Thursday, December 16, 2010

Mencermati Program Pembatasan BBM Bersubsidi


Liputan6.com (original link)
16/12/2010 12:57
Berly Martawardaya


Thomas Agustine, filsuf Romawi terkemuka, menyatakan bahwa kesempurnaan manusia adalah ketika menemukan ketidaksempurnannya. Lebih lanjut, ia menjelaskan, manusia sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan profil Yang Maha Sempurna (Imago Dei) memiliki insting untuk terus berupaya mencapai kesempurnaan dalam berbagai aktivitasnya. Sebagai manusia dengan berbagai keterbatasan, yang dapat dicapai bukan kesempurnaan namun yang terbaik dalam berbagai batas yang ada. Kerendahan hati dan kesadaran diri adalah bagian penting dari beragama.

Ekonomi memiliki pendekatan yang banyak kemiripan dengan Thomas Agustine. Dunia yang sempurna akan menghasilkan kebijakan ekonomi yang sempurna (first best solution) untuk mengatasi masalah dan membawa maanfaat positif tanpa menimbulkan masalah baru.

Pembatasan BBM bersubsidi telah diundur tiga kali pelaksanaannya: Oktober 2010, Januari 2011, dan terakhir Maret 2011 setelah rapat 14 jam antara pemerintah dan DPR. Dengan kuota subsidi hanya 38,6 juta kiloliter, dibutuhkan pembatasan konsumsi untuk tidak melebihi dana yang dialokasikan untuk subsidi di APBN 2011. Penghematan diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Mari kita kaji kesempurnaan apa saja yang dibutuhkan supaya kebijakan ini berhasil. Dari depo BBM untuk sampai ke konsumen maka akan melalui tiga tahap penting dan rawan penyelewengan. Tahap pertama adalah ada penjagaan ketat dan mekanisme kontrol di tiap truk pengangkut bensin bahwa tidak ada premium yang dicuri di tengah jalan lalu dijual dan sisanya diencerkan dengan cairan lainnya. Perlu gembok yang dikunci setelah diisi di depo yang hanya bisa dibuka di pom bensin sesuai tujuan.

Tahap kedua adalah ketika BBM bersubsidi berada di pom bensin. Jangan sampai ada pemilik pom bensin nakal yang melakukan pengenceran serupa dan mengambil untung secara tidak legal. Perlu ada random check atas kualitas dan kemurnian premium di tiap pom bensin yang diumumkan secara terbuka dengan sanksi pencabutan izin bagi pelanggar.

Tahap ketiga, transaksi penjualan antara pom bensin dan konsumen, membutuhkan paling banyak perubahan interaksi dengan adanya rencana pembatasan. Ada dua opsi yang diajukan BP Migas: Opsi pertama melarang semua kendaraan beroda empat berplat hitam mengonsumsi BBM bersubsidi. Artinya, hanya kendaraan umum, kendaraan beroda dua dan tiga, serta nelayan yang berhak. Sedangkan, opsi kedua melarang kendaraan beroda empat berpelat hitam keluaran di atas 2005 mendapatkan BBM bersubsidi.

Kedua opsi tersebut membutuhkan identifikasi mana yang dapat beli bensin bersubsidi dan mana yang tidak diperbolehkan. Bila pembatasan berdasarkan tahun yang pilih maka apakah setiap membeli bensin harus menunjukkan STNK sehingga terlihat tahun pembelian mobil tersebut? Bisa saja dipasang stiker dan sign untuk menyiapkan STNK ketika membeli BBM bersubsidi sehingga tidak memperlama waktu dan perpanjang antrian, namun masyarakat kita belumlah sempurna.

Akan sangat mungkin muncul upaya persuasi, baik secara kasar dengan ancaman fisik dan secara halus dengan selipan sepuluh ribuan, dari konsumen supaya bisa membeli BBM bersubsidi walaupun kendaraannya berusia kurang dari lima tahun. Pegawai pom bensin, yang biasanya berpendapatan rendah dan minim perlindungan intimidasi karena lokasi kerjanya diketahui, akan sulit untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan pembatasan. Kecuali jika ditempatkan aparat/kamera di tiap pom bensin untuk mengawasi semua transaksi pembelian BBM bersubsidi.

Bila ada stiker yang ditempel di kaca mobil menandakan tahun pembelian sehingga tidak perlu menunjukkan STNK tidak hilangkan potensi intimidasi. Bahkan bertambah lagi pintu penyelewengan di institusi yang menerbitkan stiker tersebut. Dan, jangan lupa bahwa pemalsuan produk bermerk terkenal amat marak di Indonesia. Kalau hanya stiker, walau berhologram, tentu tidak kebal dari pemalsuan.

Tahap keempat adalah memastikan tidak ada penjualan dari penerima BBM bersubsidi kepada yang ditetapkan tidak boleh membeli. Mobil plat kuning, dan mobil plat hitam pra-2005 bila opsi ini yang dipilih, dapat mengisi tanki bensin mereka dengan BBM bersubsidi dan menikmati durian runtuh dengan menjual kembali.

Untuk apa angkot dan bis umum lelah menempuh macet serta menghadapi preman yang menuntut setoran bila sekali ke pom bensin mereka bisa beli menikmati keuntungan bersih paling tidak seribu rupiah per liter?! Bila isi tangki 30 liter, totalnya Rp 30 ribu. Mengapa tidak sehari 50 kali ke pom bensin sehingga dapat untung Rp 1,5 juta per hari dan menikmati hidup ala manajer perusahaan multinasional?

Solusi yang ditawarkan untuk masalah baru ini adalah smart card dengan kuota wajar BBM bersubsidi yang boleh dibeli secara legal. Namun kebijakan ini membutuhkan penerbitan smart card dan mesin pembacanya di ratusan ribu pom bensin di segenap penjuru Indonesia. BI baru mengumumkan bahwa transisi ke smart card di kartu debit dan kredit membutuhkan waktu lima tahun untuk diimplementasikan. Bila bank yang sudah berpengalaman dan memiliki SDM mumpuni membutuhkan lima tahun, apakah itu berarti baru pada 2015 pembatasan BBM bersubsidi dapat efektif dilakukan? Ingat bahwa smart card tak menghilangkan potensi intimidasi atau penyuapan ke pegawai pom bensin.

Tahap kelima adalah potensi penimbunan. Bila tanggal pembatasan sudah diumumkan jauh-jauh hari, dapat dipastikan beberapa minggu sebelumnya akan terjadi kelangkaan premium besar-besaran. Pemilik pom bensin akan sulit menghalangi masyarakat yang akan dilarang membeli BBM bersubsidi untuk membeli volume besar dan melakukan penimbunan. Lain halnya bila pada malam hari mendadak ada pengumuman di TV bahwa besok akan dimulai kebijakan pembatasan sehingga tidak sempat terjadi penimbunan secara terorganisir.

Richard Lipsey dan Kevin Lancaster (1956) pada makalah ilmiah yang sangat banyak dirujuk, menyatakan bahwa pada dunia yang tidak sempurna maka lebih baik mengakui berbagai ketidak sempurnaan dan memformulasikan kebijakan spesifik (second best solution) untuk mencapai tujuan. Kebijakan pembatasan BBM yang membutuhkan sedemikian banyak kesempurnaan di kondisi Indonesia yang jauh dari sempurna akan sulit dijalankan secara efektif.

Indonesia yang telah menjadi net-importir minyak dan keluar dari OPEC perlu belajar dari Norwegia yang menggunakan pendapatan minyaknya untuk memperkuat competitive-ness negara serta memiliki kebijakan komprehensif jangka panjang. Pengurangan konsumsi BBM tidak dapat dilepaskan dari pengembangan transportasi publik yang nyaman, aman, dan terpercaya. Tak sepatutnya subsidi pemerintah sedemikian besar terus dinikmati kalangan menengah atas yang memang vokal dan dapat menyuarakan ketidakpuasan, beda dengan petani dan nelayan miskin yang hanya bisa pasrah pada kebijakan yang merugikan. Pengembangan energi alternatif di Indonesia yang kaya sinar matahari, angin, panas bumi, dan ombak juga perlu menjadi prioritas riset dan program pemerintah.

Sebagai penutup, ada baiknya kita merenungkan pepatah bijak ini,"To err is human. To acknowledge it and remedy the mistake is divine."


Penulis adalah staf pengajar FE Univeritas Indonesia dan Ekonom Senior Indef

Wednesday, April 14, 2010

BI dan Inflasi


Tabloid Kontan. Edisi 12-18 April 2010
Halaman 39 (tidak tersedia online)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Salah satu pilihan besar dalam kebijakan ekonomi Indonesia adalah mencapai tingkat inflasi dan berapa biaya yang dikeluarkan dalam dalam mencapainya. Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2010 termaktub dana sebesar Rp 39.5 triliun. Dari jumlah itu 95.1 persen (32.74 triliun) di alokasikan untuk pengendalian moneter.

Sebagian besar jumlah tersebut digunakan untuk membayar bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FaSBI). Adapun beban bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) relatif kecil, karena bank syariah berlum menjadi mayoritas dalam aktivitas perbankan.

Mengapa BI menganggarkan dana sedemikian besar untuk membayar SBI dan FaSBI? Jika kita menengok laporan triwulan IV BI ke DPR, terdapat prediksi bahwa investasi akan naik 8,5-8,7% dan ekspor meningkat 8.1-9 % yang akan menambah uang beredar serta memperbesar potensi inflasi. Dana tersebut akan digunakan utuk meredam inflasi (inflation killer)

Memang ini sejalan dengan artikel Wall Street Journal yang melaporkan pada tahun 2010 diperkirakan akan terjadi kenaikan arus modal ke negara berkembang menjadi US$ 722 miliar atau meningkat 66 % dibandingkan 2009. Tapi, itu sebenarnya dibawah nilai puncak US$ 1.28 triliun pada tahun 2007 sebelum krisis ekonomi global terjadi.

Pertanyaan yang menggelitik, haruskan ongkos menjagi inflasi dan moneter sebesar itu? Apakah ada pilihan lain bagi BI? Oliver Blanchard, professor ekonomi dari MIT dan Chief Economist IMF, baru saja menerbitkan studinya berjudul “Rethinking Macroeconomic Policy” yang menyatakan bahwa dengan kondisi ekonomi global kontemporer, bank sentral perlu menaikkan toleransi target inflasi mereka dari 2 % menjadi 4 % serta memprioritaskan pertumbuhan

Itu suatu perubahan sikap yang mengejutkan, karena biasanya IMF sangat kuatir dengan inflasi dan tak segan menganjurkan kebijakan kenaikan suku bunga demi menangkal kenaikan inflasi.

Kondisi Indonesia sebagai large developing countries yang telah membuktikan stabilitas di masa krisis sub-prime mortgage dan spread interest yang signifikan dengan T-Bill tidak memberi indikasi pelarian modal pada jangka dekat.

Pengendalian inflasi tidak dapat diselesaikan hanya oleh BI. Salah satu penyebab inflasi, yaitu biaya transportasi, sangat berkaitan dengan kinerja pemerintah di pembangunan infrastruktur. Akibatnya, BI tidak perlu mengeluarkan biaya moneter yang begitu mahal.
Sudah tidak sepatutnya lagi harga semen Rp 1 juta rupiah per sak di Papua terus di toleris. Demikian juga mahalnya sembako di pelosok Indonesia. Pembangunan jalan raya dan rel kereta api yang sempet nyaring terdengar di awal pemerintah SBY-Boediono harus segera dilaksanakan.

Selama 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi di Indonesia sebesar 2.78 %, sangat rendah dibandingkan rata-rata 2005 hingga 2008 yang mencapai 10.34% . Bahkan, pada Maret 2010 kita masih mengalami deflasi sebesar 0.14% sehingga jika dihitung sejak Februari 2009 (year on year) total inflasi baru mencapai 3.43 % dan laju inflasi tahun kalender (Januari-Maret 2010) hanya 0.89 %.

Pola inflasi Indonesia cenderung meningkat pada awal tahun dan menjelang Iedul Fitri. Jika stok pangan dan sandang disiapkan sejak sekarang maka sangat mungkin inflasi tahun 2010 lebih rendah daripada target Bank Indonesia yang berada pada kisaran 4%-6% persen.
Dengan menimbang kebijakan suku bunga bank sentral yang berlaku pada banyak bank sentral, yakni inflasi ditambah 1 % sebenarnya masih ada peluang untuk menurunkan kembali tingkat bunga BI acuan (BI rate) yang baru saja dipertahankan pada 6.5 %, sehingga bunga acuan BI yang wajar saat ini di kisaran 5%.

.Ada kemungkinan bertahannya bunga acuan BI saat ini karena BI tidak ingin dianggap lemah terhadap inflasi. Apalgi bank sentral Amerika atau The Federal Reserve baru saja menaikkan suku bunganya pada akhir Februari dari 0.5 % ke 0.75 %.

Beberapa pilihan

Mengapa kita terus membiarkan kepemilikan SBI oleh asing sedemikian besar ketika argumentasi utama keberadaan SBI adalah sebagai instrumen moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar di Indonesia.Bunga SBI yang tinggi justru akan memicu masuknya dana dari luar negeri sehingga beban pengendalian moneter sangat besar. IMF saja, yang tadinya mensakralkan rezim devisa bebas, kina sudah mengajukan capital control ketika krisis perbankan melanda Islandia pada 2009 lalu.

Kepemilikan SBI oleh asing adalah kasus hampir ideal untuk menerapkan soft capital control. India dan China menerapkan strong capital control dengan membatasi konvertabilitas mata uang mereka yang membutuhkan disiplin aparat yang tinggi.

Penerapan kebijakan pajak ringan (Brazil menerapkan 2 %) untuk short term capital inflow atau jangka waktu minimal untuk investasi seperti Chili dan Malaysia, juga dapat meningkatkan kemampuan untuk memprediksi lalu lalu lintas uang. Akibatnya, ruang bagi otoritas moneter untuk membuat kebijakan penurunan suku bunga semakin luas.

Jangan sampai ada yang bertanya, kebijakan ekonomi dan moneter sebenarnya untuk siapa? Tentu kebijakan itu sepenuhnya demi meningkatkan kemakmuran rakyat.

Monday, April 5, 2010

NU & Brothers Group di 2025


Diterbitkan dalam buku "NU dan Keindonesiaan kita" yang dicetak menyongsong Muktamar NU di Makasar 2010


Berly Martawardaya

Akhirnya saya mendapatkan waktu untuk bertemu Ahmad Sulaiman, pengusaha besar pemimpin NU & Brothers Group. Walaupun saya wartawan dari majalah dengan tiras nomor satu di Indonesia, tetap tidak mudah mendapatkan waktu appointment karena kesibukan beliau yang amat tinggi akhir-akhir ini.

Sekarang saya sudah di lantai 80 dari gedung NU Plaza di kawasan usaha SCBD Jakarta yang didirikan memperingati 80 tahun berdirinya Nadhlatul Ulama. Pemandangan dari gedung tertinggi di Jakarta ini sangat fenomenal dan indah. Pada buku biografinya Ahmad Sulaiman pernah menyatakan bahwa design gedung itu menempatkan mushala di tiap lantai sedemikian rupa sehingga diterangi cahaya ufuk senja ketika melaksanakan shalat magrib.

Sekretaris sang Presiden Direktur mempersilahkan saya untuk menunggu karena beliau masih ada tamu Senior Vice President dari General Electric, salah satu perusahaan terbesar dunia, yang ingin menjalin kerjasama menembus pasar negara Afrika. Sambil menunggu saya memperhatikan suasana ruang tunggu yang dihiasi kaligrafi serta lukisan abstrak modern dari para seniman ternama Indonesia dan dunia.

Akhirnya giliran saya tiba. Ahmad Sulaiman keluar dari ruangannya untuk mengantarkan tamunya ke pintu dan mengajak saya masuk ke ruanganya. Jabatan tangannya hangat dan tegas. Ruangannya dipenuhi foto dirinya bersama tokoh pengusaha, politik dan agama dunia.

Saya memulai wawancara dengan bertanya bagaimana NU yang dahulu masih lebih dikenal sebagai organisasi social keagamaan dapat membangun kerajaan bisnis yang demikian megah dan sukses.

Ahmad Sulaiman terpaku sejenak dan menugas bahwa semangat NU sejak awal sebenarnya menyeimbangkan tiga pilar keilmuan dan sosial budaya; wawasan kebangsaan serta ekonomi kerakyatan. Jangan lupakan bahwa berdirinya NU didahului dengan Nahdlatul Tujjar (1918) yang menghimpun para pengusaha muslim, baru disusul dengan munculnya Taswirul Afkar (1922) yang mengembangkan pendidikan dan pemikiran keislaman., dan belakangan Nahdlatul Wathon (1924) sebagai gerakan politik nasionalisme dan anti penjajah.

Pendirian NU pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasyim Asy'ari juga dihadiri para usahawan di Jawa Timur selain para tokoh ulama tradisional. Bahkan dalam Staoeten Perkoempoelan NU dinyatakan bahwa organisasi ini “berikhtiar memperbanyak madrasah (sekolah)…begitoe djoega dengan ichwalnja anak-anak jatim dan orang fakir miskin serta mendirikan badan-badan untoek memadjukan oeroesan pertanian dan perniagaan yang tiada dilarang oleh sjari’ah agama Islam”.

Beliau melanjutkan bahwa pemerintah Belanda dengan segala daya upaya menghambat usaha-usaha ekonomi di awal berdirinya NU. Menjelang kemerdekaan dinamika politik memakan banyak energi pimpinan NU dan baru sejak 1984 di Muktamar Situbondo ketika secara tegas menyatakan keluar dari politik maka NU mulai mengalirkan ghirahnya secara lebih fokus ke masalah social budaya. Namun didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa menyongsong pemilu 1999 sekali lagi menyeret NU ke ranah politik. Terpecahnya PKB tahun 2009 menjadi blessing in disguise karena Muktamar Makasar 2010 mengusung fokus organisasi ke ekonomi rakyat.

Saya bertanya lagi,’ Tapi Pak Ahmad, istilah ekonomi rakyat sudah sering disebut pada Muktamar sebelumnya, apa yang membedakan Muktamar Makasar sehingga dampaknya permanen dan demikian besar?”

Ahmad Sulaiman yang anak Kiai Besar di Jawa Timur menjelaskan bahwa sebenarnya pada masa dia dibesarkan sudah ada tendensi para ulama untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi umum setelah lulus pesanteren sampai setaraf SLTA. Kakaknya lulusan institut teknik ternama di Indonesia dan beliau sendiri dari fakultas ekonomi yang sudah panjang reputasinya dalam mencetak manager handal Indonesia.

Keduanya sempet bekerja di perusahaan multinasional terkemuka sebelum membentuk NU & Brothers Group.Jadi ketika Muktamar Makasar menetapkan fokus ke ekonomi maka sudah ada supply sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan dan professional tapi tetap memiliki komitmen ke-NU-an.

Namun di Muktamar Makasar transisi menjadi organisasi modern dipercepat. Kepemimpinan baru mendata keanggonaan NU yang saat itu di diproyeksikan mencapai 30 juta orang. Diberlakukannya nomor induk dan anggota dan juga memudahkan pemungutan iuran. Walau pada tahun pertama hanya 10 % yang rajin membayar iuran sebesar lima ribu rupiah sebulan namun bila ditotal menjadi 15 milyar rupiah perbulan yang dibagi pada level cabang, wilayah, daerah dan pengurus besar.

Hasil iuran tersebut menjadi modal untuk mengembangkan NU -Mart yaitu jaringan toko kelontong dan kebutuhan sehari-hari di kantong-kantong NU. Dengan memegang jalur distribusi maka warga NU, dengan menunjukkan kartu anggota, bisa meningkatkan posisi tawar ekonomi dan mendapat harga lebih rendah untuk kebutuhannya.

Direksi NU – Mart yang sebagian berasal dari perusahan retail terkemuka Indonesia melakukan riset pasar sehingga diketahui produk apa saja yang laku terjual dan mulai memproduksinya dengan bekerja sama dengan pesantren-pesantren. Teknologi pembuatan sabun, shampoo dan mie instan serta makanan ringan lainnya yang dimiliki sudah cukup baik namun dengan didukung packaging, marketing dan quality control yang kuat berhasil menembus pasar di kota-kota besar.

Ahmad Sulaiman yang waktu itu memimpin BMT ukuran menengah di Jawa Timur setelah puas berkarir di Citibank, berhasil meyakinkan pimpinan NU untuk mendukung transformasi menjadi bank syariah yang menjadi sarana transaksi organisasi NU, pesantren NU dan NU Mart serta khalayak NU yang jumlahnya amat besar. Perkembangan yang pesat juga didukung oleh recruitment dari para banker berpengalaman dan kehati-hatian dalam memberikan kredit. Walaupun pengurus PBNU tetap harus memberikan feasibility study yang shahih dan bertanggungjawab bila terjadi kredit macet. NU card menjadi kartu kredit dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia.

Industri ringan dan elektronik mulai dibangun dengan pemberian kredit secara strategis ala Zaibatsu dan keiretsu di Jepang. Pesantren-pesantren menjadi produksi komponen mesin ringan dan sepeda motor untuk dirakit di pabrik besar di Sidoarjo.

Hafizh Sulaiman, sang kakak, mendalami pertambangan dan perminyakan dan setelah menjadi Vice President di Shell Oil Indonesia membangun NU Mining and Energy yang berlanjut pada pabrik besi dan petrochemical. NU & Brothers melesat masuk ke top 20 konglomerat di Indonesia pada tahun 2020.

Saya bertanya lagi,”Apa rencana masa depan NU & Brothers Groups setelah merajai kancah bisnis Indonesia dan di tahun 2025 dinyatakan sebagai group usaha terbesar di Indonesia oleh majalah Forbes?”

Ahmad Sulaiman menjabarkan rencananya untuk membangun pabrik mobil di Cina dan industri komputer di India selain penetrasi media dan entertainment ke Timur Tengah. Generasi Muda NU yang telah di sekolahkan di luar negeri lalu ditempatkan di perusahan-perusahan di manca negara sejak 2015 akan mulai di tarik untuk mengembangkan perusahaan dalam NU & Brothers Group sehingga group ini benar-benar kokoh di berbagai lini. Bahkan training centre yang dibangun 2015 di Situbondo telah berkembang menjadi NU University, kampus swasta terbaik di Indonesia yang dipimpin kader NU dengan PhD dari Oxford University dengan kerjasama dan double degree dengan universitas ternama di Barat dan Timur Tengah.

Saya terdiam sambil menggeleng, luar biasa sekali gabungan ghirah NU yang digabungkan dengan profesionalitas serta inovasi. Beda sekali dengan dua puluh lima tahun yang silam. Saya tidak kuat menahan pertanyaan berikut meluncur dari mulut, “Tapi bagaimana dengan politik?”

Ahmad Sulaiman tertawa mendengar pertanyaan lirih saya. Begini Mas. Rasulullah adalah pengusaha sukses yang lalu mendakwahkan agama lalu menjadi pimpinan politik. Setelah Muktamar Makasar, NU sadar untuk menjalankan tahap dari awal dan bukan dibalik menjadi politik dahulu. Sekarang semua pimpinan partai politik mendekati NU untuk didukung calonnya serta mendapat sokongan dana. Tentunya akan kita pilih yang sosok serta programnya sesuai dengan arahan NU.

Rasulullah terlah berpesan untuk menghindari Islam umat yang banyak tapi lemah bagai buih di laut. Sudah terlalu lama NU menjadi buih di percaturan ekonomi Indonesia dan generasi NU masa sekarang tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.

Maaf saya harus pergi sekarang karena hari ini malam jumat dan waktunya tahlilan dengan keluarga dan teman-teman di pesantren dulu.

Demikian Ahmad Sulaiman meninggalkan ruangan menuju helikopternya di teras gedung dan berangkat meninggalkan saya yang masih termenung dan bersyukur atas bangkitnya NU sebagai potensi ekonomi bangsa. Tidak apa apa terlambat asalkan bergerak cepat.

Allahumma bis’shawab.


Penulis adalah dosen FEUI, ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) dan Kepala Desk Ekonomi NU Profesional Circle.

Friday, January 8, 2010

Balada Batavia-Bandung dan Perdagangan Bebas


08/01/2010 20:58
Liputan 6.com (original link)
Berly Martawardaya


Pada awal 2010 ini, sebelum melangkah ke depan mari kita melihat mundur 200 tahun, ke 1810. Studi komprehensif yang dilakukan sejarawan Belanda, Thomas J. Lindblad dan akademisi Indonesia, Thee Kian Wie, pada buku The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000 mengangkat beberapa fakta menarik.

Batavia sebagai pusat kedudukan dan administrasi Belanda memperkuat posisinya sebagai pusat perdagangan di Nusantara. Kapal-kapal yang membawa berbagai produk rempah-rempah, mulai dari pala sampai cengkeh, berlabuh di Sunda Kelapa sebelum dibawa ke Eropa. Sebaliknya, kebutuhan konsumsi penduduk Belanda yang jumlahnya terus meningkat menempuh setengah belahan dunia untuk mencapai Batavia. Mulai dari keju, tembakau, sampai pakaian mode terakhir dari Paris serta sutra dan barang pecah-belah dari China didatangkan demi memenuhi permintaan komunitas ini.

Namun petualangan Belanda di Indonesia masih dalam bentuk ekspedisi kapal yang membangun benteng serta meninggalkan komunitas kecil di daerah yang dianggap strategis. Pola ini yang menyaksikan berdirinya Fort Rotterdam di Makassar dan Fort de Kock di Padang. Tujuan utama Belanda adalah berdagang, bukan menjadi tuan tanah. Namun, seiring meningkatnya resistensi penduduk pribumi yang menjalankan taktik gerilya untuk menyerang kota pelabuhan Belanda lalu kembali ke pedalaman, perlahan-lahan pasukan dan administrator Belanda bermigrasi dari pantai ke pedalaman kota Jawa.

Setelah menaklukkan daerah Priangan, mereka menemukan daerah sangat subur dengan iklim sejuk. Sebagai penghasil beras dan sayur-sayuran selama ratusan tahun, ternyata Priangan juga cocok untuk menanam kopi dan teh yang mendatangkan keuntungan sangat besar bagi Belanda. Realisasi potensi tersebut membutuhkan jalur transportasi sehingga panen kopi dan teh dapat mencapai Batavia untuk dimuat pada kapal yang menuju Eropa. Sebelumnya, Batavia dan Bandung bagaikan dua negara dengan volume perdagangan yang minim. Sebaliknya, produk Batavia, yang manufaktur ringannya mulai bangkit, sampai ke Bandung bersama produk dari luar Indonesia.

Dengan meningkatnya jumlah pembeli di Bandung dan sekitarnya, skala produksi industri ringan di Batavia, yang kebanyakan menghasilkan kebutuhan rumah tangga dan pengolahan bahan baku, dapat meningkat. Efisiensi pun melejit.

Analisis pada relasi kedua kota tersebut di masa kini menunjukkan pola tidak jauh berbeda. Bandung tidak dapat berkompetisi dengan Jakarta dan sekitarnya untuk industri berat, namun bukan berarti penduduknya hanya menjadi konsumen pasif. Produk Bandung, terutama makanan dan pakaian serta restoran dan hotel, menjadi magnet dari penduduk Jakarta untuk migrasi sementara di akhir minggu. Industri kreatif dan teknologi di Bandung juga mampu meraup untung dari konsumen Jakarta. Tk dapat disangkal bahwa kedua kota mendapat manfaat dari meningkatnya interaksi ekonomi dan menurunnya harga barang.

Pada prinsipnya, pemberlakuan perdagangan bebas antar dua negara atau kawasan tidak berbeda jauh dengan dibangunnya jalan yang menghubungkan Bandung dan Batavia. Dua entitas ekonomi yang semua memiliki hambatan menjadi satu daerah luas yang menghubungkan produsen dan konsumen.

Integrasi unit ekonomi dengan spesialisasi berbeda memiliki dampak yang lebih besar. Nilai tambah intergrasi Surabaya- Jakarta dan Bandung- Tasikmalaya yang relatif serupa tidak lebih banyak dari Jakarta-Bandung karena justru perbedaan tersebut yang menimbulkan potensi perdagangan. Pada awal 2010, ribuan produk dari China diturunkan bea masuknya dari umumnya 5-10 % menjadi nol persen dengan beberapa perkecualian. Bagaimana dampaknya bagi Indonesia?

Pertama, kita harus amati peran China dalam neraca ekspor dan Impor Indonesia. Pada periode Januari-November 2009, Jepang masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$10.717,2 juta (12,37 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai US$9.412,6 juta (10,87 persen), dan Cina dengan nilai US$7.711,6 juta (8,90 persen). Berarti ekspor Indonesia ke China masih di bawah rata-rata negara ASEAN yang mencapai 9,7 %.

Sebaliknya, negara terbesar yang menjadi asal barang non-migas yang kita impor adalah China. Total bernilai US$12,01 miliar dengan pangsa 17,24 persen, diikuti Jepang US$8,78 miliar (12,59 persen) dan Singapura US$8,45 miliar (12,13 persen). Sementara impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,49 persen dan Uni Eropa sebesar 11,20 persen. Berarti pangsa impor Indonesia diatas rata-rata impor negara Asean dari China yang hanya 12.9 %.

Perlu ditekankan bahwa mengurangi impor dan menambah ekspor bukan satu-satunya cara meningkatkan kesejahteraan. Kalau memang martabak dan kaos bandung lebih murah dengan kualitas yang sama atau lebih, lebih baik mengimpor yang membuat penduduk Jakarta meningkatkan konsumsi dengan pengeluaran lebih sedikit.

Masalah timbul bila fokus dipindahkan ke jangka panjang dan produk antara (intermediete goods). Stop memproduksi dan sepenuhnya mengimpor radio, misalnya, bila mengakibatkan hancurnya industri elektronik yang dapat dikembangkan menjadi industri komputer dan teknologi tinggi. Ha-Jun Chang, ekonom Cambridge asal Korea Selatan, mengibaratkan proses pembangunan seperti menaiki tangga. Bukunya, Kicking Away The Ladder (2003), mengingatkan kita pentingnya membangun anak tangga di atas anak tangga yang lain. Bolong di suatu tingkat akan menghambat upaya naik kelas. Indonesia membangun deep industrial base yang kuat forward dan backward linkage-nya

Sayangnya, studi Asian Development Bank (ADB) di 2008 terhadap China- Asean FTA menemukan bahwa industri berat Indonesia akan menyusut sebesar 2,12 % sehingga total output kita justru menurun 0,17 %. Padahal sektor pertanian naik 2,78 % dan makanan melonjak 5 %, bahkan industri ringan masih meningkat 1,2 %. Terdapat bahaya anak tangga yang hilang sehingga Indonesia sulit menjadi negara industri penghasil produk teknologi tinggi.

Indonesia juga perlu mengambil peluang dari kelebihan komparatif yang tidak dimiliki China serta negara lain di Asean seperti keanekaragaman hayati dan sumberdaya laut. Para ahli biologi dan kimia perlu memfokuskan daya upayanya untuk mencari obat penyembuh serta kosmetik dari resep nenek moyang. Ditemukan dan dipatenkannya produk tersebut akan menjadi sumber devisa yang besar serta dapat memperkuat industri farmasi dalam negeri.

Luasnya daerah laut, bila di jaga dari kapal asing dan diolah dengan baik, juga bagai tambang emas. Satu tahap peningkatan yang dengan mudah dilakukan adalah standarisasi. Selama ini, kebanyakan hasil laut (ikan, udang, cumi, dll) dijual secara grosir tanpa dilakukan katagorisasi. Padahal dengan melakukan kategorisasi, harga jual akan meningkat secara signifikan. Kita belum lagi bicara soal pengalengan, promosi, dan distribusi dengan merek Indonesia.

Krisis di bahasa Mandarin terdiri dari "bahaya" dan "peluang." Satu tingkatan mengubah bahaya menjadi peluang adalah mengembangkan merek Indonesia dan memproduksinya di China yang dikenal mempunyai buruh yang murah. Pada satu sisi kita akan memperoleh nilai tambah yang besar dan dampak lingkungan akan tinggal di China.

Memanfaatkan tenaga lawan a la Taichi Master ini sangat kita butuhkan. Ingat bahwa perjanjian pasar bebas dengan India dan Australia-Selandia Baru sudah disetujui dan akan dijalankan tidak lama lagi. Mari kita gunakan pengalaman pasar bebas Bandung- Batavia sejak dua ratus tahun lalu untuk kemakmuran Indonesia dengan pasar bebas bersama China, India, dan Selandia Baru.


Penulis adalah dosen FE Universitas Indonesia dan Ekonom Senior Indef.