Monday, December 28, 2009

Anggaran Efektif

Kontan. Edisi 28 Des 2009 – 3 Jan 2010.
Halaman 39.


Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Tiga orang duduk bersama dan membandingkan kesehatan mereka. X beraktivitas dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam. Tentu tidak baik jika pada pagi hari sudah digeber olahraga habis-habisan sehingga jam belum makan siang sudah loyo dan ngantuk. Akibatnya sisa waktu bangun yang masih sepuluh jam lagi tidak efektif.

Y senang makan dan ngobrol seharian di warung kopi serta bersantai sampai terbenam matahari. Lalu dalam empat jam lari marathon dan habis-habisan memompa otot di fitness centre sampai tidak bisa bergerak lagi.

Adapun Z melakukan sedikit pemanasan di pagi hari untuk tengah hari yang produktif dan rehat malam yang lelap. Sesekali disela olahraga di sore hari. Tak heran Z adalah yang paling sehat di antara ketiga orang tersebut.

Realisasi anggaran negara di Indonesia bagai pola hidup Y . Pengucuran merangkak sampai dengan September dan Oktober, manyak lembaga pemerintah yang baru melaksanakan 60 % dari total budget, lalu melejit mengejar 100 % di bulan Desember.

Padahal, sudah ada paket undang undang yang terdiri dari UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU no 1/2004 tentang perbendaharaan Negara dan UU no 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dengan dasar pemikiran mengggeser dari financial administration ke financial management.

Tidak direalisasikannya anggaran secara finansial memberikan kerugian yang riil. Bila satu lembaga pemerintah memiliki sisa anggaran 1 triliun maka sebenarnya bila di investasikan di SBI saja sudah akan memberikan return sebesar 6.5 miliar rupiah.

Adapun studi Congressional Budget Office (CBO) di pemerintah Amerika Serikat mendapati dampak pengali (multiplier) dari anggaran negara dapat mencapai 2.5 kali lipat bila di alokasikan ke infrastruktur. Artinya peningkatan ekonomi masyarakat dapat mencapai 2.5 trilliun rupiah dari sisa anggaran hipotetikal di atas.

Apalagi kalau sudah dijumlah dengan segenap instansi negara di tingkat pusat, propinsi dan lokal serta yudikatif dan legislatif. Berapa banyak yang seharusnya dapat di capai.

Prioritas Anggaran

Tentunya jumlah bukan segalanya. Komposisi tidak kalah penting. Bila anggaran negara dibelanjakan untuk memotong pajak orang kaya maka dampak ke masyarakat banyak hanya setengah dari jumlah yang dikeluarkan.

Prioritas adalah pada kegiatan yang memiliki perputaran uang cepat dan diterima oleh penduduk yang membutuhkan uang serta akan membelanjakannya di dalam negeri untuk kebutuhan utama dan sekunder. Barang-barang mewah memiliki kandungan impor yang tinggi sehingga yang diuntungkan adalah negara lain.

Melihat pentingnya pemerintah terhadap perekonomian mengapa realisasi dan pencairan anggaran demikian perlahan?

Mari kita berempati dan mengambil sisi pandang eksekutif. Apabila pada awal periode lembaga tersebut menetapkan anggaran yang ketat, maka ditakutkan akan timbul kebutuhan di tengah periode yang tidak diduga sebelumnya sehingga tidak dapat di laksanakan. Kehati-hatian yang sama juga membawa realiasi yang kecil di tiga triwulan pertama karena dikuatirkan akan timbul kebutuhan mendadak di triwulan akhir.

Akhirnya, pemerintah mengambil langkah untuk menetapkan anggara yang lebih tinggi dari perkiraan kebutuhan. Bila memang pelaksanaan dibawah anggaran maka dana tersebut dapat di pindahkan ke pos anggaran yang lain. Atau dihabiskan dengan system kebut dua-tiga bulan walaupun dampaknya ke masyarakat tidak sebesar potensinya.

Berbeda dengan swasta yang senang apabila dillakukan penghematan biaya serta under-utilized budget. Anggaran negara yang tidak dihabiskan akan sulit untuk di gunakan di tahun berikutnya dan menjadi catatan negatif pada performance pimpinan lembaga terkait.

Walau alasannya dapat dipahami, namun praktek ini tidak dapat dibiarkan. Sosok Y di paragraph pembuka tidak menjalani gaya hidup yang sehat dan justru memberatkan jantung serta kondisi tubuhnya. Moderasi dan keseimbangan adalah pilihan yang lebih baik.

Persebaran kegiatan lembaga pemerintah sudah sepatutnya menjadi salah satu unsure perencanaan sehingga pada tengah tahun paling tidah 40 % anggaran sudah di realisasikan. Proses bidding dan seleksi, yang seringkali dapat dipersingkat, dapat mulai dilakukan walau tahun anggaran belum di mulai sehingga cepat berjalan.

Penghargaan dan konduite tinggi justru perlu diberikan pada sosok dan lembaga yang dapat menghemat keuangan negara. Walau tentunya ada beberapa key performance indicator yang harus dicapai selain efisiensi biaya.

Sistem performance budgeting memfokuskan pada rasio benefit yang dihasilkan dari jumlah tertentu anggaran. Sehingga yang menjadi bobot penilaian performa individu dan lembaga bukanlah persentase realisasi semata..

Prosedur yang baku dan pasti serta memakai teknologi menjadi langkah yang sangat diperlukan dalam efektifitas anggaran. Pada satu sisi, kehati-hatian dan menghindari korupsi sangatlah urgen, tapi tidak berarti mengorbankan tujuan utama dari program pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Aliran dana pemerintah bagaikan darah yang menjadi pengantar energi dan menggerakakan tubuh perekonomian. Kemacetan di awal periode yang diikuti oleh banjir di akhir tidak akan menyegarkan ekonomi negara. Dokter harus tegas terhadap ulah pasien yang justru merugikan dirinya sendiri.

Addendum:
Pada paragraf 6 tertulis 6.5 millar harusnya 65 milliar. Koreksi sudah saya sampaikan ke pihak Tabloid Kontan dan akan muncul sebagai surat pembaca

Wednesday, December 23, 2009

Mencari Playmaker Sampai ke China


Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Rabu, 23 Desember 2009
Harian Sindo (original link - subcription)


Ibarat menanti sebuah pertandingan sepak bola akbar, setiap tim sewajarnya sudah mempersiapkan langkah dan strategi serta susunan pemain.Latihan berat demi menguatkan stamina serta mengasah teknik adalah suatu keharusan.


Rekam jejak dan gaya permainan calon lawan di lapangan hijau dianalisis untuk menyiapkan langkah. Para kampiun sepak bola kerap berujar, menghadapi lawan yang sangat tangguh selalu ada hikmahnya. Walaupun akhirnya kalah, proses latihan dan persiapan ketat yang ditempuh akan menempa kapasitas tim. Sebelum operan pertama terjadi maka manfaat sudah diraih.Gol sekadar bonus. Bagaimana jika beberapa hari menjelang pertandingan menghadapi tim unggulan ada beberapa pemain yang minim persiapan dan meminta pengunduran waktu dengan alasan tidak siap, padahal pertandingan sudah disetujui jauh-jauh hari?

Apakah memang dari awal seharusnya pilih lawan yang lebih setara? Atau semestinya lebih baik persiapan dan latihannya? Perjanjian perdagangan bebas antara 10 negara ASEAN dan China tidak jauh berbeda dari kisah di atas. Bahkan Ketua Komisi VI (Bidang Industri Dan Perdagangan) DPR, Airlangga Hartarto (FPG), sudah mengirimkan surat permintaan penundaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyampaikan notice kepada pihak China dan anggota ASEAN sebelum 1 Januari 2010. FTA yang akan masuk ke tahap utama pada 1 Januari 2001 bukan sekonyong-konyong jatuh dari langit tanpa peringatan apa pun.

Pada pertemuan kelima ASEANChina Summit,6 November 2001,di Brunei Darussalam,kesepuluh anggota ASEAN dan China menyepakati pembentukan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dalam 10 tahun dengan perlakuan spesial untuk anggota ASEAN yang masih pada tahap awal pembangunan yaitu Kamboja,Laos,Myanmar, dan Vietnam. Framework Agreement on a Comprehensive Economic Cooperation ditandatangani oleh sebelas negara tersebut di ASEAN-China Summit ketujuh di Phnom Penh,Kamboja, 4 November 2002.Adapun kesepakatan spesifik tentang protokol kerja sama perdagangan dan investasi ditandatangani pada 6 Oktober 2003.

Xiahohong Yu (2005) menganalisis kelemahan ASEAN yang walau berpenduduk besar–bahkan lebih luas areanya dari 10 anggota inti Uni Eropa–tapi gabungan GDP ASEAN hanya sepersepuluh EU-10. Kecuali Indonesia, setiap negara memiliki pasar domestik yang relatif kecil dan sebagian besar ekspor diarahkan ke luar ASEAN. Para anggota ASEAN kebanyakan berspesialisasi di pertanian, pertambangan, dan industri ringan,sehingga tidak melengkapi tapi saling berkompetisi.ASEAN tidak memiliki anggota inti yang mendukung penuh integrasi seperti EU-10 dengan Jerman dan Prancis. Kesenjangan di antara anggota ASEAN juga menjadi masalah tersendiri.

***
Melalui kongsi dengan China, negara yang paling banyak penduduknya di dunia, maka ASEAN akan mendapatkan pasar yang sangat besar bagi produk negaranya. ACFTA memiliki 1,7 miliar penduduk dengan total PDB sebesar USD2 triliun dan total perdagangan USD1,23 triliun. China pada saat ini memiliki industri menengah yang cukup kuat, sehingga membutuhkan bahan baku serta energi dari negara ASEAN dan membuat perdagangan lebih komplementer.

Tingkat ekspor China yang sangat pesat perkembangannya akan mendorong pertumbuhan negara ASEAN, sehingga mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat. Bagaimana dengan dampaknya? Studi oleh Sekretariat ASEAN,menggunakan global trade analysis project (GTAP), memproyeksikan ekspor ASEAN ke China akan meningkat USD14 miliar dolar atau 48%. Penerima mendapat manfaat terbesar adalah anggota ASEAN yang relatif maju, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, serta Thailand. Sebaliknya ekspor China ke ASEAN akan meningkat USD6,8 miliar atau 2,4%. Sektor yang meningkat pesat di ASEAN adalah tekstil, elektronik, mesin dan manufaktur lain dengan Indonesia mendapati kenaikan sebesar USD1,3 miliar.

Namun studi baru oleh Donghyun Park,Innwon Park,dan Gemma Esther B Estrada (2008) dari Asian Development Bank (ADB), dengan teknik computable general equilibrium (CGE), mendapati bahwa industri makanan Indonesia akan meningkat 5% dan produk pertanian 2,8%. Sayangnya industri berat akan mengalami penurunan sebesar 2,7%. Pengalaman Thailand layak dicermati karena mereka lebih dulu membuat perjanjian perdagangan bilateral dengan China. Mereka alami 117% kenaikan impor apel serta 346% untuk pir dan 4.300% untuk anggur.

Namun ekspor Thailand ke China naik 986% untuk fresh longan,21.850% untuk ekspor durian, dan 150% untuk ekspor mangga. Produk yang kompetitif akan meningkat, yang lemah akan diserbu. Apa yang dapat dilakukan untuk mengambil manfaat semaksimal mungkin dari ACFTA? Tidak sampai dua minggu lagi tarif impor untuk 6.682 produk dari China akan diturunkan drastis— yang membuat produsen Indonesia harus berkompetisi.

Hambatan terbesar mungkin berasal dari dalam Indonesia sendiri dengan prosedur yang panjang serta berbelit untuk melakukan ekspor.Itu berarti hanya pengusaha dengan modal besar atau network yang bagus akan dapat menembus pasar luar negeri. Kemudahan perizinan bukan lagi menjadi kemewahan, tapi kebutuhan imperatif untuk bertahan di era perdagangan bebas.

***
Sun Tzu mengatakan, kenali lawanmu dan dirimu maka engkau akan memenangkan seratus pertempuran. Studi mengenai bahasa dan budaya China harus digalakkan di Indonesia karena bagaimanapun bisnis adalah hubungan antarmanusia. Indonesia juga perlu secara strategis dan terencana mengirimkan orang untuk belajar di Negeri Tirai Bambu.

Dengan bahasa yang amat kompleks dan tata cara kehidupan yang rumit,kita butuh duta yang mengerti kondisi di China,tapi tetap dalam konteks kepentingan Indonesia.Kelompok orang ini yang sekembalinya ke Indonesia akan menjalin kerja sama dengan China dan membantu pengusaha Indonesia membuka serta mengembangkan usaha di sana. Pada sisi lain, Indonesia juga perlu tegas menerapkan standar mutu dan kualitas terhadap produk China yang masuk ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu pasar Amerika Serikat (AS) geger dengan produk China yang tidak memenuhi standar lingkungan dan tidak aman dengan anak. Jangan korbankan masa depan kita hanya karena tergiur produk yang murah.

Indonesia juga memiliki beberapa produk unggulan.Neraca perdagangan produk pertanian Indonesia dengan ASEAN plus China surplus USD2,2 miliar. Surplus itu dicapai dengan ditopang produk perkebunan seperti kelapa sawit, karet,kopi,dan teh.Keunggulan ini harus dijaga serta ditingkatkan dengan mengetahui tipe serta preferensi konsumen di China. Bagaimanapun, persiapan untuk negosiasi perdagangan selanjutnya harus dilakukan dengan saksama dan berdasarkan kemampuan serta visi strategis bangsa.

Jangan lagi terjadi lupa kolektif yang diikuti oleh panik kolektif seperti saat ini. Indonesia butuh playmakeryang melihat peluang di depan dan menyiapkan serangan secara saksama dan cantik. Bukan penjaga gawang yang hanya bisa bertahan mati-matian ketika lawan sudah dekat.(*)

Wednesday, December 2, 2009

Reminiscence of A Chinese-Indonesian Look-alike



It was totally unexpected.

I was just finishing an afternoon prayer in the mosque nearby Faculty of Economics at the University of Brawijaya. The meeting in the mountainous city of East Java brings together cool heads of Economics and Development students all over Indonesia together. We were on the verge of establishing a national organization for Economics and Development students.

Students in this major are proud for their fellow alumni and lecturers as they are known as a driving force in national and regional planning agencies as well as expert members of most of welfare and economic related policy committees. And some of them become top executives or lawmakers. Moreover, TV shows and newspapers are not complete without economic section.

Considering the enormity of tasks in setting up development plans, which usually fall into alumni of 70+ public universities in Indonesia with Economics major, with ten percent of them doing most of the heavy lifting, it is imperative that during studentship period that we get to know each other to build networks early on.

Little did I know that at I was bumping into a different kind of wall soon after.

A group of female students from Andalas University in West Sumatra, based in Padang the hometown of my tribe, looked at me curiously and braced themselves to ask a question. One of them said, “What are you doing in a mosque?”

I told them that I had just finished praying and she responded, ”Oh, I didn’t thought that you are Moslem since you look like a Chinese.”

I defended myself by explaining that I have a mixed blood of Padangnese from West Sumatra and Sundanese West Java, both of which have reputation of fair skin, then it is natural that my skin is even fairer than most Indonesian people.

They smiled to me and afterward the group’s behavior was growing warmer toward me. Having good-looking girls behaving nice is not usually a circumstance that makes me complain. But it did have me wondering.

Two strands occurred in my minds. First, why they changed behavior. Second, why I felt the strong urge to ‘defend’ myself.

I have an impeccable credential as a pribumi, translated literally into son of the earth, Indonesian. As I mentioned before, my parents are both from Indonesian tribes with no traceable of intermarriage with western or far east blood. Not only I am a Moslem but a leader of local chapter of Islamic Association of University Student (HMI), which has the largest number of student in the world among student associations in a single country. I even have, albeit weak, acquaintances with leaders of revivalist and progressive Islamic movements in the country.

Not that I have prejudices or bad experiences with minority in Indonesia. Some of my fondest childhood memories were during my three-year stay in Riau Island near Singapore where many of the inhabitants were Chinese descent.

Every time I saw a red envelope, it reminds of me of a well-kept tradition in Chinese New Year where children in a neighborhood will be given angpao, money in such envelope. Until now, I still count kwe tiaw (Chinese flat noodle) with seafood sauce as one of my favorite meals. And yes, I developed close friendship with a Chinese boy of my age whose photo still adorns my album and my mother still sometimes proudly shows to visitors of our house.

So why I have the need to differentiate myself and my identify that I am not one of “them”?

As much as having progressive and nationalistic parents could have impact, I could not escape influences of the media and community. I am still a product of my generation.

In a way, it’s not totally the mistake of Chinese Indonesians. The Dutch colonial system that lasted more than three centuries in some areas of Java created a hierarchy of population. They and other European descendants were at the top of pyramid with all the power and perks that ensued while the pribumi were placed at the bottom of the vertical stratifications.

A few pribumis with royal blood or special circumstances could get Dutch education and even went all the way to study in Holland, but they retained little illusion that the barrier could go away longer than a flicker of moments. But there was also the second layer.

As the Netherlands was very far away from Indonesia and the state of sea transportation at the time was far from convenient, their number was too small for an effective power over economic and political matter in the archipelago. While they hold close to political power, the economic side was not held to close to the chest and many of trading activities were given up. Of course some of the spoil would reach them eventually.

Arab and Chinese descendants were classified as the second layer of population class. This arrangement had added benefits by making the pribumi saw that the Dutch was not the only group higher in hierarchy thus making their position even weaker.

The Arab had an advantage with having similar religious and cultural backgrounds with most of Indonesian population. With intermarriage often occurred, Arabian descendants had been accepted as a part of Indonesian diverse richness.

While there have been heroic cases of Chinese Indonesian fight against the Dutch colonial system, the main impression is how the group was privileged over suffering of pribumi Indonesia. Furthermore, Christianity was brought by Dutch and Portuguese to Indonesian archipelago and is still seen with suspicion of being external agents and less than fully loyal to Indonesia.

Some historians said that female Chinese prevented their males to convert to Islam for fear of the husband taking a second, a third or fourth wives that are allowed in mainstream Islam. Anyhow, the low percentage of Moslems in Chinese Indonesians made the group a triple minority in terms of ethnic, religion, and wealth.

Being suspected as part of coup movement to oust Sukarno, the first president of Indonesia, certainly wasn’t helpful to the cause of integration. Chinese schools and newspapers were banned, and people who were using Chinese names were forced to adopt proper Indonesian names.

During the New Order under Suharto, the marginalization of Chinese Indonesians reached a new height. One would be very hard pressed to find one member in government office or military. Chinese Indonesians were ghetto-ized into businesses activities which fed into vicious cycles of resentment as the group grew richer. The riots of May 1998 were the culmination of that resentment. The harrowing stories of the incident will forever be kept in the conscience of Indonesians.

But it was not without any upside.

The president after the 1999 election was Gus Dur, who was a strong civil society leader and an avid defender of minorities. Chinese newspapers and daily news in Mandarin on a major national TV station and Chinese culture flourished again under his administration, while the next president did nothing to stem the tide.

Now the Chinese New Year is again a festivity of sight and sound. Who can forget barongsai dance with two persons in a dragon costume doing acrobatic feats, once you have seen them? Now I am happy that my children will not be barred from such amazing sight.

In retrospect, I wish I had echoed Collin Powell when he endorsed Obama for president over John McCain in the eve of 2009 election. I would have said, “What if I am a Chinese Indonesian? Is there something wrong with being a Chinese Indonesian in this country?”

I expect that there will be time, not very far from now, when the question will meet a resounding no by all Indonesians. An individual should not be judged by the color of skin, religion, and racial heritage or wealth, but by the content of character and contribution to common good.[]

Simalakama Risiko Sistemik


Berly Martawardaya

Liputan6.com (original link)
02/12/2009 15:04



Belakangan ini muncul “binatang” baru dalam perdebatan ekonomi di Indonesia, yaitu risiko sistemik. Makhluk ini demikian ditakuti sehingga pantas dikucurkan dana Rp 6,7 triliun untuk menghalau kedatangannya. Tapi, menurut saya, keberadaannya antara ada dan tiada. Darmin Nasution, mewakili Bank Indonesia, menyatakan secara internasional, tidak pernah ada kriteria dampak sistemik. Ini bukan kelemahan BI karena pengaturan yang jelas akan menimbulkan moral hazard. Kriteria sistemik diadopsi dari nota kesepahaman yang berlaku di kawasan Uni Eropa.

Namun halaman awal dari hasil audit BPK menyatakan bahwa tujuan studi tersebut adalah menyelidiki dasar hukum, kriteria, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan pemerintah dalam menetapkan status Bank Century sebagai berdampak sistemik. Salah satu kesimpulan audit BPK adalah BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century

Kenyataannya, Bank Indonesia telah menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan Surat Gubernur BI No. 01/232/GBI/Rahasia tertanggal 20 November 2008 yang diperkuat oleh rapat KKSK pada 21 November 2008 dengan Keputusan No 04/KSSK/2008. Berarti BI memiliki kriteria tersendiri dalam mengkatagorisasikan apakah suatu permasalahan bank memiliki dampak yang terisolasi dan terbatas pada nasabahnya atau meluas pada bank lain dan sistem perbankan secara umum.

Bukankah hal ini menjadi argumen tambahan bahwa bank yang memiliki resiko sistemik harus dideteksi sedini mungkin dan dihilangkan, atau setidaknya dikurangi, risikonya? Tapi pernyataan di atas menyebutkan bahwa bila terdapat kategori yang jelas justru akan menimbulkan masalah baru. Jadi apakah sebaiknya terdapat indikator dan deteksi dini terhadap bank dengan risiko atau tidak? Sungguh bagai buah simalakama. Mari kita kaji premis dan landasan dari tindakan yang diambil otoritas keuangan dalam bail-out Bank Century.

Walau tidak ada aturan baku global tentang risiko sistemik perbankan seperti Basel Accord tentang komposisi modal, literatur ilmiah yang tersedia cukup memadai. Referensi itu bisa dari The Fed di Amerika, European Central Bank di Eropa, maupun IMF yang khusus diberi mandat oleh G20 untuk memantau stabilitas keuangan global.

Oliver de Bandt dan Philippe Heartman pada working paper No. 35/2000 yang diterbitkan European Central Bank mendefinisikan risiko sistemik ketika berita buruk mengenai satu institusi finansial, atau kegagalannya, akan mendorong kegagalan satu atau beberapa institusi finansial lain. Risiko sistemik dinyatakan kuat bila institusi lain yang secara fundamental kuat akan tergerus dan terkena dampak secara signifikan.

Pada kondisi tersebut, sirkulasi uang sebagai darah dari perbankan akan mengalami penciutan secara drastis. Tiap bank akan berusaha meningkatkan likuiditas tapi secara sistemik aksi tersebut justru akan menguranginya. Pemilik modal dan likuiditas akan dapat menikmati tingginya suku bunga pada masa panik tersebut yang akan menggerus profit perbankan.

Lebih parah lagi, untuk mendapatkan likuiditas, bank mendesak peminjam untuk melunasi lebih cepat padahal sebagian pinjaman bank memiliki jatuh tempo yang sudah diperhitungkan dengan likuiditas. Nasabah yang panik dan mencairkan tabungan justru akan memperparah kondisi.

Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) dari IMF menyatakan terdapat empat penyebab utama munculnya risiko sistemik. Sumber pertama adalah institution base, yaitu sejauh mana bank telah menjalankan prinsip kehati-hatian. Jika suatu bank sudah memiliki reputasi buruk dalam kebijakan simpan pinjam serta pengelolaannya, kabar kegagalan kecil mungkin akan menjalarkan kepanikan di bank lain.

Sumber kedua adalah market-base and interconnectedness, yaitu sejauh mana aset bank tersebut bersumber dari bank lain dan sebanyak apa aset bank tersebut di bank lain. Semakin tinggi rasio tersebut, semakin tinggi risiko sistemik, apalagi untuk bank dengan proporsi terhadap total aset perbankan besar.

Sumber ketiga adalah infrastructure based, khususnya basis legal dan perundangan serta kerentanan terhadap efek domino. Sistem perbankan suatu perekonomian yang lemah di sisi ini hanya akan menarik arus dana jangka pendek yang akan kabur lagi ketika kondisi memanas.

Sumber terakhir adalah sentimen regional dan global yang akan mempengaruhi kerentanan di suatu perekonomian. Negara yang kuat ekonominya, tapi jika secara global sedang ada resesi, dapat terseret juga oleh permasalahan yang sebenarnya tidak besar.

Secara besaran relatif agak sulit mengkategorikan Bank Century sebagai anchor bank yang akan mendorong krisis sistem perbankan jika dibiarkan gagal. Proporsi dana pihak ketiga (DPK) Bank Century hanya 0,08 persen dari total DPK perbankan. Pencairan kredit hanya 0,72 persen dari total, dan total aset hanya 0,72 persen dari total aset perbankan.

Argumen moral hazard dapat diterima bila suatu institusi too big too fail (TBTF) dan cenderung mengambil kebijakan yang tidak prudent karena tahu akan di bail-out seperti banyak dituduhkan pada Goldman Sach dan AIG di Amerika Serikat. Cukup logis bila perusahaan ingin meraih status TBTF sehingga tidak perlu cemas dengan risiko kebijakan. Tapi tidak sulit untuk menyelesaikan masalah ini yaitu dengan memecah perusahaan TBTF menjadi beberapa perusahaan kecil yang lebih kompetitif dan efisien.

Argumen bahwa Bank Century memiliki keterkaitan erat dengan bank lain di Indonesia perlu dibuktikan dengan audit investigatif mengenai penempatan dana bank lain di Bank Century dan sebaliknya dalam berbagai bentuk (interbank loan, commercial paper, saham, obligasi, dan sebagainya.)

Kondisi ekonomi global tahun lalu memang sedang pada pertengahan krisis. Namun sebagian besar dana asing sudah keluar dari sistem keuangan Indonesia. Perlu dipertanyakan apakah kebijakan blank check tanpa batas terhadap bank gagal yang memiliki resiko sistemik patut dipertahankan.

Bagaimana dengan MoU antara bank sentral, badan pengawas keuangan, dan para menteri keuangan di Eropa? Menarik sekali bahwa di antara kesepakatan bernomor ECFIN/CEFCPE(2008)REP/53106 REV REV itu ditekankan soal akuntabilitas terhadap institusi bermasalah dan bahwa kreditor/deposan harus siap kehilangan sebagian dari tabungan mereka. Penggunaan uang publik tidak boleh taken for granted dan hanya digunakan bila manfaat sosial lebih besar ketimbang biaya rekapitulasi yang ditanggung publik.

Milton Friedman, peraih hadiah Nobel Ekonomi dari Universitas Chicago, menekankan bahwa bank sentral perlu mendahulukan rule than discretion sehingga pelaku ekonomi memiliki arahan dan kepastian dalam mengambil tindakan. Bila kebijakan moneter dan perbankan memiliki ruang deviasi yang sangat lebar justru dapat memicu moral hazard serta perilaku negatif pelaku pasar yang memiliki posisi tawar besar.

Menaklukkan suatu masalah harus dimulai dengan menghadapinya secara langsung. Sudah saatnya Indonesia menyusun Sistem Operasi Prosedur (SOP) kriteria deteksi dini dan langkah pengobatan yang transparan terhadap risiko sistemik di bidang finansial. Dengan begitu, keraguan terhadap penyelamatan seperti untuk Bank Century tidak muncul lagi di masa mendatang.


Penulis adalah staf pengajar di FEUI, ekonom senior INDEF, dan aktivis NU Professional Circle

Monday, October 26, 2009

Kabinet (Semoga) Indonesia Bisa


Harian Sindo. Senin, 26 Oktober 2009
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/279542/

Pada pidato pelantikannya sebagai Presiden Indonesia periode 2009–2014, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan menjaga pertumbuhan ekonomi dengan semangat ”Indonesia Bisa” untuk menegakkan good governance, membasmi korupsi, dan mengurangi kemiskinan.

Janji itu sangat menarik, tetapi tentu dalam pelaksanaannya Presiden harus memperhatikan komposisi anggota kabinet di bidang ekonomi serta tantangan yang menghadang. Untuk menganalisis tim ekonomi di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, akan digunakan kerangka 3C, yaitu cleanliness, competence, dan coherence. Nama yang disebutkan dalam jajaran kabinet relatif bersih (clean).

Sampai sejauh ini belum ada indikasi dari para menteri di KIB II yang terlibat pelanggaran kriminal, khususnya korupsi, serta pelanggaran moral yang akan melemahkan kepercayaan terhadap pemerintahan secara keseluruhan. Menyapulah dengan sapu yang bersih. Menteri Kehakiman dan HAM serta Jaksa Agung menjadi bagian penting dari kesuksesan tim ekonomi KIB II.

***
C yang kedua adalah competence. Jangkar kepercayaan masyarakat pada kompetensi pemerintah diletakkan pada formula 2+3,yaitu dua menteri yang menempati pos lamanya dan dua muka baru. Mari Elka Pangestu dan Sri Mulyani Indrawati adalah jangkar dari kontinuitas kebijakan pemerintah dengan prestasi yang nyata di portofolio mereka, khususnya dalam mendorong perdagangan dan reformasi birokrasi.

Tiga muka baru yang meningkatkan daya dorong KIB II adalah Armida Alisjahbana,Kuntoro Mangkusubroto, dan Gita Wirjawan. Armida adalah ekonom tangguh dengan jam terbang tinggi yang fokus pada bidang tenaga kerja, kemiskinan, dan pendidikan. Dia adalah sosok yang dapat menyegarkan Bappenas dan memperkuat pembangunan yang berfokus pada manusia.

Kuntoro berpengalaman sebagai mantan menteri dan dirut BUMN besar serta Koordinator Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh. Dalam kerjanya yang berskala besar itu dia melibatkan berbagai stakeholder. Kuntoro merupakan sosok dengan kredibilitas tinggi. Perannya sebagai pemupus bottle neck dan penyelaras di Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) akan memberikan warna baru bagi implementasi kebijakan ekonomi di Indonesia.

Gita Wirjawan adalah sosok unik berpendidikan administrasi publik dari Harvard dan berpengalaman kerja di Citibank serta Goldman Sachs di Amerika Serikat. Di dalam negeri, dia pernah menjadi profesional sebagai Presdir JP Morgan dan entrepreneur pemilik Ancora Capital. Sosok-sosok dengan kapabilitas dan jaringan internasional seperti Gita-lah yang diberdayakan oleh pemerintahan Erbakan di Turki atau Fidel Ramos di Filppina menjadi tulang punggung yang sukses menyejahterakan rakyatnya.

Penempatannya sebagai Ketua BPKM sungguh tepat untuk menarik dan mengembangkan investasi di Indonesia. Untuk memperkuat transparansi, pakta integritas dan kontrak kinerja yang telah ditandatangai para menteri harus diumumkan kepada publik. Dengan demikian menteri yang berkinerja lemah dapat dipantau secara transparan dan bila perlu di-reshuffle dengan sosok yang lebih kompeten dalam satu tahun, bila perlu dalam 100 hari.

Hatta Rajasa dengan latar belakang perminyakan perlu bekerja ekstra keras untuk meyakinkan masyarakat dan dunia usaha bahwa dirinya tidak kalah dengan Anwar Ibrahim dari Malaysia yang berlatar belakang Malay studies dan Gordon Brown dari Inggris yang doktor sejarah, tetapi tetap sukses menjadi dirigen ekonomi di negara masing-masing setelah berpengalaman di birokrasi dan politik.

Syarif Hasan (Partai Demokrat) pada posisi menteri koperasi & UKM dan Helmy F Zaini (PKB) sebagai meneg percepatan daerah tertinggal perlu mendapat pengawasan publik yang ekstra karena menyangkut pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan pengurangan kesenjangan yang menjadi prioritas pembangunan. Jangan sampai penempatan ini sekadar ”upah” berkeringat di pemilu.

Target mengurangi rakyat miskin sebanyak 10% dan menaikkan pendapatan daerah kabupaten termiskin sebanyak 10% dalam setahun adalah tantangan yang perlu ditempatkan di pundak mereka. MS Hidayat (Golkar) sebagai menteri perindustrian dan Muhaimin Iskandar (PKB) sebagai menakertrans adalah dua posisi strategis dan memiliki dampak jangka panjang.

Sudah saatnya ekspor kita berpindah dari tekstil, bahan mentah, dan furnitur serta pesanan ”tukang jahit”dari merek asing ke produk olahan, mesin ringan, dan elektronik dengan merek sendiri. Saatnya para profesional Indonesia lebih banyak bekerja di luar negeri dan mengirim devisa daripadaTKI dengan skilldan gaji yang rendah.

Darwin Saleh dituntut untuk mengaplikasikan ilmu ekonomi dan manajemen dalam tantangan besar bidang energi dan pertambangan, sedangkan Mustafa Abubakar harus memperluas sisi cakrawala dari Bulog ke segenap BUMN. Hadirnya Gamawan Fauzi sebagai mendagri yang berprestasi sebagai bupati dan gubernur diharapkan dapat menggunakan pengalamannya untuk mengurangi hambatan dunia usaha dan memotong rantai birokrasi di seluruh Indonesia.

***
C yang ketiga adalah coherence. Pembagian kerja implisit di mana para teknokrat menjaga stabilitas makro dan memperbaiki iklim usaha serta para politikus dan orang dekat Presiden menguasai kementerian teknis berulang lagi pada KIB II. SBY sebenarnya mendapat mandat yang amat tegas dari rakyat pada Pemilu 2009 dan dapat memilih anak bangsa terbaik tanpa harus membalas utang budi kepada partai politik seperti tahun 2004. Sejauh mana kabinet dapat bergerak seirama sebagai kolega dengan mendahulukan kepentingan negara?

Khususnya para ketua umum partai (PPP, PKB, dan PKS) yang merangkap jabatan sebagai menteri, apakah akan dilanjutkan merangkap atau mundur dari salah satu jabatan? Ide unit yang dipimpin Kuntoro demi penguatan institusi kepresidenan seperti West Wing di AS dan Prime Minister Delivery Unit di Inggris berpotensi tumpang tindih dengan Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Boediono yang akan memiliki fokus ekstra di bidang ekonomi serta Menko Perekonomian yang memang memiliki mandat kerja di bidang pembangunan.

Pembangunan ekonomi pada intinya adalah pembangunan manusia. Apa gunanya gedung tinggi kinclong dan sektor finansial gemerlap, tetapi masyarakat bodoh dan sakit-sakitan? Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan Nasional adalah bagian integral dalam kinerja ekonomi kabinet. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang merosot adalah suatu tantangan terukur untuk diperbaiki dalam lima tahun ini sehingga akses dan kualitas pelayanan manusia meningkat signifikan.

Produk domestik bruto (PDB) bukanlah segalanya. Bhutan telah menggunakan gross national happiness (GNH) dalam mengukur pencapaian pemerintah selain gross national product (GNP). Nicholas Stern dari LSE menekankan aspek lingkungan pada laporannya yang menjadi rujukan gerakan lingkungan dunia.

Ekonom tangguh dari tiga benua––Amartya Sen, Joseph Stiglitz, dan Jean-Laul Fitouss––sebagai anggota Commission on Measurements of Economics Measurement and Social Progress (CMEPSP) baru saja meluncurkan rekomendasi untuk memfokuskan diri pada well-being dan kualitas hidup. Semua sektor dan kementerian perlu bekerja sama dan membanting tulang secara serius menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.Ini bukan saatnya gagal. KIB II, selamat bekerja, semoga bisa!(*)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Monday, October 19, 2009

Batik dan Ekonomi Kreatif


Gatra, no 47 tahun XV.
Edisi 1-7 Oktober 2009. Halaman 74.


Berly Martawardaya

Seorang wanita berkebangsaan Amerika, berputra satu, menikah dengan pria Indonesia dan tinggal di Jakarta. Sejak kecil ia mengkoleksi berbagai obyek kerajinan tangan, termasuk kain tenun. Serta merta corak dan tekstur batik menarik perhatiannya dan helai demi helai kain menjadi bagian dari koleksinya yang kian berkembang.

Ketertarikannya beranjak menuju kehidupan penghasil batik yang berujung pada disertasi PhD bidang anthropologi di University of Hawai, tentang pemberdayaan para pengrajin wanita di Indonesia.

Dialah Ann Durham, ibunda Presien Amerika Serikat Barack Hussein Obama. Koleksi batik Ann selama hidup di Indonesia telah dipamerkan di berbagai galeri ternama di Chicago, Los Angeles, Houston, San Francisco, New York dan Washington, DC pada pertengahan 2008.
Ann Durham tidak sendirian mengagumi batik. UNESCO, badan PBB di bidang budaya, pada sidangnya 28 September- 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab menetapkan batik sebagai bentuk budaya bukan benda warisan manusia ( representative list of intangible cultural heritage of humanity ).

Saat ini batik juga bisa ditemukan di Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka dan Iran. Teknik pembuatan proto-batik sudah digunakan di Mesir pada abad 4 SM juga oleh Dinasti Tang di Cina, India dan Jepang. Bahkan teknik membatik juga di kenal oleh suku Yoruba di Nigeria dan suku Wolof in Senegal.Tapi kenapa UNESCO, setelah melalui proses verifikasi yang ketat menyatakan Indonesia sebagai pewaris tradisi batik?

Batik demikian besar peranannya dalam budaya klasik Jawa. Status sosial dan tingkat kebangsawanan bisa terlihat dari pola batik yang dipakai. Beberapa tarian yang dianggap sakral seperti Bedaya Ketawang dan Serimpi perlu disandingkan dengan pola batik tertentu. Upacara Larungan ke laut selatan harus menyertakan batik.Batik juga menjadi simbol identitas dan tradisi lokal. Kerajaan Cirebon, Banyumas, Indramayu dan Madura memiliki pola tersendiri yang berbeda dengan Yogya dan Surakarta.

Richard Florida (2002) pada bukunya The Rise of Creative Class menyatakan bahwa kemakmuran masa datang ada di tangan kelas kreatif, yaitu pekerja yang menciptakan bentuk baru yang bermakna (meaningful new forms). Modal dapat dipinjam, mesin dapat di sewa dan buruh dapat dipekerjakan, tapi ide dan kreativitas tidak ada gantinya.

Batik adalah bukti bahwa Indonesia memiliki benih kreatif sejak masa dahulu. Kita mampu melakukan selective borrowing dari berbagai teknik dan pola batik berbagai bangsa dan meramunya menjadi sesuatu yang unik Indonesia. Bahkan ketika batik sudah tidak lagi populer di Mesir, Cina dan Jepang.

Robert Reich, profesor ekonomi di UC-Berkeley dan Menteri Tenaga Kerja di kabinet Clinton, dalam studinya menemukan bahwa pekerja ekonomi kreatif di Amerika Serikat mendapatkan setengah dari totalnya pendapatan, walaupun jumlahnya hanya seperlima dari total tenaga kerja.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Platform ekonomi kreatif yang dicanangkan Departemen Perdagangan menemukan kontribusi sektor ini Rp 104,4 triliun rupiah di 2006 dengan rata-rata 4,75% dari PDB di periode 2002-2006. Penyerapan tenaga kerja yang mencapai 4.5 juta orang dan pertumbuhan 17.6 % di tahun 2006 jauh melebihi rata-rata nasional.

Potensi ekonomi kreatif dapat terus dikembangkan dengan dukungan pemerintah melalui kemudahan regulasi, suntikan dana dan ekspansi teknologi informasi serta pemasaran untuk mengembangkan industri rekaman, film, video games, fashion dan produk ekonomi kreatif lainnya. Sudah tidak saatnya lagi ketika mengunjungi Bali atau Asmat yang kita temui adalah kerajinan yang persis sama di semua toko, setiap produsen perlu memiliki desain tersendiri yang dipatenkan dan disalurkan ke manca negara.

Kita juga perlu belajar dari Apple dan IKEA menjadikan desain sebagai daya jual utama produknya. Juga dari berbagai merk top di Prancis dan Itali yang mampu memberikan nilai tambah dan devisa luar biasa untuk produk sehari-hari. Bahkan Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris, menyatakan bahwa ' creativity and design value that will make the difference between economic success and economic failure' .

Dalam konteks batik, pola klasik seperti parang kusumo, srikaton, kawung, sidomukti dan lainnya akan terus menjadi warisan budaya. Namun masa depan terletak pada kemampuan menghasilkan pola baru. Momen pengakuan UNICEF harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan awareness konsumen dunia terhadap Indonesia.

Departemen yang berkaitan dengan batik di Institut Seni Indonesia di Jogjakarta dan Surakarta perlu ditingkatkan menjadi pusat pendidikan batik tingkat internasional yang menjalin kerjasama dan pertukaran pelajar dengan sekolah mode top dunia seperti l'Ecole Supérieure des Arts et techniques de la Mode di Paris, Istituto Europeo di Design (IED) di Milan dan Parsons School of Design di New York.

Kita tunggu lomba desain batik internasional, dengan juri dari berbagai bangsa, untuk mempersiapkan pakaian yang akan dihadiahkan kepada Barack Obama dan keluarganya ketika mereka berkunjung ke Indonesia. Mendiang ibunya akan bangga.

Penulis adalan kandidat doktor ekonomi di Universita di Siena – Italia, dosen FEUI dan ekonom senior INDEF

Tuesday, September 29, 2009

Where has all the brotherly love gone?


Jakarta Post (original link)

Berly Martawardaya and Achmad Adhitya , Jakarta | Tue, 09/29/2009 1:14 PM | Opinion

Why we are where we are now?

Malaysian and Indonesian history is so intertwined and our future is so closely linked that we are either hang together or hang separately.

Weren't we both part of the glorious kingdom of Sriwijaya in Sumatra and the Majapahit kingdom in Java? Wasn't the founder of the Malacca Sultanate, Pramesyara, a runaway prince from Palembang?

Wasn't it Dipati Unus from Jepara that lead a sizable number of troops ready to sacrifice their lives to get rid of Portuguese from Malacca, not once but twice? Weren't members of past royal families intermarried too many times to count?

Weren't we quick to get over the tedious Konfrontasi era and start building the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) together?

Didn't Indonesian professors leave the comfort of their homes to teach in classrooms in Malaysia a couple of decades ago? Aren't Indonesian students these days filling Malaysian Universities and Indonesian singers filling their airwaves? Isn't the economic prosperity of Malaysia directly benefiting from Indonesian workers because of our proximity and cultural and linguistic links?

Not only are our languages from the same roots and only slightly differentiable, our aspirations are one as well.

We are brothers and will always be brothers. However, we can choose to live with brotherly love or without it. Some say that family feuds are the worst kind, but it doesn't have to be that way.

Family members don't hurt each other. Searching without warrants should be ceased and let's return the entire jurisdiction over illegal immigrants to police and immigration officers.

Indonesia should make utmost efforts to control forest fires whose smoke reaches Malaysia, and Malaysia should tighten its Kalimantan/Borneo border to prevent illegal logging in Indonesia.

Let Indonesian workers in Malaysia have the right to organize themselves in labor unions. Despite all the good will of the Malaysian government, many companies are bound to be overeager in their quests for profits and unions are one of the best ways to provide workers with protection.

Let us revise our labor MoU and no longer allow companies to keep workers passports.

Our long shared history and ancient royal links sometimes make it hard to distinguish the origin of culturally related products.

Maybe we shouldn't even try to differentiate them. Let's put a hold on patenting any of cultural products and establish a joint commission to study the true origin of any particular cultural products before going to patent offices.

And let's discuss revenue sharing as well as joint promotion efforts or a joint patent when it is more appropriate.

Let us sincerely ask the question that the Roman leader Cicero conveyed. Cui bono? Who will benefit from a degrading relationship between us? Certainly not Indonesian workers in Malaysia nor Malaysian medical students in Indonesia. Not the stability and prosperity of Southeast Asian.

While some people easily feel offended and have short horizons, let's hope that cooler heads and long-term views prevail.

Berly Martawardaya is PhD candidate at the University of Siena, Italy. Adhitya is a PhD candidate at the University of Leiden, the Netherlands, and board member of the International Association of Indonesian Scientists.

Thursday, September 24, 2009

Berbagai Wajah Ekonomi Syariah


 Liputan 6.com (original link)
24/09/2009 14:56
Berly Martawardaya

Siapa tidak kenal Silicon Valley? Setiap orang yang serius mengamati perputaran bisnis dan teknologi dunia pasti pernah mendengar kota kecil di dekat Stanford University yang menjadi pusat pertumbuhan teknologi informasi global selama beberapa dekade terakhir. Bahkan negara-negara lain mencoba meniru konsep Silicon Valley seperti Malaysia dengan Multimedia Super Corridor (MSC) dan India di Bangalore.

Tapi tidak banyak yang mengetahui bahwa Silicon Valley dibangun bukan oleh para bank besar tapi oleh Venture Capital (VC). Para venture capitalist mencari para penemu kreatif dengan ide serta teknologi baru tapi tidak memahami dinamika dunia usaha dan tidak memiliki modal lalu mempersiapkan mereka untuk membangun perusahaan profesional untuk menjual saham melalui IPO (Initial Public Offering) dalam periode 5-7 tahun.

Para pemodal ini adalah gabungan investor institusional dan individu yang ingin melihat bukan hanya keuntungan tapi juga kepuasan telah memunculkan usaha baru. Mereka bisa saja menempatkan uangnya di bank konvensional dan menikmati bunga setiap saat tanpa perlu kuatir dengan banyak hal. Tapi mereka memilih untuk menyeleksi proposal yang datang secara saksama dan mengembangkan bersama pemilik ide dalam periode yang cukup panjang demi kesejahteraan bersama.

Setelah penjualan saham maka pemilik modal dan ide akan mendapat bagian sesuai dengan kesepakatan. awal Konsep ini telah menghasilkan berbagai perusahaan IT tangguh seperti Apple, Google, eBay dan masih banyak lagi. Pembiayaan dengan VC juga tidak terbatas ke perusahaan IT dan juga sudah merambah ke consumer goods seperti Whole Foods Inc dan fast food seperti Starbucks.

***

Gerak langkah George Soros sering mengguncang dunia. Orang terkaya dunia nomor 29 menurut Forbes dengan asset 11 miliar dolar telah menghentikan langkah Inggris bergabung dengan mata uang Euro di tahun 1992 dan mendapatkan keuntungan 1,1 miliar dolar hanya dari transaksi tersebut. Pada krisis moneter Asia, namanya disebut Perdana Menteri Malaysia sebagai sumber masalah.

Kesuksesan telah mendorongnya untuk bergerak di bidang filantropi, khususnya di area pendidikan dan demokrasi. Melalui Open Society Institute dan donasi langsung diperkirakan lebih dari 6 miliar dolar telah disumbangkannya dengan dampak yang cukup besar di berbagai wilayah dunia. Khususnya Eropa Timur sebagai merupakan wilayah kelahiran yang harus ditinggalkan sewaktu kecil karena serangan Nazi sebagai keturunan Yahudi.

Bentuk perusahaan yang dipilihnya untuk hedge fund yaitu perusahaan limited partnership yaitu bentuk legal khusus dengan kepemilikan saham dapat dikarenakan asupan modal atau keterlibatan aktif. Sang manajer hedge fund akan mendapatkan lebih banyak bagian dari profit dari proporsi modalnya, atau bahkan dapat juga tidak berkontribusi modal sama sekali, tergantung kesepakatan awal.

***

Negara-negara di Eropa menjadikan jaminan sosial (social security) sebagai kebijakan prioritas dan tanggung jawab negara. Dimulai oleh Otto van Bismarc, perdana menteri Jerman tahun 1870-1890, yang pada pertengahan kekuasaannya memulai jaminan kesehatan, kecelakaan, dan pensiun bagi segenap rakyatnya. Penduduk Jerman dapat fokus meningkatkan keterampilan dan produktivitas dengan kepastian perlindungan di masa sakit, sulit, dan usia lanjut.

Kebijakan ini diikuti hampir segenap negara Eropa Barat serta negara-negara industri maju seperti Kanada, Australia dan Jepang serta negara-negara Skandinavia setelah Perang Dunia II. Sebagian besar biaya pendidikan dan kesehatan di negara-negara tersebut ditanggung oleh negara . Hal ini mendorong persamaan kesempatan (equality of chance) rakyatnya sehingga mereka tidak tergantung pada loteri kelahiran (lottery of birth) untuk menjadi warga yang terdidik, sehat, dan sejahtera.

Berbagai studi menunjukkan, negara dengan jaminan sosial yang memadai memiliki korelasi amat erat dengan stabilitas sosial dan demokrasi yang tangguh. Ketika distribusi sumber daya penting tidak lagi ditentukan oleh relasi sosial atau etnisitas serta agama maka hal ini kan mengurangi tensi sosial secara signifikan dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
***

Apa hubungan Sillicon Valley, Soros, dan Social Security dengan Ekonomi Syariah? Mungkin Anda menggaruk kepala setelah membaca sejauh ini dan berpikir: mana kutipan ayat Al-Quran serta praktik perbankan syariah yang biasa diidentikkan dengan ekonomi syariah.

Pada satu sisi memang perbankan serta instrumen syariah telah mengalami kenaikan sangat signifikan hingga mencapai Rp 55 triliun pada Juli 2009. Juga benar bahwa pada masa Ramadan sampai dengan Iedul Adha terjadi peningkatan pembayaran zakat. Tapi adalah keliru untuk membatasi aplikasi ekonomi dari konsep-konsep transenden dalam Islam hanya pada kedua instrumen itu.

Konsep venture capital sangat mirip dengan bagi hasil mudharabah dalam ekonomi syariah. Hal yang lebih mencengangkan mengingat proporsi mudharabah dalam bank syariah biasanya amat kecil serta di bawah 10 %. Sisanya menggunakan akad jual-beli plus premium berjumlah yang amat mirip dengan praktik bank konvensional. Memang praktik mudharabah membutuhkan loan officer yang tajam naluri bisnisnya untuk memprediksi usaha yang akan maju pesat dalam 5-7 tahun mendatang. Pengawasan dan pendampingan juga bukan hal yang mudah. Tapi, Silicon Valley telah membuktikan bahwa hal itu bukan tidak mungkin.

Hedge fund dan berbagai perusahaan yang membagikan saham pada karyawan (employee stock ownership program) pada prinsipnya menjalankan konsep berusaha dalam islam (syarikah). Tidak cukup rasa memiliki untuk mendorong motivasi karyawan, tapi usahakan sehingga karyawan benar-benar memiliki maka segenap daya upaya akan diusahakan untuk kemajuan perusahaan. Berbagai teori motivasi dan sumber daya manusia modern juga mendukung praktik ini.

***

Kita telah mendengar tentang Khalifah Umar yang berkeliling kota di malam hari untuk mencari warganya yang masih kelaparan karena takut akan tanggung jawabnya ke Allah sebagai kepala pemerintahan. Sungguh aneh betapa negara yang sedikit penduduk Islamnya justru lebih dekat dengan praktek Khalifah Umar dengan berbagai skema jaminan sosialnya. Sampai kapan kita akan membiarkan saudara senegara untuk lapar, sakit, dan berusia lanjut tanpa mengulurkan tangan.

Seperti kata pemikir Islam abad lalu, Jamaluddin Al-Afghani, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya. Pada saat yang sama negara-negara lain mengalami kemajuan dengan mengadopsi prinsip-prinsip ajaran Islam pada praktik sosial dan bernegara walau tanpa memakai istilah dalam bahasa Arab.

Sesuai konsep sunnatullah, siapapun dan agama apapun yang mempraktikkan konsep-konsep Islam akan mendapatkan hasil yang positif dan demikian sebaliknya. Sudah saatnya umat islam sendiri yang menggali praktik dan konsep ekonomi dalam Islam untuk mempraktikkannya dalam masyarakat secara konsisten. Wallahu ‘alam bish shawab.


Penulis mengajar di FEUI, ekonom senior INDEF, dan aktivis NU Professional Circle

Thursday, September 17, 2009

Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia


Koran SINDO,
Kamis, 17 September 2009
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270642/

Presiden Barack Obama beberapa hari lalu menyampaikan pidato untuk mendorong reformasi sistem kesehatan Amerika Serikat di depan anggota legislatif.

Dia mengingatkan rakyatnya untuk tidak terjebak pada detail kebijakan, tapi berpegang teguh dan bergerak berdasarkan pada prinsip keadilan sosial dan karakter bangsa. Bila seorang Presiden dari negara yang menepuk dada sebagai pengguna sistem kapitalis dan pasar bebas sudah menyatakan keberpihakan demikian nyata dan amat mirip dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila, maka amatlah miris apabila Indonesia justru mengabaikannya Untunglah dalam visi dari presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, tercantum dengan anggunnya tujuan menuju terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

Sering disebut bahwa kekuatan ekonomi Indonesia adalah biaya tenaga kerja yang murah.Namun apabila hanya faktor itu yang diandalkan maka istilah Emil dan Theodor Helfferich kakak beradik bangsa Jerman yang sempat tinggal bertahun-tahun di Indonesia semasa penjajahan Belanda dan sering dikutip versi bahasa Inggrisnya oleh Soekarno,“Eine nation von kuli und kuli unter den nationen”, akan menjadi sebuah kenyataan.

***

Dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tenaga kerja, modal, tanah dan kewirausahaan. Tenaga kerja yang terdidik dan sehat akan lebih produktif dibandingkan yang tidak nikmati pendidikan formal dan sakitsakitan. Indonesia, dengan bantuan keputusan Mahkamah Konstitusi, telah bergerak menjadi negara yang memperhatikan dan menanamkan investasi pendidikan di warganya dengan alokasi 20 % dari anggaran negara untuk sektor tersebut.

Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan target pendidikan sembilan tahun adalah target penting yang perlu didukung dengan segenap daya upaya. Para singa ekonomi Asia (Asian economic tigers) seperti Singapura, Taiwan,Hong Kong dan Korea Selatan adalah negara yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam namun amat serius meningkatkan kekayaan sumber daya manusia.Sampai kapan kita akan terus tertinggal bila kekayaan alam tidak dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh dan tidak hanya penambahan rekening bank sekelompok orang.

Namun Indonesia masih suatu negara di mana warganya masih meninggal karena tidak mampu menanggung biaya kesehatan padahal penyakitnya dapat diobati. Tentu saja tidak mudah menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas segenap pelosok negara kepulauan seperti kita. Faktor produksi modal dan tanah berkait amat erat dengan sistem perbankan. Masalah yang terjadi di sektor perbankan terjadi di dua sisi. Dari sisi dana masuk mereka takut kehilangan penabung apabila tingkat suku bunga diturunkan.

Tapi dari segi dana disalurkan tidak banyak pengusaha, apalagi usaha kecil dan koperasi,yang dapat menanggung tingkat bunga yang masih cukup tinggi.Padahal tingkat bunga SBI sudah diturunkan oleh Bank Indonesia. Untuk itu dibutuhkan langkah tegas dan strategis.Memang benar bila satu bank menurunkan suku bunga maka nasabah yang rasional akan memindahkan ke bank dengan suku bunga yang lebih tinggi setelah memperhitungkan biaya transaksi pemindahan tabungan.

Tapi apabila semua bank di Indonesia menurunkan suku bunganya maka tidak ada lagi pilihan bagi deposan selain menginvestasikan langsung ke sektor riil yang justru lebih baik lagi. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan suku bunga yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan memublikasikan implikasinya.Tidak banyak nasabah yang memiliki akses untuk perbankan di luar negeri.Apalagi perusahaan yang notabene membutuhkan bank di Indonesia untuk transaksi dan operasi.

***

Hernando de Soto (2000) dalam Mystery of Capitalmenyatakan bahwa kapasitas produksi negara berkembang banyak terhambat karena lemahnya sistem administrasi pertanahan. Dengan kepemilikan tanah yang tidak tercatat secara resmi maka rakyat tidak dapat menjaminkan tanah yang mereka miliki untuk mendapatkan modal dan memulai usaha.

Padahal metode ini adalah jalan paling umum yang ditempuh di negara maju. Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, juga menekankan bahwa perbankan harusnya menyediakan pinjaman untuk yang miskin dan membutuhkan.Bukan yang sudah kaya raya. Sering kali hambatan yang dimiliki adalah agunan dan kemampuan administrasi. Grameen Bank yang dibangunnya telah membuktikan bahwa rakyat miskin justru memiliki tingkat kredit macet yang lebih rendah bila proses peminjaman dilakukan secara benar.

Kapasitas administrasi usaha kecil dalam sistem akuntansi dan pengisian formulir peminjaman bank secara benar menjadi bottle neck yang sebenarnya tidak sulit diatasi dengan sistematis. Poin terakhir adalah kewirausahaan. Pada sistem ekonomi dunia yang terglobalisasi maka proses produksi dapat dilakukan di mana saja. China menjadi pabrik dunia sementara India menjadi back officeyang mengurusi administrasi dan customer services.

Tapi yang menikmati profit adalah pemilik merek dan pemegang sahamnya. Selama Indonesia masih puas menjadi tukang jahit yang sekedar mengerjakan orderan maka tidak akan banyak peningkatan kesejahteraan yang terjadi. Ha Joon- Chang,ekonom asal Korea Selatan di Cambridge, menjabarkan betapa Korea Selatan perlahan lahan menaiki tangga value added chains dari tekstil, elektronik, dan mesinmesin berat serta microchip.

***

Studi kewirausahaan global 2003–2005 meliputi 83 negara dari Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam katagori terendah munculnya usaha baru. Hal ini harus diubah dan hambatan dalam berusaha harus dipangkas jika kita perubahan yang nyata dan permanen. Padahal Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara kelautan tropis dengan keanekaragaman hayati yang amat luas. Sudah saatnya berbagai produk buah dan obat serta sumber daya laut dunia disuplai oleh Indonesia, bukan oleh Amerika,Australia atau Thailand yang sinar mataharinya terbatas.

Itu semua bukan hal yang tidak mungkin dicapai dalam lima tahun mendatang dengan riset dan pemasaran yang intens. Seperti dikatakan Presiden Kennedy, “All this will not be finished in the first one hundred days; nor even perhaps in our lifetime on this planet.But let us begin.” Sudah saatnya Indonesia berhenti jadi kuli.(*)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior INDEF

Wednesday, July 15, 2009

Experiencing presidential election abroad

http://www.thejakartapost.com/news/2009/07/15/experiencing-presidential-election-abroad.html

Berly Martawardaya , The Hague , The Netherlands | Wed, 07/15/2009 11:55 AM | Opinion


I was walking in the artistic surrounds of the diplomatic area in Jacob Catslaaan, where numerous embassies are located, after getting off from a short tram ride to The Hague train station when a middle-aged woman and a teenager approached us. The teenager asked in fluent Dutch whether we knew the direction to the Indonesian embassy.

At first, we thought they were one of the many Indonesian descendants in the Netherlands that had already gained local citizenship and wanted to apply for visa to visit their forefather's country. To our surprise, the teenager asked for directions to the Indonesian embassy as he wanted to vote. We immediately switched to talking in the Indonesian language and walked together toward Tobias Asserlaan, the location of the Indonesian embassy.

As we arrived, there was already a crowd gathered in front of the building. Most of them were Indonesian students studying in the Netherlands.

We were ushered gently toward a line where the embassy staff checked our passports and our fingers; any stains on our little fingers would have been a sign of voting a day earlier and would have disqualified us from voting a second time.

As is the norm when Indonesians meet in the same place, there was a lot of introductions and small chat. I was introduced to some embassy staff and met some old friends and made some new friends as well. It was an event that strengthened the solidarity of Indonesians abroad.

We queued to take our number and waited less than five minutes, as there were not too many people in the room, to get our election card and vote for the next president of Indonesia. Although the quick count from survey institutes already showed that one pair of candidates were leading the pack, it didn't diminish our sense of responsibility and excitement.

The time slot for Indonesians abroad to vote was the last hour of the election. In the case of the Netherlands, it was between 7-8 p.m. as many still had to go to school or work. Not long after my little finger was dipped in blue ink, the counting started. We took pictures with our stained little fingers as a memento.

The last minute decision by the Constitutional Court certainly broadened participation. There were many people like me that were registered in their respective hometowns in Indonesia, but could not get back to vote for many reasons; and were able to vote at the nearest embassy abroad. We just needed to show our passport and if the voting card was still available in the last hour of the election then we could vote.

This process was so logical that it should have always been part of voting policy. Why bother with the voter registration in the first place. The US is firm with registration requirements and they achieved around 60 percent of voting participation. Many countries make enrollment automatic unless stated otherwise. There is also the option of voting by letter that while might diminishing secrecy, is very convenient for people with scheduled activities on voting day.

One could argue that voting with ID cards or passports only would enable fraud and multiple voting. While there could be some way to dilute the ink on the little finger for Indonesian abroad, it would have been very costly to travel to another country just to vote twice.

The requirement to vote in the last hour of voting day is a practical arrangement to prevent that. It would have been easier to vote more than once in Indonesia, but if people are assigned to the nearest voting booth of their official address and the ink is made to be thicker and harder to wash off, then most troubles are avoided.

As I had just finished attending the meeting that agreed to establish the International Association of Indonesian Scientists (I4), where the high mobility of scientists and ties with Indonesian scientists in Indonesia is critical, it was very welcoming to know that no matter where we are, Indonesians are not deprived of their right to vote.

The writer is a PhD candidate in economics at the University of Siena-Italy.

Monday, June 8, 2009

A better deal for those in public office


Jakarta Post (original link)


Berly Martawardaya , Jakarta | Mon, 06/08/2009 9:56 AM | Opinion

Finally Indonesia is seeing an open debate on businessmen and family business in politics.

During the New Order period, the public turned a blind eye to public officials and their family businesses, since business was considered an acceptable means to compensate their low official salaries. Favoritism was sometimes so blatant that in one case the IMF had to include a special clause in its letter of intent, to revoke Tommy Soeharto’s license to produce cars.

Since the beginning of the Reformasi era, such practices have adopted a lower profile, but have not been outlawed and are still socially accepted. Law No. 28/1999 on good governance only broadly forbids any action that puts family or crony interests ahead of the interests of the state or society.

Incumbent President Susilo Bambang Yudhoyono has stated that Indonesia needs leadership that does not mix national interests with family business, and he picked Boediono as his running mate to emphasize this point. On a separate occasion Boediono said ideally public officials should have no business activity whatsoever.

The SBY-Boediono pair is clearly attempting to tap into the public uneasiness with Jusuf Kalla’s and Aburizal Bakrie’s businesses. Both Kalla and Bakrie are members of the Golkar Party. In 2007, Aburizal Bakrie ranked as the richest man in Indonesia according to a Forbes survey, with Kalla at number 33.

Kalla demanded proof to justify comments that his family business had got special treatment, and said it would be discriminatory to forbid public officials and their families from having businesses.

Megawati joined the fray and expressed support for family business regulation, but without banning them.

This seems to be a dilemma. On the one hand it is the legal right of every citizen to be involved in legal business activity. And on the other, the elusive quest for good governance is a very important policy objective – especially in a developing and consolidating democracy like Indonesia. Money cannot buy health and happiness, but it can get a lot of things. Political campaigns can be very costly and thick bank accounts can give parties a much-needed edge to win seats.

In the past, business tycoons were satisfied supporting political candidates that shared their policy views. But the world has recently seen some very rich businessmen climbing into political offices and affecting public policy on their own.

Unsurprisingly, such media tycoons have done quite well in politics since the media plays a pivotal role in political campaigns. Italy’s Silvio Berlusconi got elected three times as prime minister in Italy, while it took a military coup to oust Thaksin Shinawatra in Thailand. They both are the richest men in their respective countries and both own major TV stations.

Ross Perot, a rich oil businessman, almost defeated Clinton and became the president of the United States. Meanwhile, multi-millionaire Michael Bloomberg, the incumbent mayor of New York and owner of a massive media enterprise, is thought to be safely on his way to being reelected for the third time. Ministers of finance in the US have often come from Wall Street’s major investment firms.

Most countries allow people to run campaigns using their own money, but after becoming public officials there needs to be a separation between personal and public interests.

While it is very hard to separate a businessman from his business past – as difficult, perhaps, as it would be to separate a famous movie star-turned-politician from their glamorous past – there is a way to ensure public interests are not compromised once they are elected into office.

Whatever share or stake in a company a public office-holder has, this should be sold and the money should be put either into a fixed deposit or into the custody of a blind trust institution whose function is to manage funds but that is legally forbidden to disclose where the money is invested.

This would avoid conflicts of interest between politicians and any policies that may arise while they are in office. After the person steps down, the control over the resource would be returned to its rightful owners.

Thailand, the Philippines and South Africa, for example, even take one step further and choose to err on the precautionary side with constitutional clauses especially for politicians, their family businesses and their wealth.

In too many cases, countries’ resources and opportunities have been squandered by families of the political elite in their forays into business. While transparency and anti-corruption have had a boost in Indonesia lately, it is too early to let our guard down and be complacent.

If a businessman decides to serve the people and hold public office, a mandatory, but temporary, divestment of his wealth should be a small price to pay for such a noble pursuit.


The writer is a lecturer at the School of Economics, University of Indonesia and a PhD candidate in economics at the University of Siena-Italy.

Wednesday, May 6, 2009

Tantangan IMF, Berubah atau Punah

Kompas (original link)
Kamis, 7 Mei 2009 | 02:57 WIB

Oleh Berly Martawardaya

Pada September 2007, Managing Director IMF Dominique Strauss-Kahn menyatakan, IMF mengalami krisis identitas.

Para klien utama IMF, yaitu Argentina, Brasil, Indonesia, dan Turki telah melunasi utangnya. Pinjaman IMF ke negara berkembang yang merupakan sumber pendapatan utama lembaga turun drastis 91 persen sehingga perlu dilakukan penghematan biaya operasi 100 juta dollar AS. Pasar modal global lebih dilirik negara berkembang karena bebas dari berbagai persyaratan berat IMF.

Krisis finansial global pada akhir 2008 mengembalikan relevansi IMF seiring dengan mengeringnya sumber modal swasta. Pertemuan G-20 di London menaikkan dana IMF tiga kali menjadi 750 miliar dollar AS dengan 6 miliar dollar AS dialokasikan untuk negara miskin.

IMF juga diberi mandat untuk memberikan early warning terhadap risiko krisis finansial dan makroekonomi, juga mengeluarkan rekomendasi kebijakan untuk menghindarinya.

Pertemuan pimpinan IMF, Bank Dunia, dan para menteri keuangan yang berlangsung 24-26 April lalu adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi dan redefinisi peran.

Berubah dan belajar

Salah satu indikator utama berubahnya IMF adalah apakah terjadi revisi kebijakan. Ketika Mahathir Mohamad menerapkan kebijakan capital control di Malaysia, sejumlah kecaman dan prediksi negatif diluncurkan IMF. Capital control berperan besar menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Malaysia.

Menghadapi krisis finansial di Eslandia pada September 2008, salah satu komponen inti program stabilisasi rancangan IMF adalah capital control.

Resep standar IMF adalah Structural Adjustment Programs (SAP) yang menaikkan suku bunga, menurunkan inflasi, dan menekan defisit demi menarik dana internasional. Suku bunga di Indonesia tahun 1998 sempat melebihi 50 persen yang melemahkan sistem perbankan tanpa capital inflow yang signifikan.

Pengurangan defisit acap kali dilakukan dengan memotong anggaran pendidikan, kesehatan, dan berbagai subsidi pertanian. Tak heran pergolakan sosial dan kejatuhan pemerintah kerap mengikuti penerapan program IMF.

Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi dan mantan Chief Economist Bank Dunia, menyatakan dalam Globalization and Its Discontent bahwa IMF lebih mengutamakan selamatnya pinjaman swasta daripada kondisi rakyat miskin.

Kebijakan negara maju pada masa krisis adalah kebalikan dari program SAP. Suku bunga diturunkan, bahkan sampai mendekati nol, dan stimulus ekonomi menyebabkan defisit melonjak drastis. Tidak ada negara maju yang memotong subsidi kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial mereka.

IMF telah mengeluarkan program baru bernama Flexible Credit Line (FCL), pinjaman dan bantuan likuiditas tanpa persyaratan ala SAP. Bahkan, pinjaman itu boleh tidak dicairkan sehingga kredibilitas dan kepercayaan internasional bisa diperoleh dengan biaya minimal. Meksiko adalah peminjam pertama FCL sebesar 47 miliar dollar AS.

Ingin menjadi fosil?

Masalah besar IMF adalah tidak berimbangnya hak suara anggota. Pembagian dilakukan berdasarkan proporsi kekuatan ekonomi pasca-Perang Dunia II. Brasil dengan total GDP sekarang empat kali lipat Belgia justru memiliki hak suara lebih kecil. China memiliki hak suara yang sama dengan Kanada, padahal ekonominya enam kali lebih besar.

Total suara negara G-7 ditambah Belgia, Belanda, dan Swiss melebihi 60 persen sehingga tidak akan ada keputusan yang merugikan negara maju. Tak heran negara berkembang enggan percaya dan memperkuat IMF.

IMF juga belum sepenuhnya tobat. Pinjaman yang baru diberikan IMF ke Latvia dan Ukraina masih mensyaratkan pemangkasan defisit gaya paradigma lama. Pada sisi lain, IMF tidak memberikan sanksi apa pun terhadap Amerika Serikat yang menjadi penyebab krisis global dan defisitnya menembus 10 persen GDP.

Perlu tameng

Negara berkembang tetap memerlukan tameng menghadapi krisis dan spekulan. Idealnya ada global lender of last resort yang bisa memberi likuiditas cepat dengan prinsip tanpa batas (freely), sementara (temporary), dan berbiaya premium (with penalty).

Ketiadaan lembaga itu mendorong ASEAN beserta Jepang, Korea Selatan, dan China (ASEAN+3) membentuk Chiang Mai Inisiatif (CMI) dengan total dana 120 miliar dollar AS. Perjanjian bilateral swap agreement telah ditandatangani negara ASEAN+3 untuk memperkuat ketahanan ekonomi.

Asia telah memiliki solusi tersendiri terhadap permasalahan bersama, tinggal masalah waktu sampai wilayah lain menyusul. IMF perlu berubah secara mendasar atau bersiap menjadi fosil sejarah.

Dosen FE-UI; Aktivis NU Profesional Circle

Sunday, April 26, 2009

The fall of old wisdoms and the rise of ‘Chindonesia’


The Jakarta Post (original link)

Berly Martawardaya , JAKARTA | Sun, 04/26/2009 11:48 AM | Opinion

Truth may be the first casualty of war, but truth can also emerge after a crisis. And in this context, let us talk about “Chindonesia”, a shorthand for China, India and Indonesia, because these three Asian countries could become the backbone of Asia’s economic revival.

Companies have relocated to Chindonesia for obvious reasons; not because we produce high-tech products with sophisticated methods but mainly because we do things cheaper.

The banking and financial sectors are less developed in Chindonesia. There is not too much financial engineering and sophisticated instruments. India and China also still maintain a degree of capital control that shields them from financial volatility. All three countries have based their economies on the real sector. Agriculture and mining in Indonesia, manufacturing goods in China and IT services in India are the backbones of these economies.

Let us use the downturn of foreign companies to build our own industrial capacity and human capital while cutting the red tape. Chindonesia could not have achieved what it has today without the significant expansion of education, R&D and entrepreneurship. Thus we could emerge from the crisis stronger and more prepared than ever.

The global financial crisis has brought down not only old economic institutions but also the old economic mindset. What used to be conventional wisdoms in economic growth have been exposed to have only weak foundations and be ill- suited to explain current circumstances.

The global economy will have negative growth and contract by one half to 1 percent in 2009, before staging a modest recovery in 2010. OECD countries will suffer significantly with minus 2-3 percent growth, Japan being the hardest hit.

But three major economies have escaped this predicament and are predicting positive growth. While 9 percent growth has been the norm for China over the past decade, achieving 6.5-7 percent in 2009 will not be that bad. India also shines with 4-5 percent projected growth.

Overall, developing economic growth projections without China and India is near zero percent. The third is Indonesia, predicting around 3.5 percent expansion in 2009.

On the other hand, our neighbors in the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) are not doing so well. Malaysia, Singapore and Thailand are all predicting negative growth in 2009. The Ministry of Trade and Industry (MTI) of Singapore has revealed that Singapore’s economy contracted by 19.7 percent for the January to March period.

Malaysian exports have declined for five months in a row, but the decline in February 2009 (-15.9 percent) has narrowed from -27.8 percent in January 2009. For Thailand, let’s just say that they are doing better than we did after financial crisis last decade. The mix between political and economic crises has proven to be very a combustible potion and not conducive to growth.

What lessons can we draw from this?

First, the crisis has exposed the vulnerability export-based economies. The virtue of export promotion as a development strategy has been extolled over import substitution. Carving out a market niche in the global market was seen as the surefire recipe to prosperity. But the sword cuts both ways.

As the global demand subsided, the down swing was particularly felt by countries with a high degree of exposure and income from exports. Thailand suffered an extra mile with the loss of tourists, once a major source of income, as they were scared off by political confrontations.

Second, the low side of high-tech exports. Not all exports are equal. The high-tech sector, with a high degree of value added, used to be where countries were aiming to be. Cars, cell phones, computers and microchip technology with other electronic products are the 4Cs said to bring in foreign currency.

But the high-tech products are also the first consumers cut down on in an economic downturn. It may be a less merry and glitzy life, but they realize that that they could live without these things.

Japan, the world’s second-largest economy, posted their sharpest-ever decline in February – down by 49.4 percent – as global demand for Japanese cars and electronics evaporated.

Lastly, finance is no longer king. New York, London, Singapore and Hong Kong used to be the center of the robust financial world. Exotic financial instruments have brought untold wealth to industry leaders.

While there has been no systematic effort to reduce exports, the exports in all three countries’ economies range around one third of the GDP, leaving domestic consumption, investment and government expenditure strong enough to cushion the shock of the crisis and provide a decent rate of growth. Large populations are a plus in this case.

In 2006 PricewaterhouseCoopers (PWC) coined the term the “Emerging Seven” (E-7), namely China, India, Brazil, Russia, Indonesia, Mexico and Turkey – that its says will replace the G-7 (the United States, Japan, Germany, UK, France, Italy and Canada) as the global economic powerhouse and will be around 50 percent larger than the G-7 by 2050.

Looking at how things turning out, this may be a realistic projection.


The writer is a lecturer at FEUI and PhD candidate in Economics at the University of Siena-Italy
and a member of the NU Professional Circle.

Wednesday, April 15, 2009

A district-based system: More efficient, accountable


The Jakarta Post (original link)

Berly Martawardaya , JAKARTA | Wed, 04/15/2009 10:20 AM | Opinion


The legislative elections passed relatively peacefully, so now what?

We could all sit down and argue hypothetically about the exquisite courting dance between political parties forming coalitions for the upcoming presidential race.

But ultimately, the reality will be more heart wrenching than Dancing with the Stars or Indonesian Idol.

We should definitely investigate irregularities in registrations and election conduct, impose stiff penalties for offenders, and reschedule elections where necessary.

We need election results to be legitimate and final. Don’t let Indonesia’s political system inch any closer toward Thailand, where the legitimacy of the election system is undermined and those elected face massive street protests.

Or we could ponder the major problems in our current system, and start preparing solutions. Arguably, political parties and election candidates were not well prepared when the Constitutional Court (MK) announced its decision to make the legislative elections candidate-centered instead of party-centered.

Campaign advertising was not geared toward coherent and compelling personal stories of candidates, but remained heavy with party symbols and figures and messages.

Even when candidates learn to do it right under the prevailing system, and assuming the elected legislature and incoming government do not mess with the Constitutional Court ruling, it will still be very costly to get elected as a legislator, either at national or regional level.

Lee Kuan Yew, the longtime successful prime minister of Singapore who still holds sway in government, came out with a simple and powerful law in his memoirs. The higher the cost of being elected to public office, the less clean the government will be.

We can talk all we want about having competent and genuine candidates, but even the competent and pure of heart need money to win.

The current system is very costly and forces candidates to spend massively.

The conundrum is whether to borrow and hope to recoup after winning, or to solicit campaign
contributions from wealthy donors and remain beholden to their interests.

We need to decrease the size of electorates (dapil) so candidates can focus their campaigns more effectively and provide more bangs for their bucks.

The current system, a multiple seat constituency, needs to change to single seat constituency – a district system.

Now is a rare moment where political parties’ needs coincide with public interest. Election candidates want to reduce their campaign costs and the public wants more accountability.

In district system, a political party only fields one candidate in each district, thus escaping bloody and costly feuds where candidates from the same party fight each other for votes.

The accountability side will also be well served. With only one legislator, the electorate knows who they can hold responsible for policies in parliament and whether to punish or re-elect candidates accordingly.

What about claims that a district system would weaken parties?

Maybe this question should be reframed to “what kind of election system is best for Indonesia?” We adopted the proportional system from the Dutch.

In such a small country, it is safe to assume that regional differences do not really matter, thus whoever becomes a member of parliament within one party has little consequence.

But Indonesia is much larger than the Netherlands, with real regional differences. Our diversity should be a strength instead of being glossed-over and ignored.

Having a Jakarta native with a fancy degree masquerading as a local to get a seat in the national legislature will just not do anymore.

This approach has already done too much damage. Indonesia needs more local people with local wisdom and real knowledge of local problems in the national scene.

Having a system of party primaries could enforce party discipline. No longer could someone be assigned to be candidate in one area just because of proximity – or worse, financial contributions to the party chairman.

That person must prove their mettle in an intra-party election. Thus representing the view of local party members in the corresponding district. Whoever emerges as the winner could then run as the party candidate.

If a party thinks, through surveys or other means, that it is not competitive in one area, it could opt to not run a candidate but support another party’s candidate in that area. A political pact should be made before the election and become the foundation of a permanent alliance in governing.

Thus the people would have a better idea of what is to be expected if the party or alliances of parties go on to win the election.

Indonesia’s complex tapestry of geography, ethnicity, religions and history is likely to have room for more than two national parties.

Malaysia and India have relatively permanent coalitions of parties representing different society groups, either governing or waiting in the wing as loyal oppositions.

There are also some studies that point out that having a combination of direct presidential elections and district legislative elections is the most stable system because party discipline in weaker and possible to form temporary issue and geographical alliances.

A district system would reduce campaign costs, increase accountability and produce a more stable government. What are we waiting for?


The writer is a lecturer at School of Economics, University of Indonesia

Wednesday, April 8, 2009

G20 summit: A global new deal?


The Jakarta Post (original link)



Berly Martawardaya , JAKARTA | Wed, 04/08/2009 11:07 AM | Opinion

UK Prime Minister, Gordon Brown, called the G20 Summit in London a Global New Deal and solution to the current financial crisis. The twenty participant countries make up 85 percent of global gross national product, 80 percent of world trade and two-thirds of the world population.

The G20 Summit needs to be complemented and praised for the role it has played. It used to be the order of the day that the mainly white rich nations’ club of the G8 decided what was good for the world.

The G20 was inaugurated in 1999 and has had annual meetings since then, but only since the financial crisis unfolded in 2008 has it became a major forum to find global solutions. Enlarging the committee to save the world has increased the sense of global ownership, so we can take together the hard steps that need to be taken.

It is no longer the task of the developing countries to implement the pre-cooked solution prepared by smarter and richer countries. Now we are in it from the start, hammering out solutions together.

The other break with the past is in the character of solutions offered. No country was foolhardy enough to propose raising interest rates, cutting spending or eliminating subsidies for the poor as often previously required by the IMF and imposed on countries in crisis through IMF structural adjustment programs (SAPs).

Instead the summit offered a refreshing break from the previous Washington Consensus with its market fundamentalism. The communiqué of the meeting is filled with references to ease monetary policies and promote fiscal stimulus. The world is truly Keynesian now.
But to be judged successful, the summit needs to have accomplished three things.

First, to do no harm. The Hippocratic principle was executed seamlessly. It’s not as easy as it sounds; there were many contentious issues between US and Europe as well as between West and the Rest. Playing them down also has consequences.

Credible assurances of commitment to free trade and against protectionism were badly needed. Stock markets in Europe rose by one percent on average, while in Asia we had 4-5 percent increases in the Nikkei and Hang Seng indexes.

Second, it needed to agree on policies to minimize the economic downturn, accelerate recovery and support long-term growth. Obama called for fiscal stimulus of at least two percent of each country’s GDP. While Angela Merkel was exceedingly worried about Germany’s history of hyperinflation, inclining her not to accept this proposal, the final language stated that collectively G20 countries agreed to spend US$1.1 trillion dollars to boost the world economy.

The basic principles of Keynesian economics are very simple. Put money in the hands of people that are more likely to spend it the soonest. The more luxurious the goods and services purchased, usually, the lower the impact for the whole economy. The increase in demand will utilize the idle capacity, end the waiting game and get the economy moving again. That’s why the commonly recommended policies are tax-cuts, subsidies and direct cash transfers to the poor. Government have to run deficits as they are the only economic agents taking a long term view and having credibility.

In the global context, stimulus means putting money in the hands of low-income countries. The G20 agreed to spend $100 billion to assist international development banks in lending to poor countries. Additional resources of $6 billion from agreed IMF gold sales will also be made available for lending especially for the poorest countries.

Among the loans that banks freeze in the name of caution after a crisis unfolds are trade credits. Producers from developing countries commonly use trade credit facilities and Letter of Credit (L/Cs) from developed country banks due to lack of domestic financing. With the negative impact of the credit crunch, developing countries then cannot export their products anymore, due to lack of trade finance.

The G20 committed $250billion of support for trade finance over the next two years through export credit and investment agencies, as well as through multilateral development banks. This is a very welcome relief that gets right to the root of the problem.

Third, the summit also needed to strengthen institutional arrangements to prevent that a similar crisis should occur again.

While stopping short of erecting a wall between the consulting, auditing and banking industries on similar lines to those before the repeal of the 1933 Glass-Steagall act in 1999, the summit made very clear pronouncements in the direction of transparency. The shadowy banking world of the hedge fund is about to come into the light of day and to be regulated, while list of countries that protect tax havens will also be announced shortly.

International accounting standards will be set and credit rating agencies will be regulated in order to remove conflicts of interest. A newly established Financial Stability Board (FSB) will supervise and provide early warning systems to enable steps to be taken before a problem grows into a full-scale crisis.

But the IMF still presents a dilemma. Countries need to have sufficient capital to fend off speculative attacks, but association with the IMF was even more politically toxic than exposure to sub-prime mortgage losses for past victims of the 1998 Asian banking crisis. Furthermore, the current composition of voting weight within the IMF is still over-representing the G8 countries.

Thus, the costlier but preferred path is to pool reserves and set up regional agreements to help each other through such unfortunate events. The G8 countries seem oblivious that simply increasing IMF capital will do little to ease these concerns.

The leaders of the G20 put on a great show, let see if they can walk the talk.


The writer is a lecturer at FEUI and PhD candidate in Economics at the University of Siena-Italy and a member of the NU Professional Circle.

Wednesday, April 1, 2009

Learning our lesson from another dam failure


The Jakarta Post (original link)

Berly Martawardaya , JAKARTA | Wed, 04/01/2009 11:08 AM | Opinion

In the still of the early morning last Friday, gushing water from what was the Situ Gintung dam swept away the community living beneath it. As of this writing, close to 100 people in the Cireundeu area have been found dead and more than another hundred are still missing. Indonesia is grief stricken.

How could this happen? This is the age of the Internet and instant communication. Current technology could alert us to an asteroid approaching Earth from a million kilometers away. But this tragedy occurred in Jakarta, not some faraway, hard to reach area.

Unlike the Aceh tsunami, we cannot blame God for this — only ourselves.

While there has been a movement to reform the legal legacy of the Dutch colonial administration, there has been little attention paid to conserving its physical legacy, except for when potential tourist dollars are at stake.

Realizing the potential and peril of the Pesanggarahan River; in 1932 the Dutch built a dam to hold 2.1 million cubic meters of water in a 23-hectare area. Since then, many trees have been cut down and floods are more frequent; it seems that the Indonesian government has not done much to improve the dam.

We could not help but be saddened by reports that the foundations of the dam were weakened as surrounding communities salvaged building materials. This proved to be a very costly act of vandalism indeed.

Nevertheless, the government is not off the hook, ultimate responsibly for maintenance and preservations of public facilities lies with them. The all too frequent sinking of passenger ships and crumbling of bridges should be seen in same light; insufficient maintenance is to blame.
So what needs to be done?

First, the government needs to allocate funds from the Rp 17 trillion (US$1.5 billion) budget intended for infrastructure repair as part of a recent stimulus package for a comprehensive assessment of the country’s infrastructure. Bridges, dams and ships should be the priority, as they have the greatest potential for casualties.

The assessment of existing facilities, preferably by independent specialists, will not be as exciting and glamorous as establishing new ones is. No public ribbon cutting ceremonies with glitzy media coverage (not to mention, there would be less of a chance to embezzle funds) - just the nuts and bolts of governing for the people.

The rebuilding and rehabilitation of public infrastructure would be a massive, labor-intensive undertaking that would channel money to low-income people. High-income groups would too benefit from the high impact improved infrastructure would have on the national economy. We could also reallocate some Rp 56.3 trillion in tax-cuts of the stimulus to strengthen existing infrastructure.

Second, we need a thorough assessment of buildings located nearby rivers and other natural reserves. Bodies of water need clean areas around them to properly absorb water, and building on these areas can have disastrous consequences.

The harder part will be to assess the impact of legal but environmentally damaging construction. Teams of experts should follow rivers and other flood-prone areas to determine whether the establishment of water reservoirs is necessary. Don’t let the poor suffer to satisfy a few people’s greed.

New measures to transform the few remaining lakes and swamps into urban real estate should be resisted. Mother Nature is hurting and its time we listened to her.

The third measure should be an intensive public education campaign. The people should be made aware that the weakening of public facilities can endanger everyone’s life.

As direct beneficiaries, nearby communities should be fervent protectors. A clear line of reporting needs to be established, so the people know what to do if a crack or splinter in public infrastructure is spotted.

Some form of reward and encouragement for this potentially life saving measure needs to be established. Meanwhile, we need stern punishment for the vandals .


The writer is a lecturer at FEUI and PhD candidate in Economics at the University of Siena-Italy and a member of the NU Professional Circle