Monday, December 28, 2009

Anggaran Efektif

Kontan. Edisi 28 Des 2009 – 3 Jan 2010.
Halaman 39.


Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Tiga orang duduk bersama dan membandingkan kesehatan mereka. X beraktivitas dari jam 6 pagi sampai jam 10 malam. Tentu tidak baik jika pada pagi hari sudah digeber olahraga habis-habisan sehingga jam belum makan siang sudah loyo dan ngantuk. Akibatnya sisa waktu bangun yang masih sepuluh jam lagi tidak efektif.

Y senang makan dan ngobrol seharian di warung kopi serta bersantai sampai terbenam matahari. Lalu dalam empat jam lari marathon dan habis-habisan memompa otot di fitness centre sampai tidak bisa bergerak lagi.

Adapun Z melakukan sedikit pemanasan di pagi hari untuk tengah hari yang produktif dan rehat malam yang lelap. Sesekali disela olahraga di sore hari. Tak heran Z adalah yang paling sehat di antara ketiga orang tersebut.

Realisasi anggaran negara di Indonesia bagai pola hidup Y . Pengucuran merangkak sampai dengan September dan Oktober, manyak lembaga pemerintah yang baru melaksanakan 60 % dari total budget, lalu melejit mengejar 100 % di bulan Desember.

Padahal, sudah ada paket undang undang yang terdiri dari UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU no 1/2004 tentang perbendaharaan Negara dan UU no 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dengan dasar pemikiran mengggeser dari financial administration ke financial management.

Tidak direalisasikannya anggaran secara finansial memberikan kerugian yang riil. Bila satu lembaga pemerintah memiliki sisa anggaran 1 triliun maka sebenarnya bila di investasikan di SBI saja sudah akan memberikan return sebesar 6.5 miliar rupiah.

Adapun studi Congressional Budget Office (CBO) di pemerintah Amerika Serikat mendapati dampak pengali (multiplier) dari anggaran negara dapat mencapai 2.5 kali lipat bila di alokasikan ke infrastruktur. Artinya peningkatan ekonomi masyarakat dapat mencapai 2.5 trilliun rupiah dari sisa anggaran hipotetikal di atas.

Apalagi kalau sudah dijumlah dengan segenap instansi negara di tingkat pusat, propinsi dan lokal serta yudikatif dan legislatif. Berapa banyak yang seharusnya dapat di capai.

Prioritas Anggaran

Tentunya jumlah bukan segalanya. Komposisi tidak kalah penting. Bila anggaran negara dibelanjakan untuk memotong pajak orang kaya maka dampak ke masyarakat banyak hanya setengah dari jumlah yang dikeluarkan.

Prioritas adalah pada kegiatan yang memiliki perputaran uang cepat dan diterima oleh penduduk yang membutuhkan uang serta akan membelanjakannya di dalam negeri untuk kebutuhan utama dan sekunder. Barang-barang mewah memiliki kandungan impor yang tinggi sehingga yang diuntungkan adalah negara lain.

Melihat pentingnya pemerintah terhadap perekonomian mengapa realisasi dan pencairan anggaran demikian perlahan?

Mari kita berempati dan mengambil sisi pandang eksekutif. Apabila pada awal periode lembaga tersebut menetapkan anggaran yang ketat, maka ditakutkan akan timbul kebutuhan di tengah periode yang tidak diduga sebelumnya sehingga tidak dapat di laksanakan. Kehati-hatian yang sama juga membawa realiasi yang kecil di tiga triwulan pertama karena dikuatirkan akan timbul kebutuhan mendadak di triwulan akhir.

Akhirnya, pemerintah mengambil langkah untuk menetapkan anggara yang lebih tinggi dari perkiraan kebutuhan. Bila memang pelaksanaan dibawah anggaran maka dana tersebut dapat di pindahkan ke pos anggaran yang lain. Atau dihabiskan dengan system kebut dua-tiga bulan walaupun dampaknya ke masyarakat tidak sebesar potensinya.

Berbeda dengan swasta yang senang apabila dillakukan penghematan biaya serta under-utilized budget. Anggaran negara yang tidak dihabiskan akan sulit untuk di gunakan di tahun berikutnya dan menjadi catatan negatif pada performance pimpinan lembaga terkait.

Walau alasannya dapat dipahami, namun praktek ini tidak dapat dibiarkan. Sosok Y di paragraph pembuka tidak menjalani gaya hidup yang sehat dan justru memberatkan jantung serta kondisi tubuhnya. Moderasi dan keseimbangan adalah pilihan yang lebih baik.

Persebaran kegiatan lembaga pemerintah sudah sepatutnya menjadi salah satu unsure perencanaan sehingga pada tengah tahun paling tidah 40 % anggaran sudah di realisasikan. Proses bidding dan seleksi, yang seringkali dapat dipersingkat, dapat mulai dilakukan walau tahun anggaran belum di mulai sehingga cepat berjalan.

Penghargaan dan konduite tinggi justru perlu diberikan pada sosok dan lembaga yang dapat menghemat keuangan negara. Walau tentunya ada beberapa key performance indicator yang harus dicapai selain efisiensi biaya.

Sistem performance budgeting memfokuskan pada rasio benefit yang dihasilkan dari jumlah tertentu anggaran. Sehingga yang menjadi bobot penilaian performa individu dan lembaga bukanlah persentase realisasi semata..

Prosedur yang baku dan pasti serta memakai teknologi menjadi langkah yang sangat diperlukan dalam efektifitas anggaran. Pada satu sisi, kehati-hatian dan menghindari korupsi sangatlah urgen, tapi tidak berarti mengorbankan tujuan utama dari program pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Aliran dana pemerintah bagaikan darah yang menjadi pengantar energi dan menggerakakan tubuh perekonomian. Kemacetan di awal periode yang diikuti oleh banjir di akhir tidak akan menyegarkan ekonomi negara. Dokter harus tegas terhadap ulah pasien yang justru merugikan dirinya sendiri.

Addendum:
Pada paragraf 6 tertulis 6.5 millar harusnya 65 milliar. Koreksi sudah saya sampaikan ke pihak Tabloid Kontan dan akan muncul sebagai surat pembaca

Wednesday, December 23, 2009

Mencari Playmaker Sampai ke China


Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Rabu, 23 Desember 2009
Harian Sindo (original link - subcription)


Ibarat menanti sebuah pertandingan sepak bola akbar, setiap tim sewajarnya sudah mempersiapkan langkah dan strategi serta susunan pemain.Latihan berat demi menguatkan stamina serta mengasah teknik adalah suatu keharusan.


Rekam jejak dan gaya permainan calon lawan di lapangan hijau dianalisis untuk menyiapkan langkah. Para kampiun sepak bola kerap berujar, menghadapi lawan yang sangat tangguh selalu ada hikmahnya. Walaupun akhirnya kalah, proses latihan dan persiapan ketat yang ditempuh akan menempa kapasitas tim. Sebelum operan pertama terjadi maka manfaat sudah diraih.Gol sekadar bonus. Bagaimana jika beberapa hari menjelang pertandingan menghadapi tim unggulan ada beberapa pemain yang minim persiapan dan meminta pengunduran waktu dengan alasan tidak siap, padahal pertandingan sudah disetujui jauh-jauh hari?

Apakah memang dari awal seharusnya pilih lawan yang lebih setara? Atau semestinya lebih baik persiapan dan latihannya? Perjanjian perdagangan bebas antara 10 negara ASEAN dan China tidak jauh berbeda dari kisah di atas. Bahkan Ketua Komisi VI (Bidang Industri Dan Perdagangan) DPR, Airlangga Hartarto (FPG), sudah mengirimkan surat permintaan penundaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyampaikan notice kepada pihak China dan anggota ASEAN sebelum 1 Januari 2010. FTA yang akan masuk ke tahap utama pada 1 Januari 2001 bukan sekonyong-konyong jatuh dari langit tanpa peringatan apa pun.

Pada pertemuan kelima ASEANChina Summit,6 November 2001,di Brunei Darussalam,kesepuluh anggota ASEAN dan China menyepakati pembentukan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dalam 10 tahun dengan perlakuan spesial untuk anggota ASEAN yang masih pada tahap awal pembangunan yaitu Kamboja,Laos,Myanmar, dan Vietnam. Framework Agreement on a Comprehensive Economic Cooperation ditandatangani oleh sebelas negara tersebut di ASEAN-China Summit ketujuh di Phnom Penh,Kamboja, 4 November 2002.Adapun kesepakatan spesifik tentang protokol kerja sama perdagangan dan investasi ditandatangani pada 6 Oktober 2003.

Xiahohong Yu (2005) menganalisis kelemahan ASEAN yang walau berpenduduk besar–bahkan lebih luas areanya dari 10 anggota inti Uni Eropa–tapi gabungan GDP ASEAN hanya sepersepuluh EU-10. Kecuali Indonesia, setiap negara memiliki pasar domestik yang relatif kecil dan sebagian besar ekspor diarahkan ke luar ASEAN. Para anggota ASEAN kebanyakan berspesialisasi di pertanian, pertambangan, dan industri ringan,sehingga tidak melengkapi tapi saling berkompetisi.ASEAN tidak memiliki anggota inti yang mendukung penuh integrasi seperti EU-10 dengan Jerman dan Prancis. Kesenjangan di antara anggota ASEAN juga menjadi masalah tersendiri.

***
Melalui kongsi dengan China, negara yang paling banyak penduduknya di dunia, maka ASEAN akan mendapatkan pasar yang sangat besar bagi produk negaranya. ACFTA memiliki 1,7 miliar penduduk dengan total PDB sebesar USD2 triliun dan total perdagangan USD1,23 triliun. China pada saat ini memiliki industri menengah yang cukup kuat, sehingga membutuhkan bahan baku serta energi dari negara ASEAN dan membuat perdagangan lebih komplementer.

Tingkat ekspor China yang sangat pesat perkembangannya akan mendorong pertumbuhan negara ASEAN, sehingga mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat. Bagaimana dengan dampaknya? Studi oleh Sekretariat ASEAN,menggunakan global trade analysis project (GTAP), memproyeksikan ekspor ASEAN ke China akan meningkat USD14 miliar dolar atau 48%. Penerima mendapat manfaat terbesar adalah anggota ASEAN yang relatif maju, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, serta Thailand. Sebaliknya ekspor China ke ASEAN akan meningkat USD6,8 miliar atau 2,4%. Sektor yang meningkat pesat di ASEAN adalah tekstil, elektronik, mesin dan manufaktur lain dengan Indonesia mendapati kenaikan sebesar USD1,3 miliar.

Namun studi baru oleh Donghyun Park,Innwon Park,dan Gemma Esther B Estrada (2008) dari Asian Development Bank (ADB), dengan teknik computable general equilibrium (CGE), mendapati bahwa industri makanan Indonesia akan meningkat 5% dan produk pertanian 2,8%. Sayangnya industri berat akan mengalami penurunan sebesar 2,7%. Pengalaman Thailand layak dicermati karena mereka lebih dulu membuat perjanjian perdagangan bilateral dengan China. Mereka alami 117% kenaikan impor apel serta 346% untuk pir dan 4.300% untuk anggur.

Namun ekspor Thailand ke China naik 986% untuk fresh longan,21.850% untuk ekspor durian, dan 150% untuk ekspor mangga. Produk yang kompetitif akan meningkat, yang lemah akan diserbu. Apa yang dapat dilakukan untuk mengambil manfaat semaksimal mungkin dari ACFTA? Tidak sampai dua minggu lagi tarif impor untuk 6.682 produk dari China akan diturunkan drastis— yang membuat produsen Indonesia harus berkompetisi.

Hambatan terbesar mungkin berasal dari dalam Indonesia sendiri dengan prosedur yang panjang serta berbelit untuk melakukan ekspor.Itu berarti hanya pengusaha dengan modal besar atau network yang bagus akan dapat menembus pasar luar negeri. Kemudahan perizinan bukan lagi menjadi kemewahan, tapi kebutuhan imperatif untuk bertahan di era perdagangan bebas.

***
Sun Tzu mengatakan, kenali lawanmu dan dirimu maka engkau akan memenangkan seratus pertempuran. Studi mengenai bahasa dan budaya China harus digalakkan di Indonesia karena bagaimanapun bisnis adalah hubungan antarmanusia. Indonesia juga perlu secara strategis dan terencana mengirimkan orang untuk belajar di Negeri Tirai Bambu.

Dengan bahasa yang amat kompleks dan tata cara kehidupan yang rumit,kita butuh duta yang mengerti kondisi di China,tapi tetap dalam konteks kepentingan Indonesia.Kelompok orang ini yang sekembalinya ke Indonesia akan menjalin kerja sama dengan China dan membantu pengusaha Indonesia membuka serta mengembangkan usaha di sana. Pada sisi lain, Indonesia juga perlu tegas menerapkan standar mutu dan kualitas terhadap produk China yang masuk ke Indonesia. Beberapa waktu yang lalu pasar Amerika Serikat (AS) geger dengan produk China yang tidak memenuhi standar lingkungan dan tidak aman dengan anak. Jangan korbankan masa depan kita hanya karena tergiur produk yang murah.

Indonesia juga memiliki beberapa produk unggulan.Neraca perdagangan produk pertanian Indonesia dengan ASEAN plus China surplus USD2,2 miliar. Surplus itu dicapai dengan ditopang produk perkebunan seperti kelapa sawit, karet,kopi,dan teh.Keunggulan ini harus dijaga serta ditingkatkan dengan mengetahui tipe serta preferensi konsumen di China. Bagaimanapun, persiapan untuk negosiasi perdagangan selanjutnya harus dilakukan dengan saksama dan berdasarkan kemampuan serta visi strategis bangsa.

Jangan lagi terjadi lupa kolektif yang diikuti oleh panik kolektif seperti saat ini. Indonesia butuh playmakeryang melihat peluang di depan dan menyiapkan serangan secara saksama dan cantik. Bukan penjaga gawang yang hanya bisa bertahan mati-matian ketika lawan sudah dekat.(*)

Wednesday, December 2, 2009

Reminiscence of A Chinese-Indonesian Look-alike



It was totally unexpected.

I was just finishing an afternoon prayer in the mosque nearby Faculty of Economics at the University of Brawijaya. The meeting in the mountainous city of East Java brings together cool heads of Economics and Development students all over Indonesia together. We were on the verge of establishing a national organization for Economics and Development students.

Students in this major are proud for their fellow alumni and lecturers as they are known as a driving force in national and regional planning agencies as well as expert members of most of welfare and economic related policy committees. And some of them become top executives or lawmakers. Moreover, TV shows and newspapers are not complete without economic section.

Considering the enormity of tasks in setting up development plans, which usually fall into alumni of 70+ public universities in Indonesia with Economics major, with ten percent of them doing most of the heavy lifting, it is imperative that during studentship period that we get to know each other to build networks early on.

Little did I know that at I was bumping into a different kind of wall soon after.

A group of female students from Andalas University in West Sumatra, based in Padang the hometown of my tribe, looked at me curiously and braced themselves to ask a question. One of them said, “What are you doing in a mosque?”

I told them that I had just finished praying and she responded, ”Oh, I didn’t thought that you are Moslem since you look like a Chinese.”

I defended myself by explaining that I have a mixed blood of Padangnese from West Sumatra and Sundanese West Java, both of which have reputation of fair skin, then it is natural that my skin is even fairer than most Indonesian people.

They smiled to me and afterward the group’s behavior was growing warmer toward me. Having good-looking girls behaving nice is not usually a circumstance that makes me complain. But it did have me wondering.

Two strands occurred in my minds. First, why they changed behavior. Second, why I felt the strong urge to ‘defend’ myself.

I have an impeccable credential as a pribumi, translated literally into son of the earth, Indonesian. As I mentioned before, my parents are both from Indonesian tribes with no traceable of intermarriage with western or far east blood. Not only I am a Moslem but a leader of local chapter of Islamic Association of University Student (HMI), which has the largest number of student in the world among student associations in a single country. I even have, albeit weak, acquaintances with leaders of revivalist and progressive Islamic movements in the country.

Not that I have prejudices or bad experiences with minority in Indonesia. Some of my fondest childhood memories were during my three-year stay in Riau Island near Singapore where many of the inhabitants were Chinese descent.

Every time I saw a red envelope, it reminds of me of a well-kept tradition in Chinese New Year where children in a neighborhood will be given angpao, money in such envelope. Until now, I still count kwe tiaw (Chinese flat noodle) with seafood sauce as one of my favorite meals. And yes, I developed close friendship with a Chinese boy of my age whose photo still adorns my album and my mother still sometimes proudly shows to visitors of our house.

So why I have the need to differentiate myself and my identify that I am not one of “them”?

As much as having progressive and nationalistic parents could have impact, I could not escape influences of the media and community. I am still a product of my generation.

In a way, it’s not totally the mistake of Chinese Indonesians. The Dutch colonial system that lasted more than three centuries in some areas of Java created a hierarchy of population. They and other European descendants were at the top of pyramid with all the power and perks that ensued while the pribumi were placed at the bottom of the vertical stratifications.

A few pribumis with royal blood or special circumstances could get Dutch education and even went all the way to study in Holland, but they retained little illusion that the barrier could go away longer than a flicker of moments. But there was also the second layer.

As the Netherlands was very far away from Indonesia and the state of sea transportation at the time was far from convenient, their number was too small for an effective power over economic and political matter in the archipelago. While they hold close to political power, the economic side was not held to close to the chest and many of trading activities were given up. Of course some of the spoil would reach them eventually.

Arab and Chinese descendants were classified as the second layer of population class. This arrangement had added benefits by making the pribumi saw that the Dutch was not the only group higher in hierarchy thus making their position even weaker.

The Arab had an advantage with having similar religious and cultural backgrounds with most of Indonesian population. With intermarriage often occurred, Arabian descendants had been accepted as a part of Indonesian diverse richness.

While there have been heroic cases of Chinese Indonesian fight against the Dutch colonial system, the main impression is how the group was privileged over suffering of pribumi Indonesia. Furthermore, Christianity was brought by Dutch and Portuguese to Indonesian archipelago and is still seen with suspicion of being external agents and less than fully loyal to Indonesia.

Some historians said that female Chinese prevented their males to convert to Islam for fear of the husband taking a second, a third or fourth wives that are allowed in mainstream Islam. Anyhow, the low percentage of Moslems in Chinese Indonesians made the group a triple minority in terms of ethnic, religion, and wealth.

Being suspected as part of coup movement to oust Sukarno, the first president of Indonesia, certainly wasn’t helpful to the cause of integration. Chinese schools and newspapers were banned, and people who were using Chinese names were forced to adopt proper Indonesian names.

During the New Order under Suharto, the marginalization of Chinese Indonesians reached a new height. One would be very hard pressed to find one member in government office or military. Chinese Indonesians were ghetto-ized into businesses activities which fed into vicious cycles of resentment as the group grew richer. The riots of May 1998 were the culmination of that resentment. The harrowing stories of the incident will forever be kept in the conscience of Indonesians.

But it was not without any upside.

The president after the 1999 election was Gus Dur, who was a strong civil society leader and an avid defender of minorities. Chinese newspapers and daily news in Mandarin on a major national TV station and Chinese culture flourished again under his administration, while the next president did nothing to stem the tide.

Now the Chinese New Year is again a festivity of sight and sound. Who can forget barongsai dance with two persons in a dragon costume doing acrobatic feats, once you have seen them? Now I am happy that my children will not be barred from such amazing sight.

In retrospect, I wish I had echoed Collin Powell when he endorsed Obama for president over John McCain in the eve of 2009 election. I would have said, “What if I am a Chinese Indonesian? Is there something wrong with being a Chinese Indonesian in this country?”

I expect that there will be time, not very far from now, when the question will meet a resounding no by all Indonesians. An individual should not be judged by the color of skin, religion, and racial heritage or wealth, but by the content of character and contribution to common good.[]

Simalakama Risiko Sistemik


Berly Martawardaya

Liputan6.com (original link)
02/12/2009 15:04



Belakangan ini muncul “binatang” baru dalam perdebatan ekonomi di Indonesia, yaitu risiko sistemik. Makhluk ini demikian ditakuti sehingga pantas dikucurkan dana Rp 6,7 triliun untuk menghalau kedatangannya. Tapi, menurut saya, keberadaannya antara ada dan tiada. Darmin Nasution, mewakili Bank Indonesia, menyatakan secara internasional, tidak pernah ada kriteria dampak sistemik. Ini bukan kelemahan BI karena pengaturan yang jelas akan menimbulkan moral hazard. Kriteria sistemik diadopsi dari nota kesepahaman yang berlaku di kawasan Uni Eropa.

Namun halaman awal dari hasil audit BPK menyatakan bahwa tujuan studi tersebut adalah menyelidiki dasar hukum, kriteria, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan pemerintah dalam menetapkan status Bank Century sebagai berdampak sistemik. Salah satu kesimpulan audit BPK adalah BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century

Kenyataannya, Bank Indonesia telah menetapkan Bank Century sebagai Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan Surat Gubernur BI No. 01/232/GBI/Rahasia tertanggal 20 November 2008 yang diperkuat oleh rapat KKSK pada 21 November 2008 dengan Keputusan No 04/KSSK/2008. Berarti BI memiliki kriteria tersendiri dalam mengkatagorisasikan apakah suatu permasalahan bank memiliki dampak yang terisolasi dan terbatas pada nasabahnya atau meluas pada bank lain dan sistem perbankan secara umum.

Bukankah hal ini menjadi argumen tambahan bahwa bank yang memiliki resiko sistemik harus dideteksi sedini mungkin dan dihilangkan, atau setidaknya dikurangi, risikonya? Tapi pernyataan di atas menyebutkan bahwa bila terdapat kategori yang jelas justru akan menimbulkan masalah baru. Jadi apakah sebaiknya terdapat indikator dan deteksi dini terhadap bank dengan risiko atau tidak? Sungguh bagai buah simalakama. Mari kita kaji premis dan landasan dari tindakan yang diambil otoritas keuangan dalam bail-out Bank Century.

Walau tidak ada aturan baku global tentang risiko sistemik perbankan seperti Basel Accord tentang komposisi modal, literatur ilmiah yang tersedia cukup memadai. Referensi itu bisa dari The Fed di Amerika, European Central Bank di Eropa, maupun IMF yang khusus diberi mandat oleh G20 untuk memantau stabilitas keuangan global.

Oliver de Bandt dan Philippe Heartman pada working paper No. 35/2000 yang diterbitkan European Central Bank mendefinisikan risiko sistemik ketika berita buruk mengenai satu institusi finansial, atau kegagalannya, akan mendorong kegagalan satu atau beberapa institusi finansial lain. Risiko sistemik dinyatakan kuat bila institusi lain yang secara fundamental kuat akan tergerus dan terkena dampak secara signifikan.

Pada kondisi tersebut, sirkulasi uang sebagai darah dari perbankan akan mengalami penciutan secara drastis. Tiap bank akan berusaha meningkatkan likuiditas tapi secara sistemik aksi tersebut justru akan menguranginya. Pemilik modal dan likuiditas akan dapat menikmati tingginya suku bunga pada masa panik tersebut yang akan menggerus profit perbankan.

Lebih parah lagi, untuk mendapatkan likuiditas, bank mendesak peminjam untuk melunasi lebih cepat padahal sebagian pinjaman bank memiliki jatuh tempo yang sudah diperhitungkan dengan likuiditas. Nasabah yang panik dan mencairkan tabungan justru akan memperparah kondisi.

Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) dari IMF menyatakan terdapat empat penyebab utama munculnya risiko sistemik. Sumber pertama adalah institution base, yaitu sejauh mana bank telah menjalankan prinsip kehati-hatian. Jika suatu bank sudah memiliki reputasi buruk dalam kebijakan simpan pinjam serta pengelolaannya, kabar kegagalan kecil mungkin akan menjalarkan kepanikan di bank lain.

Sumber kedua adalah market-base and interconnectedness, yaitu sejauh mana aset bank tersebut bersumber dari bank lain dan sebanyak apa aset bank tersebut di bank lain. Semakin tinggi rasio tersebut, semakin tinggi risiko sistemik, apalagi untuk bank dengan proporsi terhadap total aset perbankan besar.

Sumber ketiga adalah infrastructure based, khususnya basis legal dan perundangan serta kerentanan terhadap efek domino. Sistem perbankan suatu perekonomian yang lemah di sisi ini hanya akan menarik arus dana jangka pendek yang akan kabur lagi ketika kondisi memanas.

Sumber terakhir adalah sentimen regional dan global yang akan mempengaruhi kerentanan di suatu perekonomian. Negara yang kuat ekonominya, tapi jika secara global sedang ada resesi, dapat terseret juga oleh permasalahan yang sebenarnya tidak besar.

Secara besaran relatif agak sulit mengkategorikan Bank Century sebagai anchor bank yang akan mendorong krisis sistem perbankan jika dibiarkan gagal. Proporsi dana pihak ketiga (DPK) Bank Century hanya 0,08 persen dari total DPK perbankan. Pencairan kredit hanya 0,72 persen dari total, dan total aset hanya 0,72 persen dari total aset perbankan.

Argumen moral hazard dapat diterima bila suatu institusi too big too fail (TBTF) dan cenderung mengambil kebijakan yang tidak prudent karena tahu akan di bail-out seperti banyak dituduhkan pada Goldman Sach dan AIG di Amerika Serikat. Cukup logis bila perusahaan ingin meraih status TBTF sehingga tidak perlu cemas dengan risiko kebijakan. Tapi tidak sulit untuk menyelesaikan masalah ini yaitu dengan memecah perusahaan TBTF menjadi beberapa perusahaan kecil yang lebih kompetitif dan efisien.

Argumen bahwa Bank Century memiliki keterkaitan erat dengan bank lain di Indonesia perlu dibuktikan dengan audit investigatif mengenai penempatan dana bank lain di Bank Century dan sebaliknya dalam berbagai bentuk (interbank loan, commercial paper, saham, obligasi, dan sebagainya.)

Kondisi ekonomi global tahun lalu memang sedang pada pertengahan krisis. Namun sebagian besar dana asing sudah keluar dari sistem keuangan Indonesia. Perlu dipertanyakan apakah kebijakan blank check tanpa batas terhadap bank gagal yang memiliki resiko sistemik patut dipertahankan.

Bagaimana dengan MoU antara bank sentral, badan pengawas keuangan, dan para menteri keuangan di Eropa? Menarik sekali bahwa di antara kesepakatan bernomor ECFIN/CEFCPE(2008)REP/53106 REV REV itu ditekankan soal akuntabilitas terhadap institusi bermasalah dan bahwa kreditor/deposan harus siap kehilangan sebagian dari tabungan mereka. Penggunaan uang publik tidak boleh taken for granted dan hanya digunakan bila manfaat sosial lebih besar ketimbang biaya rekapitulasi yang ditanggung publik.

Milton Friedman, peraih hadiah Nobel Ekonomi dari Universitas Chicago, menekankan bahwa bank sentral perlu mendahulukan rule than discretion sehingga pelaku ekonomi memiliki arahan dan kepastian dalam mengambil tindakan. Bila kebijakan moneter dan perbankan memiliki ruang deviasi yang sangat lebar justru dapat memicu moral hazard serta perilaku negatif pelaku pasar yang memiliki posisi tawar besar.

Menaklukkan suatu masalah harus dimulai dengan menghadapinya secara langsung. Sudah saatnya Indonesia menyusun Sistem Operasi Prosedur (SOP) kriteria deteksi dini dan langkah pengobatan yang transparan terhadap risiko sistemik di bidang finansial. Dengan begitu, keraguan terhadap penyelamatan seperti untuk Bank Century tidak muncul lagi di masa mendatang.


Penulis adalah staf pengajar di FEUI, ekonom senior INDEF, dan aktivis NU Professional Circle