Wednesday, July 11, 2012

Indonesia Jadi Bandar IMF?


PDF Print




-->
Seputar Indonesia, 11 Juli 2012 (original link)

Pemerintah Indonesia memberikan komitmen untuk berkontribusi dalam jumlah yang cukup besar. Walau dana tersebut tidak hilang, berbagai kalangan dalam negeri mengkritik secara keras dan bahkan banyak elemen menolak rencana tersebut dengan menyatakan bahwa Indonesia bukan negara kaya dan rakyat Indonesia lebih membutuhkan dana tersebut.
Apakah paragraf di atas membahas tambahan modal Indonesia ke IMF pada 2012? Salah! India pada awal tahun 1946 mengalami gagal panen dalam skala besar. Nehru adalah pemimpin Partai Kongres yang sedang mempersiapkan kemerdekaan negaranya dari Inggris yang direncanakan pada Agustus 1947.Kelaparan massal di India bisa dijadikan alasan oleh Inggris untuk menunda kemerdekaan India.

Pada 23 April 1946, Sjahrir selaku perdana menteri Indonesia berkata, “Perkiraan paling rendah tentang panen tahun ini ialah 5 juta ton, sedangkan perkiraan tertinggi 7 juta ton dan rakyat Indonesia mengonsumsi tidak lebih dari 4 juta ton.” Sjahrir juga berkata, “Sekalipun jika tidak ada surplus beras, saya pikir rakyat kami bersedia memberikan 500.000 ton beras ditukar dengan tekstil. Saya rasa lebih dari wajar RI berbuat apa yang mungkin guna meringankan situasi pangan di India.

”Mohammad Hatta selaku wakil presiden Indonesia menegaskan sikap pemerintah tersebut melalui pidato radio pada 22 Juni 1946 berjudul “Beras Kita ke India”. Nehru tersentuh dengan uluran tangan Indonesia pada saat genting dan menyelenggarakan Asians Relations Conference di New Delhi yang menguatkan hubungan India- Indonesia serta negara lain di Asia.

Ikatan yang dibangun berperan besar dalam penguatan dukungan internasional kepada Indonesia di Perjanjian Linggarjati hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949 dan tidak bisa dilepaskan pada terselenggaranya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung di mana Indonesia memperkuat kepemimpinannya di antara negara berkembang dua benua.

Reformasi IMF

International Monetary Fund (IMF) dibentuk bersamaan dengan Bank Dunia pada konferensi Bretton Wood bulan Juli 1944 yang diprakarsai negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang menguat posisinya di Perang Dunia II untuk merekonstruksi dan membangun kembali ekonomi dunia pascaperang. Nama awal Bank Dunia adalah International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).

Konferensi ini dalam banyak hal adalah perwujudan ide John Maynard Keynes tentang perlunya desain sistem keuangan internasional yang lebih kokoh dan lembaga internasional keuangan sebagai penjaga stabilitas sistem dan memperkuat kapasitas ekonomi.Dari 44 negara yang ikut mendirikan IMF dan Bank Dunia di dalamnya termasuk negara berkembang seperti Mesir, Iran, Irak Guatemala, Peru. Berbeda dengan Sidang UmumPBByang onecountry-one vote, hak suara di IMF disusun berdasarkan kondisi ekonomi.

Laman IMF menyatakan bahwa hak suara dihitung dengan keterbukaan ekonomi (30%), variabilitas ekonomi (15%), cadangan devisa internasional (5%),serta weightedaverageGDP berdasar nilai tukar nominal dan daya beli (50%). Namun perubahan kuota tidak otomatis dan membutuhkan persetujuan dari para anggota, khususnya Amerika dan Eropa Barat, yang tidak begitu bersemangat untuk mengurangi pengaruhnya di lembaga sepenting IMF.

Saat ini gabungan hak suara Amerika, Jepang, Jerman, Prancis, dan Jerman adalah 37,4%, sedangkan gabungan hak suara dari China, India,Rusia,Brasil,dan ASEAN yang dari berbagai faktor ekonomi tidak kalah jauh dari kelompok pertama hanya 14%. IMF juga banyak dikritik,di antaranya oleh Joseph Stiglitz yang meraih Nobel Ekonomi dan pernah menjadi chief economist Bank Dunia dengan strategi IMF yang menggunakan formula standar (one-sizefits- all) stabilisasi, privatisasi, dan liberalisasi. Structural adjustment yang diterapkan IMF secara intens pada dekade 1980-an dan 1990-an tidak memiliki track-record baik dalam menstabilkan dan menyejahterakan negara yang mengalami krisis ekonomi, termasuk terhadap Indonesia.

Diplomasi Tangan di Atas

Distribusi hak suara yang hanya memberi peran kecil bagi Indonesia menyebabkan kita hanya memiliki tiga pilihan mengenai IMF.Pilihan pertama keluar dari keanggotaan IMF. Cukup banyak suara keras,apalagi pada masa krisis moneter yang mendorong opsi ini.Walaupun pemerintah perlu bersikap tegas pada masalah representativenessdan kebijakan dari IMF, jika hal itu dilakukan saat ini, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Pilihan kedua adalah memperbaiki IMF dari dalam. Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) konsisten memperjuangkan reformasi dan restrukturisasi hak suara IMF untuk lebih sesuai dengan kenyataan kondisi ekonomi.Indonesia perlu lebih intens mengatur strategi dengan grup negara BRIC dan negara berkembang lainnya sehingga tuntutan lebih kuat gaungnya.

Penambahan pinjaman ke IMF bersama BRIC dan negara berkembang lainnya pada saat Eropa kelimpungan dan membutuhkan dana adalah langkah untuk menegaskan bahwa Indonesia sebagai anggota G-20 tidak hanya bicara(noactiontalkonly). Data Januari–Maret 2012 menunjukkan bahwa 11,9% ekspor Indonesia diserap oleh Eropa.Apabila ekonomi Eropa kolaps, perekonomian Amerika yang menyerap 9,6% ekspor Indonesia,Jepang (11,7%), dan China (12, 9%) juga akan goyang.

Apalagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan bahwa skema yang akan digunakan adalah pengelolaan dana sehingga cadangan devisa tidak dipindahkan dan tetap tercatat sebagai cadangan devisa Indonesia. Pilihan ketiga yang belum dieksplorasi adalah menggabungkan opsi kedua dengan membangun organisasi di luar IMF. China dan Rusia beserta beberapa negara eks Uni Soviet membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 1996 di mana China membagikan USD10 miliar pada masa krisis 2009.

BRIC sedang membentuk bank pembangunan sebagai alternatif Bank Dunia. Indonesia tahun 1946 bisa mengirimkan 7,1% produksi beras ke India untuk ditukar dengan tekstil dan obat.Maka apakah setelah 66 tahun kita tidak sanggup menempatkan maksimum 8,9% dari cadangan devisa—yang tidak hilang— untuk menyelamatkan pembeli produk ekspor kita? Ada hadis nabi yang menyatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, ternyata hal itu juga berlaku untuk interaksi di organisasi internasional.Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith toriq.

Penulis adalah Manajer Riset FEUI dan
Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)