendiri atau pinjaman keluarga. Kalaupun meminjam dari pihak non-keluarga, maka umumnya berasal dari institusi non-bank. Hanya setelah UMKM berjalan beberapa tahun, baru akses dana ke perbankan terbuka, itupun biasanya aset pribadi dari pemilik UMKM harus diagunkan untuk mendapat pinjaman. Perlu diapresiasi kebijakan pemerintah yang telah menurunkan bunga KUR sehingga biaya yang dikeluarkan UMKM berkurang secara signifikan.

Tantangan keempat adalah pasar. 

Umumnya UMKM yang berjalan lebih dari setahun sudah memiliki pelanggan rutin yang cukup puas dengan produk yang dihasilkan. Namun, tidak mudah bagi UMKM untuk melakukan ekspansi dan penetrasi pasar di luar pelanggan rutin, yang sering kali juga merupakan tetangga. Hal ini sering terkait dengan lemahnya jaringan yang dimiliki, di luar kabupaten/kota tempat berdomisili.

Saat ini, peran teknologi dapat membantu UMKM, sehingga tidak perlu memiliki cabang dalam bentuk fisik di berbagai daerah yang mahal biaya operasinya. Berkembangnya toko onlinememudahkan konsumen untuk mengetahui dan membeli produk dari UMKM di seantero Indonesia. Banyaknya jasa transportasi serta pos kilat juga memungkinkan UMKM untuk mengirimkan produk berbentuk fisik (terutama sandang dan pangan), pada pembeli dengan biaya yang terjangkau. 

Anak muda juga makin berani untuk membuka usaha berbasis teknologi (start up) di berbagai sektor. Bahkan salah satunya, kitabisa.com diakui majalah Forbessebagai salah satu kisah sukses wirausawan berusia di bawah 30 tahun di Asia.

KOLABORASI GLOBAL

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memberdayakan UMKM, mulai dari deregulasi kebijakan perdagangan, penyediaan akses pembiayaan (seperti Kredit Usaha Rakyat), hingga memfasilitasi platform pemasaran (seperti fasilitas pameran dalam dan luar negeri). Untuk sektor ekonomi kreatif, bahkan sudah ada badan tersendiri yang fokus mewadahi dan mendukung. Pengembangan e-commerce, modal ventura (VC), dan teknologi finansial (FinTech) juga terus dilaksanakan.

Banyak UMKM yang ingin menjual produknya ke luar negeri. Tapi bagi UMKM individual, tidak mudah untuk menembus jejaring global. Di sini pemerintah dapat berperan memfasilitasi UMKM untuk memperluas jejaring bisnis regional dan global, untuk membangun kemitraan dan mengambil manfaat. Memang, ini membutuhkan investasi. Namun, kita tidak harus membangun dari nol. Lebih efektif memanfaatkan jaringan global yang sudah ada. 

Kita sudah familiar dengan World Economic Forum (WEF), yang merupakan ajang jejaring bisnis papan atas dunia yang memiliki acara rutin tiap tahun. Ada berbagai jaringan UMKM dunia, salah satunya bernama World Islamic Economic Forum (WIEF), yang menghubungkan UMKM di berbagai penjuru dunia.

Dengan berpartisipasi dalam forum semacam ini, UMKM Indonesia dapat hadir dan tidak sekadar menjual barang atau jasa, melainkan mencari kemitraan kolaboratif jangka panjang antara bisnis di seluruh dunia. Dengan kata lain, forum yang dibesut oleh berbagai negara dari dunia Islam ini dapat memberikan akselarasi baru dalam pertumbuhan UMKM untuk menembus pasar global.

Sudah waktunya UMKM Indonesia untuk merubah paradigma. UMKM bukan usaha kecil menengah yang selamanya stagnan dan beroperasi secara seadanya. Tetapi merupakan unit usaha, yang selain menyerap tenaga kerja, juga siap tumbuh pesat dan ekspansi keluar tapal batas, sehingga menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yes, we can!