Friday, November 14, 2014

Kapal Besar Bernama G-20



Jum'at,  14 November 2014  (original link)

G-20 adalah perkumpulan 19 negara dengan perekonomian terbesar di dunia plus Uni Eropa yang menjadi wahana utama perumusan kebijakan ekonomi global. 

Peran ini dahulu dilakukan oleh G-7 yang terdiri atas Amerika, Inggris, Jepang, Prancis, Kanada, Italia, dan Uni Eropa. Perekonomian negara G- 7 merupakan lebih dari setengah perekonomian dunia pada 2012. Namun, krisis ekonomi global 2008 membuka mata para anggota G-7 bahwa perekonomian global sudah terlalu besar untuk hanya diatur oleh segelintir negara Barat plus Jepang. 

Tidak bisa lagi negara dengan populasi besar (Tiongkok, India, Brasil, Indonesia), PDB tinggi (Korea Selatan, Australia, Meksiko, Arab Saudi, dan Turki) atau perekonomian dinamik wilayah (Afrika Selatan dan Argentina) hanya menjadi penonton pasif sehingga dibentuklah forum yang mengikutsertakan negara-negara tersebut. 

Laman resmi G-20 menyatakan bahwa entitas ini telah memimpin dunia keluar dari krisis global menuju pemulihan. Setelah peran pemadam kebakaran berakhir maka G-20 memfokuskan energinya pada mendorong kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 

Heinbecker (2011) dalam studinya berjudul “The Future of G-20 and its Place in Global Governance“ mengatakan bahwa fokus terlalu besar pada topik ekonomi membatasi potensi kerja sama yang bisa dilakukan pada forum ini. Sering kali pembahasan terlalu teknis yang seharusnya cukup dilakukan pada tingkat menteri keuangan. 

Pada sisi lain, fokus pada ekonomi menyebabkan keanggotaan meliputi negara yang kurang demokratis dan perbedaan nilai menyulitkan pengambilan keputusan. Berlalunya krisis ekonomi dan membaiknya ekonomi global juga mengurangi urgensi untuk bekerja sama. 

G-20 menyediakan forum yang lebih kecil daripada PBB, tapi mewakili berbagai wilayah di dunia sehingga interaksi bisa lebih intens dan personal pada orang-orang yang memiliki pengaruh ekonomi besar. Para kepala pemerintahan beserta menteri keuangan dan gubernur bank sentral bertemu setidaknya sekali setahun untuk menetapkanagenda kerjasetahunke depan. 

Pada tahun 2009 dan 2010, bahkan diselenggarakan dua kali pertemuan karena masih dalam kondisi krisis. Keanggotaan Indonesia pada G-20 yang hanya mengikutsertakan enam negara Asia dan tiga negara berpenduduk mayoritas muslim cukup membanggakan dan perlu dioptimalkan manfaatnya oleh pemerintahan Jokowi-JK. 

Manfaat pertama adalah hubungan bilateral. Tanpa perlu pergi mendatangi satu per satu, Jokowi bisa bertemu dengan kepala pemerintahan banyak negara besar di forum G-20. Jika pada pertemuan APEC telah digunakan untuk bertemu Obama, Xi Jinping, dan Shinzo Abe, maka Jokowi bisa bertemu dan menjalin kerja sama bilateral di sela pertemuan multilateral dengan banyak negara Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Selatan yang berperan besar dalam ekonomi global. 

Relasi personal dapat berperan memuluskan peningkatan hubungan ekonomi pada tahap selanjutnya. Sebagai presiden yang baru dilantik, kesempatan ini bisa digunakan untuk menyampaikan potensi ekonomi Indonesia, menjajaki pasar ekspor, dan mengundang investasi pada para pengusaha. 

Manfaat kedua adalah koordinasi dan formulasi kebijakan global. Indonesia tidak lagi sebagai obyek yang menerima apa pun hasil keputusan segelintir negara kaya, tapi sebagai subjek yang hadir dan memiliki suara dalam meja negosiasi. Sangat penting bahwa tim yang berangkat sudah mempunyai beberapa agenda prioritas untuk diperjuangkan di meja perundingan dan tidak sekedar mengikuti mayoritas. 

Tim negosiator perlu berbekal data empiris dan studi ilmiah untuk meyakinkan dan mengajak negara lain untuk mendukung posisi Indonesia. Saat ini salah satu hambatan besar bagi ekspor Indonesia adalah komoditas sawit yang dikategorikan sebagai merusak lingkungan dan meningkatkan emisi. 

Pada sektor keuangan dan perbankan, juga perlu diupayakan supaya bukan hanya negara asing yang memiliki cabang di Indonesia, namun juga kita dimudahkan untuk membuka serta kembangkan jasa keuangan di negara lain. 

Bila saat ini poros maritim menjadi prioritas Indonesia, forum G-20 perlu digunakan untuk mengajak kerja sama negara lain yang juga berbasis maritim seperti Inggris, Jepang, dan Amerika supaya potensi ekonomi laut Indonesia dapat lebih cepat direalisasikan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Manfaat ketiga adalah proses berbagai pengetahuan serta best practice di berbagai negara. 

Di antara agenda prioritas pertemuan G-20 di Australia adalah perpajakan, energi, dan antikorupsi yang merupakan permasalahan besar di Indonesia. Kita bisa belajar pada Afrika Selatan yang memiliki tax ratio jauh lebih tinggi dari Indonesia dengan memisahkan fungsi pendapatan negara pada badan tersendiri, padahal mereka juga negara berkembang dengan kemiskinan dan kesenjangan yang tinggi. 

Pada bidang energi, Indonesia perlu belajar banyak dari Brasil yang berhasil mengembangkan bioenergi (terutama dari gula) sehingga mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan perkuat ketahanan energi. Pertemuan para kepala pemerintahan dan menteri di G-20 bisa menjadi awal dari kerja sama spesifik bilateral yang berlanjut setelahnya. 

Maka itu, sangat penting bahwa delegasi yang akan berangkat sudah memiliki target dan agenda untuk diwujudkan serta negara mana saja yang perlu didekati. Pada lain sisi, kita juga perlu berhati-hati untuk tidak diajak menyetujui kebijakan yang merugikan Indonesia semata untuk solidaritas forum. 

Akhir kata, sebagai sebuah wahana tentu G-20 memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi tidak banyak forum tingkat tinggi, di mana Indonesia bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara Barat. 

Sebagai pemerintahan baru, Jokowi perlu mempersiapkan secara matang sehingga partisipasi Indonesia dalam pertemuan di Australia dapat membawa dampak yang tinggi baik melalui jalur bilateral, kesepakatan multilateral, maupun bertukar pengalaman. Para pemimpin G- 20 adalah nakhoda dan mualim dalam kapal besar ekonomi global.


Ekonom dan Pengajar Magister Perencanaan & Kebijakan Publik (MPKP) FEUI

Tuesday, November 4, 2014

Development Planning That Works


The Jakarta Post (original link)
Jakarta | Opinion | Tue, November 04 2014



President Joko “Jokowi” Widodo is in for considerable development challenges. Indonesian economic competitiveness has been declining due to overreliance on commodity exports, crumbling roads and bridges and an electricity supply shortage. 


Despite the need for huge infrastructure investment, more than a quarter of central government expenditures are allocated for the energy subsidy as consumption grows. 

Anne Booth from the University of London said that Indonesia’s development was a history of missed opportunities. Fail again and forget about becoming the next Asian Tiger. We will be in the same league as Vietnam and Myanmar instead. 

It was the right move by Jokowi to move the National Development Planning Board (Bappenas) from under the oversight of the coordinating economics minister; it will now directly report to the President. 

Development is more than economics and too important to be left just to economists. Thus, it is appropriate that the new national development planning minister, Andrinof Chaniago, has eclectic formal education with a Bachelors in political science, Masters in public policy and PhD in philosophy. He also has written a book entitled The Failure of in Indonesia Development. 

If Andrinof has been reading up Law No. 25/2004 on national development planning system and the subsequent Government Regulation (PP) No. 40/2006 on mechanism of development planning formulation, then he knows that the law only gives him less than two months to table out a draft Medium Term Development Plan (MTDP) for 2015-2019 to the Cabinet. 

The law also requires the draft be discussed in a National Medium Development Planning conference that includes major stakeholders and the legalization of the document in a Cabinet meeting before Christmas. 

So the schedule is tight. How do you make the best possible strategy for the next five years under such constraints? The MTDP is supposed to be a master document that all ministries and government institutions refer to and implement in accordance to its role.

Strategic management experts say that if you fail to plan then you are planning to fail. The cycle of planning, implementation and monitoring/evaluation need to be strengthened amid a scarcity of resources and high stakes. 

Andrinof does not have to start with a blank sheet of paper, though the outgoing government has prepared a technocratic draft for the new President and his Cabinet based on experience and evaluation of the last five years. 

Andrinof is a close confidante of President Jokowi and he is going to need all the support he can. In the best-case scenario, he would sit down with other ministries to put challenging yet feasible indicators for each ministry in the MTDP. 

The second round of meetings would be to tightly align strategic plans in each ministry with the MTDP. However, coordination of development planning with other national government institutions is the easy part.

 The major problem in Indonesian development planning after the launch of regional autonomy is the misalignment and insufficient coordination between national and local governments. 

Since local governments are locally elected and have a wide range of autonomy then there is not much that the national government can do if governors/regents or mayors prefer to pursue a different set of policies. 

But if we look at countries with federal systems with strong authority in local governments such as Germany, United States and Malaysia, it seems they are not underdeveloped nor do they have disorderly governments. How do they deal with different priorities and policy at various levels of government? 

There are two main strategies. The national government could have a national program that the local governments could opt to join. If they do, then it also means getting more transfer funds for their budget. 

This is what US President Barack Obama does with national health insurance since the federal government could not force the local government to join. 

The strategy is to set a goal (ex: secondary school enrolment rate) and reward local governments that reach it with additional transfer funds. To take into account differences in regions, a growth rate could be used instead of absolute number.

The current formula for general allocations of funds for regions only takes into account these factors: population, area, price level, human development and income per capita. No room for policy factor that can function as a carrot and stick. Changing the formula would strongly strengthen coordination and synergy between national and local governments. 

Making development planning work for the people is not easy task. But as former US president Ronald Reagan famously said in 1981, “If not us, who? If not now, when?”

 _____________________

The writer is an economist and lecturer at the master of planning & public policy program at the University of Indonesia.