Thursday, February 26, 2009

Kecil-Kecil Jadi Pengusaha di Negara Jiran

Koran SINDO (original link, berlangganan)
Kamis, 26 February 2009

Patrick Grove mendirikan Catcha.com pada 1999 ketika berumur 23 tahun, tidak lama setelah lulus kuliah dan sempat pada portal internet teraktif dan paling ramai dikunjungi di Asia Tenggara.

Perusahaannya pada 2002 banting setir ke majalah gaya hidup dan dalam lima tahun berkembang pesat menjadi grup media dengan dua puluh penerbitan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Pada 2007 Patrick meluncurkan iProperty.com yang mempertemukan pembeli dan penjual di Singapura, Malaysia, Filipina, Hong Kong, dan Taiwan.

Perusahaan yang telah terdaftar di Australian Stock Exchange ini memiliki 750.000 anggota dengan 100.000 item serta 4.000 agensi yang aktif melakukan bisnis.Tak aneh bila pendapatan tahunannya telah melebihi USD15 juta. World Economic Forum,pertemuan prestisius tahunan para pemimpin ekonomi dunia, mengakui Patrick sebagai salah satu dari 100Global Leaders for Tomorrow(GLT) pada 2001.

Majalah Business Week menjuluki pria berumur 33 tahun ini sebagai salah satu Asia's Best Young Entrepreneurs 2008. Patrick adalah salah satu keberhasilan program Pemerintah Malaysia untuk mendorong kewirausahaan di kalangan pemuda.

Program MSC Technopreneur Development (MTD) menjadi program andalan Malaysia untuk mendorong wirausaha di bidang teknologi dalam membangun sistem nasional inovasi seperti dikonsepkan Friedrich List (1789–1846) dalam mengembangkan industrialisasi di Jerman dalam mengatasi ketertinggalan dari Inggris.

Rencana bisnis yang prospektif dapat memperoleh dana awal (seed fund) sampai 150.000 ringgit (Rp500 juta). Program kewirausahaan lalu dicanangkan Malaysia, misalnya Multimedia Super-Coridor (MSC) pada tahun 1995.Area seluas 750 kilometer persegi dekat Kuala Lumpur dilengkapi dengan kabel optik dan infrastruktur telekomunikasi canggih serta Multi- Media University (MMU) sebagai pusat riset dan penggerak kluster.

Dengan target menjadi Silicon Valley di Asia, MSC merupakan special economic zone (SEZ) bagi produk high tech. Pemerintah Malaysia memberikan kemudahan fiskal dan peraturan serta infrastruktur sehingga berhasil menarik perusahaan ternama seperti Microsoft, Oracle, HP, Netscape, Ericsson, Intel, Nortel, Siemens, Fujitsu, dan masih banyak lagi.

Bill Gates bahkan menjadi salah satu penasihat Mahathir Muhammad untuk kebijakan teknologi. Malaysia sadar bahwa mereka perlu berpindah dari ekonomi berbasis produk pertanian dan tambang seperti sawit, karet, dan timah (resource base eoconomy) ke ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge base economy).

Akumulasi skill, ilmu pengetahuan dan perilaku, serta jaringan menjadi basis menuju lepas landas menjadi industri maju pada 2020. Keberhasilan Malaysia yang merdeka 18 tahun setelah Indonesia untuk mencapai pendapatan hampir empat kali lipat dari Indonesia tidak dapat diabaikan.

Kementerian Kewirausahaan dibentuk tahun 1995 untuk mengidentifikasi, melaksanakan, dan mengoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan kewirausahaan di Malaysia. Perhatian khusus diberikan untuk mendorong pemuda dan wanita masuk ke dunia wirausaha.

***

Menurut hasil studi Small and Medium Industries Development Corporation (SMIDEC) dan National Productivity Corporation tahun 2004, sebagian besar usaha kecil dan mengengah (UKM) di Malaysia bergerak di bidang produksi makanan, olahan metal (18%),produk kayu (17%),dan metal dasar (4%).

Hanya 26% yang melakukan ekspor, kebanyakan dari sektor high tech. Pada sistem ekonomi global seperti sekarang, peraih bagian keuntungan terbesar dari sistem produksi adalah entrepreneur sebagai pengambil risiko dan pemegang merek. Produksi bisa disubkontrakkan dan modal bisa didapat dari bank atau publik.

Ada beberapa langkah Malaysia yang dapat dikembangkan oleh negara berkembang lain dalam memajukan kewirausahaan. Pertama, tingkatkan taraf pendidikan masyarakat. Kewirausahaan membutuhkan kompetensi yang umumnya baru didapatkan di tingkat pendidikan tersier.

Pendapatan wirausahawan di Indonesia baru melebihi rata-rata nasional pada tingkat pendidikan setidaknya diploma. Ketertinggalan sumber daya manusia di Malaysia dikejar selama beberapa dekade terakhir dengan mendayagunakan guru dan dosen dari negara lain, termasuk Indonesia.

Barro & Lee (2000) menemukan bahwa penduduk Malaysia mendapat pendidikan 36% lebih banyak dari Indonesia. Kedua, permudah dan turunkan biaya pengurusan usaha. Periode yang lama dan biaya yang tinggi akan menekan animo dari industri kreatif dan pemuda sehingga hanya orang dengan sumber modal kuat dan akses politik tinggi yang mau jadi pengusaha.

Wirausahawan di Malaysia hanya membutuhkan 13 hari dan kurang dari 2 bulan pendapatan rata-rata untuk memulai usaha. Jauh lebih cepat dan murah dibandingkan 2,5 bulan dan 9 bulan pendapatan rata-rata di Indonesia. Pada 2008, Malaysia berada di urutan ke-20 Survei Global Kemudahan Usaha Bank Dunia dan peringkat ke-21 di Global Competitiveness Index, sementara Indonesia hanya di urutan ke-129 dan 55 di kedua studi itu. Ketiga, infrastruktur bisnis dan telekomunikasi.

Malaysia menyediakan segenap spektrum sokongan untuk kewirausahaan dari pinjaman lunak, mentoring dengan pengusaha yang lebih senior,serta linkingdengan jaringan global sehingga lebih cepat dan lancar menjadi perusahaan yang matang. Infrastruktur minimum seperti listrik, jalan, dan air yang tertata adalah prasyarat yang tak bisa diabaikan.

Pada 2005, hanya satu dari tiga orang di Indonesia yang memiliki telepon, sedangkan di Malaysia mencapai 92%. Lebih dari 40% populasi Malaysia mengakses internet secara reguler dan hanya 6% di Indonesia. Padahal internet adalah sumber inspirasi dan jalur pemasaran yang paling terjangkau. Terakhir, tapi tidak kalah penting adalah perubahan persepsi terhadap wirausaha.

Presiden Soekarno kerap menekankan pentingnya membangun bangsa yang bermartabat dan punya harga diri. Wirausaha perlu ditampilkan sebagai profesi yang modern dan hip. Pengakuan Pemerintah Malaysia dan penampilan profil di media massa mendorong wirausaha menjadi role model bagi generasi muda.

Tentu, tidak ada yang sempurna dan tiap negara perlu mengembangkan pendekatan sendiri yang cocok dengan kondisi dan karakternya. Namun kebijakan yang diambil Malaysia perlu dipelajari keberhasilannya karena kemiripan sebagai saudara serumpun. Jika dari kecil dapat menjadi pengusaha besar, mengapa harus menunggu hari tua?(*)

Berly Martawardaya
Kandidat Doktor Ekonomi di University of Siena, Italia dan Dosen FEUI

No comments: