Friday, March 13, 2009

Menelusuri Dana Kampanye

Koran SINDO (original link - berlangganan)
Jumat, 12 Maret 2009

Berly Martawardaya

Demikian saran DeepThroat,nama samaran pejabat tinggi di pemerintahan Nixon yang menentang praktik kotornya, kepada Carl Bernstein Bob Woodward.

Informasi ini membawa dua wartawan muda idealis di koran Washington Post menelusuri skandal di balik pembobolan kantor pusat Partai Demokrat di kompleks Watergate di Washington pada bulan Agustus 1972. Pelacakan rekening bank tersangka pembobolan belakangan membongkar konspirasi ilegal yang dilakukan CREEP (Comittee to Re-elect President) untuk mengegolkan Nixon pada periode kedua kepresidenan.

Alur dana menuju pada penipuan kampanye, spionase politik,sabotase,penyadapan, dan penggelapan pajak.Tidak sampai dua tahun setelahnya, Nixon mengundurkan diri sebagai presiden dan wakilnya, Gerald Ford, lalu disumpah sebagai pengganti. Episode sejarah di atas menunjukkan pentingnya transparansi finansial dan transaksi.Tanpa kejelasan kepemilikan rekening, sulit untuk melacak siapa pelaku dan otak kejahatan yang sesungguhnya. KPU dan demokrasi Indonesia menghadapi tantangan besar untuk menuntut transparansi dari partai politik.

Baru saja para partai politik melaporkan saldo awal rekening kampanye mereka sesuai ketentuan perundangan. Bagai pembagian bobot di olahraga tinju, di kelas berat di atas Rp5 miliar hanya ada Partai Hanura, Demokrat, PKS, dan Gerindra, sedangkan di kelas bulu kurang dari 5 juta terdapat 7 partai. Partai-partai dengan sejarah panjang dalam bangsa ini seperti Golkar, PDIP, dan PPP berada di tengah-tengah dengan dana cekak.

Namun, apakah memang begitu adanya? Tampaknya ada kejanggalan di sini.Menurut hasil survei Nielsen Media Research Indonesia, belanja iklan politik sepanjang 2008 menembus rekor baru, yaitu Rp2,208 triliun. Melonjak naik 66% dibandingkan tahun 2007,Rp1,327 triliun.Adapun belanja pada Pemilu 2004 kurang dari seperlima dari 2008. Tidak terlalu bombastis jika total pengeluaran pada Pemilu 2009 dapat melebihi Rp3 triliun. Dana yang hanya maksimal Rp15 miliar tentu hanya titik kecil dalam statistik itu. Angka itu pun jelas tak akan mampu membeli spot iklan di televisi yang jika ditotal mencapai berjam-jam.

***

Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam penyikapannya mempertanyakan minimnya informasi yang dibuka.Dengan hanya dilaporkannya nomor rekening dan saldo membuat rancu apakah kepemilikan atas nama pribadi atau partai. Apakah untuk mengetahui nama pemilik harus ada aksi dari kejaksaan? Lebih parah lagi adalah tidak dilampirkannya pemasukan dan pengeluaran kampanye selama ini.

Dalam prinsip laporan finansial ada laporan kondisi keuangan (income statement) dan ada arus kas (cash flow).Yang kedua ini tidak dilaporkan oleh partai, padahal tidak kalah pentingnya. Laporan ini juga tidak merespons perubahan paradigma setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang menggeser pusat kegiatan kampanye dari partai ke individu calon anggota legislatif (caleg).

Dalam sistem suara terbanyak, para caleg akan berkompetisi tidak saja dengan caleg dari partai lain,tapi juga dari partai sendiri. Pelaporan rekening partai tidak mencerminkan dana kampanye yang dikeluarkan. Bahkan dapat dipastikan dana partai hanya merupakan bagian kecil dari total dana kampanye. Harusnya tiap caleg juga melaporkan rekening yang digunakan untuk menampung aliran dana kampanye. Peraturan KPU No 01/2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Partai Politik memberikan aturan main yang jelas di banyak hal,tapi juga masih memiliki beberapa kerancuan.

Pasal 11 menyatakan bahwa dana kampanye yang perlu dilaporkan juga meliputi jasa yang didefinisikan sebagai pelayanan yang dilakukan oleh pihak lain dan dicatat berdasarkan harga pasar yang wajar. Siapa yang menentukan harga pasar yang wajar ini? Sebaiknya tiap KPU di kabupaten/ kota sejak dini menentukan standar harga lokal untuk bentuk jasa yang diperkirakan akan muncul sehingga tidak ada over/under pricingdi kemudian hari.

Perlu dipertanyakan apakah KPU familier dengan proses audit karena waktu yang diberikan amatlah pendek. Paling lama 30 hari setelah laporan keuangan disampaikan oleh parpol, hasil audit harus sudah disampaikan (Pasal 32). Padahal pembukuan dana kampanye pemilu sudah dimulai tiga hari setelah partai politik ditetapkan sebagai peserta pemilu (Pasal 14). Sejak bulan Agustus 2008 ketika 38 peserta pemilu telah ditetapkan, berarti pencatatan dana telah dimulai dan dapat mulai diaudit.

Dalam proses audit dikenal istilah mid-term dan quarterly review di mana auditor sudah memegang dan menganalisis laporan keuangan walaupun belum difinalisasi. Reviu ketika transaksi masih berjalan memungkinkan auditor untuk mengungkap proses yang tidak tepat sehingga dapat diperbaiki setelahnya. Metode ini juga meringankan kerja di akhir periode karena hanya perlu update terhadap transaksi yang baru dilakukan setelah reviu terakhir.

Mengenal metode pencatatan parpol dan melakukan semua proses audit yang standar pada transaksi yang demikian beragam sangatlah sulit dan berisiko. Mengingat sanksinya adalah pembatalan penunjukan (Pasal 33),sangat mungkin banyak kantor akuntan publik (KAP) tidak akan mau terlibat pada audit parpol daripada tidak mendapat fee pada ujungnya.

***

KPU seperti tidak sadar bahwa terdapat perbedaan kapasitas dan kompetensi antara berbagai KAP.Pada Pasal 29 ditetapkan bahwa tiap KAP mengaudit 1 (satu) laporan dana kampanye partai politik tingkat pusat dan/atau 1 (satu) laporan dana kampanye untuk 1 (satu) partai politik tingkat provinsi dan mengaudit laporan dana kampanye partai politik yang sama pada tingkat kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.

Berarti dibutuhkan paling tidak 38 KAP yang berbeda untuk melaksanakan amanat pasal itu. Padahal sudah menjadi praktik umum untuk satu KAP melaksanakan audit bagi beberapa perusahaan. Apalagi KAP yang memiliki standar internasional di Indonesia dapat terhitung dengan jari tangan.Jangan sampai timbul kesan bahwa ketentuan ini untuk bagibagi proyek dengan mengebelakangkan kualitas. Namun yang paling membuat geregetan adalah mengenai sanksi (Pasal 36).

Sekilas sepertinya sudah tepat bahwa jika DPP, DPD provinsi, dan DPD kabupaten/kota atau calon anggota DPD tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada KAP yang ditunjuk KPU sampai dengan batas waktu,partai politik atau calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa tidak ditetapkannya sebagai anggota parlemen.Namun tidak ada ketentuan jelas mengenai ketepatan dan keakuratan laporan keuangan. Asal sudah menyampaikannya, tinggal melenggang menjadi wakil rakyat yang terhormat.

Merujuk pada berbagai permasalahan di atas, Peraturan KPU No 01/ 2009 masih memiliki kelemahan yang dapat fatal akibatnya bagi demokrasi Indonesia. Kita tidak ingin kursi parlemen dapat dibeli dengan uang karena kebijakan yang dihasilkan akan besar dampaknya bagi kehidupan rakyat. Sebelum direvisi secara mendasar untuk melacak arus uang secara detail dan komprehensif, KPU tidak bisa mendapatkan opini tertinggi gaya KAP,yaitu ”wajar tanpa syarat.”(*)

Penulis adalah Dosen FEUI dan Kandidat Doktor Ekonomi di University of Siena, Italia

No comments: