Wednesday, May 6, 2009

Tantangan IMF, Berubah atau Punah

Kompas (original link)
Kamis, 7 Mei 2009 | 02:57 WIB

Oleh Berly Martawardaya

Pada September 2007, Managing Director IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan, IMF mengalami krisis identitas.

Para klien utama IMF, yaitu Argentina, Brasil, Indonesia, dan Turki telah melunasi utangnya. Pinjaman IMF ke negara berkembang yang merupakan sumber pendapatan utama lembaga turun drastis 91 persen sehingga perlu dilakukan penghematan biaya operasi 100 juta dollar AS. Pasar modal global lebih dilirik negara berkembang karena bebas dari berbagai persyaratan berat IMF.

Krisis finansial global pada akhir 2008 mengembalikan relevansi IMF seiring dengan mengeringnya sumber modal swasta. Pertemuan G-20 di London menaikkan dana IMF tiga kali menjadi 750 miliar dollar AS dengan 6 miliar dollar AS dialokasikan untuk negara miskin.

IMF juga diberi mandat untuk memberikan early warning terhadap risiko krisis finansial dan makroekonomi, juga mengeluarkan rekomendasi kebijakan untuk menghindarinya.

Pertemuan pimpinan IMF, Bank Dunia, dan para menteri keuangan yang berlangsung 24-26 April lalu adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi dan redefinisi peran.

Berubah dan belajar

Salah satu indikator utama berubahnya IMF adalah apakah terjadi revisi kebijakan. Ketika Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan capital control di Malaysia, sejumlah kecaman dan prediksi negatif diluncurkan IMF. Capital control berperan besar menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Malaysia.

Menghadapi krisis finansial di Eslandia pada September 2008, salah satu komponen inti program stabilisasi rancangan IMF adalah capital control.

Resep standar IMF adalah Structural Adjustment Programs (SAP) yang menaikkan suku bunga, menurunkan inflasi, dan menekan defisit demi menarik dana internasional. Suku bunga di Indonesia tahun 1998 sempat melebihi 50 persen yang melemahkan sistem perbankan tanpa capital inflow yang signifikan.

Pengurangan defisit acap kali dilakukan dengan memotong anggaran pendidikan, kesehatan, dan berbagai subsidi pertanian. Tak heran pergolakan sosial dan kejatuhan pemerintah kerap mengikuti penerapan program IMF.

Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi dan mantan Chief Economist Bank Dunia, menyatakan dalam Globalization and Its Discontent bahwa IMF lebih mengutamakan selamatnya pinjaman swasta daripada kondisi rakyat miskin.

Kebijakan negara maju pada masa krisis adalah kebalikan dari program SAP. Suku bunga diturunkan, bahkan sampai mendekati nol, dan stimulus ekonomi menyebabkan defisit melonjak drastis. Tidak ada negara maju yang memotong subsidi kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial mereka.

IMF telah mengeluarkan program baru bernama Flexible Credit Line (FCL), pinjaman dan bantuan likuiditas tanpa persyaratan ala SAP. Bahkan, pinjaman itu boleh tidak dicairkan sehingga kredibilitas dan kepercayaan internasional bisa diperoleh dengan biaya minimal. Meksiko adalah peminjam pertama FCL sebesar 47 miliar dollar AS.

Ingin menjadi fosil?

Masalah besar IMF adalah tidak berimbangnya hak suara anggota. Pembagian dilakukan berdasarkan proporsi kekuatan ekonomi pasca-Perang Dunia II. Brasil dengan total GDP sekarang empat kali lipat Belgia justru memiliki hak suara lebih kecil. China memiliki hak suara yang sama dengan Kanada, padahal ekonominya enam kali lebih besar.

Total suara negara G-7 ditambah Belgia, Belanda, dan Swiss melebihi 60 persen sehingga tidak akan ada keputusan yang merugikan negara maju. Tak heran negara berkembang enggan percaya dan memperkuat IMF.

IMF juga belum sepenuhnya tobat. Pinjaman yang baru diberikan IMF ke Latvia dan Ukraina masih mensyaratkan pemangkasan defisit gaya paradigma lama. Pada sisi lain, IMF tidak memberikan sanksi apa pun terhadap Amerika Serikat yang menjadi penyebab krisis global dan defisitnya menembus 10 persen GDP.

Perlu tameng

Negara berkembang tetap memerlukan tameng menghadapi krisis dan spekulan. Idealnya ada global lender of last resort yang bisa memberi likuiditas cepat dengan prinsip tanpa batas (freely), sementara (temporary), dan berbiaya premium (with penalty).

Ketiadaan lembaga itu mendorong ASEAN beserta Jepang, Korea Selatan, dan China (ASEAN+3) membentuk Chiang Mai Inisiatif (CMI) dengan total dana 120 miliar dollar AS. Perjanjian bilateral swap agreement telah ditandatangani negara ASEAN+3 untuk memperkuat ketahanan ekonomi.

Asia telah memiliki solusi tersendiri terhadap permasalahan bersama, tinggal masalah waktu sampai wilayah lain menyusul. IMF perlu berubah secara mendasar atau bersiap menjadi fosil sejarah.

Dosen FE-UI; Aktivis NU Profesional Circle