Thursday, March 26, 2009

Bisakah Indonesia?



Business Week-Indonesia
No 07: 1-8 April 2009


Berly Martawardaya

Nothing to fear but fear it self

Demikian ujar Franklin Delano Roosevelt saat dilantik sebagai Presiden Amerika. Tugasnya tidak ringan, Great Depression telah menelan lebih dari seperlima dari GDP dan melemparkan satu dari tiga pekerja di negara Paman Sam menjadi pengangguran. Fasisme di Eropa dan Komunisme di Rusia memperkuat posisinya sebagai alternatif dari demokrasi.

Setelah menaklukkan rasa takut, FDR menjinakkan depresi ekonomi dengan langkah-langkah kreatif yang bertentangan dengan doktrin kebijakan saat itu. Nazi dan sekutunya pun perlahan dapat digulung di Perang Dunia II sehingga perdamainan dan kemakmuran kembali mewarnai dunia.

Malaysia Boleh!

Negara jiran yang tadinya mengandalkan kelapa sawit dan tambang timah ini ingin menjadi negara industri maju pada 2020. Mahathir Muhammad sebagai Perdana Mentri mendorong rakyatnya untuk bergerak cepat. Melayu harus menjadi sinonim dengan kerja keras dan intelektualitas katanya. Percaya diri bangsa dibangun dengan keringat dan pencapaian nyata.

Pendidikan dijadikan prioritas dan putra bangsa terbaik dikirim untuk belajar ke berbagai negara maju. Dibangunlah infrastruktur tangguh dan administrasi publik yang efisien, perusahaan high-tech seperti Microsoft, Oracle, Intel, datang mengisi Multimedia Super Corridor (MSC) dan ikut mengembangkan entrepreneur lokal.

Yes, we can!

Krisis ekonomi dunia datang lagi. Namun sebagian besar rakyat Amerika justru optimis dengan masa depan. Semua karena seorang Obama dengan ibu dari Kansas dan bapak dari Kenya yang berhasil menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat.

Tapi Obama puas sekedar menjadi simbol perubahan, dia ingin menjadi agent of change. Sebelumnya ditoleransi bahwa rakyat miskin tidak bisa mendapat layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Tidak lagi. Sebelum masa jabatannya berakhir, Amerika akan menjadi negara yang bertanggung jawab terhadap warganya. Kaya atau miskin.

Bisakah Indonesia?

Kita sudah berkali-kali tertinggal kereta. Pada tahun 80-an, Indonesia adalah bagian dari Newly industrialized Country (NIC) bersama Taiwan, Malaysia, Thailand, Filipina dan Cina. Sekarang semuanya telah memiliki pendapatan sekian kali lipat.

Dampak krismon paling parah di Indonesia dengan pertumbuhan minus 13 % pada tahun 1998 dan paling lama pulih dibandingkan Malaysia, Korsel dan Thailand. Perubahan sistem politik juga memakan waktu dan biaya yang cukup besar. Baru sekarang Bill Liddle,
Indonesianis ternama dari Amerika, menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi kita sudah selesai.

Goldman Sachs pada tahun 2005 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari Next-11 (N-11) yang merupakan pendorong ekonomi dunia masa depan karena besarnya potensi penduduk dan kapasitas industri. Tidak ketinggalan, PricewaterhouseCoopers pada tahun 2006 memproyeksikan Indonesia bersama Cina, India, Brazil, Rusia, Meksiko and Turki untuk melampaui G-7 (Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Itali dan Kanada) pada tahun 2050.

Tapi bukankah Indonesia hanya menempati ranking 58 pada Global Competitiveness Report dan 107 pada Human Development Index? Sulitnya menjalankan usaha di Indonesia tercermin pada nomor urut 129 di survey Bank Dunia. Indonesia bahkan termasuk negara dengan tingkat new business terendah di dunia.

Tapi potensi yang besar dan kondisi yang belum maksimal menunjukkan bahwa the only way is up. Indonesia diproyeksikan tumbuh 3-5 % di 2009. Dalam satu grup bersama beberapa negara seperti Cina dan India yang tidak banyak terpengaruh krisis global karena pasar domestik yang besar.

Layunya gerak perusahaan multinasonal yang bermasalah di negaranya membuka peluang bagi pengusaha lokal untuk merebut kembali pasar lokal. Turunnya rupiah juga membuat ekspor Indonesia lebih kompetitif di dunia. Bebasnya Indonesia dari kekang IMF memungkinkan kita untuk mengalokasikan dana demi perbaiki infrastruktur dan layanan sosial.

Dani Rodrik dari Harvard menggunakan kerangka growth diagnostic untuk menganalisa pertumbuhan ekonomi. Penyingkiran berbagai bottle neck dapat menampilkan potensi yang terpendam dan memberikan boost besar bagi perekonomian

Saatnya bagi Indonesia untuk serius membereskan birokrasi, pendidikan dan kesehatan demi menempati posisi yang sepantasnya.

Mungkin juga kita bisa.


Dosen FEUI dan Kandidat Doktor Ekonomi di University of Siena, Italia

4 comments:

Yesse said...

Mungkin sudah bukan merupakan pilihan lagi Ber, tapi suatu keharusan. Harus Bisa. Sekian puluh tahun merdeka, masak gak bisa belajar dari pengalaman??
Tinggal orang2nya punya niat enggak buat majuin bangsa ini? Orang2 pinternya banyak, modalnya ada. Harusnya kan mudah ya Ber...

Berly said...

he..he..kalo akademisi kan menempatkan dalam conditional clause.

Yang di artikel itu adalah bisa.... jika memenuhi syarat2 yg diajukan.

Tinggal political will dan disiplin dalam implementasi.

atau ketinggalan lagi dari Vietnam dan Filipina dan masuk ke kelompok Bhutan, Bangladesh dan Kamboja/Laos :-(

Workshop Orang Indonesia Belajar Cepat said...

Sepertinya menyerahkan urusan spt ini ke pemerintah akan lama beres..Nelson Mandela pernah beri nasehat kepada sahabatnya didlm penjara untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar bisa berguna untuk bangsa pada saatnya diperlukan. Salut buat loe Berly..sdh ada dlm pendidikan yang tepat dan terbaik..saatnya ilmu itu pasti dibutuhkan bangsa ini.

Berly said...

@Firman:
Makanya perlu terus diingatkan dan digerakkan. Jangan di diamkan dan didoakan saja.
Negara2 yang belakangan maju seperti China, India dan Vietnam juga macan2 asia seperti korsel, singapore, taiwan semua fokus ke pendidikan dan kemudian bangun industri,