Friday, January 8, 2010

Balada Batavia-Bandung dan Perdagangan Bebas


08/01/2010 20:58
Liputan 6.com (original link)
Berly Martawardaya


Pada awal 2010 ini, sebelum melangkah ke depan mari kita melihat mundur 200 tahun, ke 1810. Studi komprehensif yang dilakukan sejarawan Belanda, Thomas J. Lindblad dan akademisi Indonesia, Thee Kian Wie, pada buku The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000 mengangkat beberapa fakta menarik.

Batavia sebagai pusat kedudukan dan administrasi Belanda memperkuat posisinya sebagai pusat perdagangan di Nusantara. Kapal-kapal yang membawa berbagai produk rempah-rempah, mulai dari pala sampai cengkeh, berlabuh di Sunda Kelapa sebelum dibawa ke Eropa. Sebaliknya, kebutuhan konsumsi penduduk Belanda yang jumlahnya terus meningkat menempuh setengah belahan dunia untuk mencapai Batavia. Mulai dari keju, tembakau, sampai pakaian mode terakhir dari Paris serta sutra dan barang pecah-belah dari China didatangkan demi memenuhi permintaan komunitas ini.

Namun petualangan Belanda di Indonesia masih dalam bentuk ekspedisi kapal yang membangun benteng serta meninggalkan komunitas kecil di daerah yang dianggap strategis. Pola ini yang menyaksikan berdirinya Fort Rotterdam di Makassar dan Fort de Kock di Padang. Tujuan utama Belanda adalah berdagang, bukan menjadi tuan tanah. Namun, seiring meningkatnya resistensi penduduk pribumi yang menjalankan taktik gerilya untuk menyerang kota pelabuhan Belanda lalu kembali ke pedalaman, perlahan-lahan pasukan dan administrator Belanda bermigrasi dari pantai ke pedalaman kota Jawa.

Setelah menaklukkan daerah Priangan, mereka menemukan daerah sangat subur dengan iklim sejuk. Sebagai penghasil beras dan sayur-sayuran selama ratusan tahun, ternyata Priangan juga cocok untuk menanam kopi dan teh yang mendatangkan keuntungan sangat besar bagi Belanda. Realisasi potensi tersebut membutuhkan jalur transportasi sehingga panen kopi dan teh dapat mencapai Batavia untuk dimuat pada kapal yang menuju Eropa. Sebelumnya, Batavia dan Bandung bagaikan dua negara dengan volume perdagangan yang minim. Sebaliknya, produk Batavia, yang manufaktur ringannya mulai bangkit, sampai ke Bandung bersama produk dari luar Indonesia.

Dengan meningkatnya jumlah pembeli di Bandung dan sekitarnya, skala produksi industri ringan di Batavia, yang kebanyakan menghasilkan kebutuhan rumah tangga dan pengolahan bahan baku, dapat meningkat. Efisiensi pun melejit.

Analisis pada relasi kedua kota tersebut di masa kini menunjukkan pola tidak jauh berbeda. Bandung tidak dapat berkompetisi dengan Jakarta dan sekitarnya untuk industri berat, namun bukan berarti penduduknya hanya menjadi konsumen pasif. Produk Bandung, terutama makanan dan pakaian serta restoran dan hotel, menjadi magnet dari penduduk Jakarta untuk migrasi sementara di akhir minggu. Industri kreatif dan teknologi di Bandung juga mampu meraup untung dari konsumen Jakarta. Tk dapat disangkal bahwa kedua kota mendapat manfaat dari meningkatnya interaksi ekonomi dan menurunnya harga barang.

Pada prinsipnya, pemberlakuan perdagangan bebas antar dua negara atau kawasan tidak berbeda jauh dengan dibangunnya jalan yang menghubungkan Bandung dan Batavia. Dua entitas ekonomi yang semua memiliki hambatan menjadi satu daerah luas yang menghubungkan produsen dan konsumen.

Integrasi unit ekonomi dengan spesialisasi berbeda memiliki dampak yang lebih besar. Nilai tambah intergrasi Surabaya- Jakarta dan Bandung- Tasikmalaya yang relatif serupa tidak lebih banyak dari Jakarta-Bandung karena justru perbedaan tersebut yang menimbulkan potensi perdagangan. Pada awal 2010, ribuan produk dari China diturunkan bea masuknya dari umumnya 5-10 % menjadi nol persen dengan beberapa perkecualian. Bagaimana dampaknya bagi Indonesia?

Pertama, kita harus amati peran China dalam neraca ekspor dan Impor Indonesia. Pada periode Januari-November 2009, Jepang masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$10.717,2 juta (12,37 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai US$9.412,6 juta (10,87 persen), dan Cina dengan nilai US$7.711,6 juta (8,90 persen). Berarti ekspor Indonesia ke China masih di bawah rata-rata negara ASEAN yang mencapai 9,7 %.

Sebaliknya, negara terbesar yang menjadi asal barang non-migas yang kita impor adalah China. Total bernilai US$12,01 miliar dengan pangsa 17,24 persen, diikuti Jepang US$8,78 miliar (12,59 persen) dan Singapura US$8,45 miliar (12,13 persen). Sementara impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,49 persen dan Uni Eropa sebesar 11,20 persen. Berarti pangsa impor Indonesia diatas rata-rata impor negara Asean dari China yang hanya 12.9 %.

Perlu ditekankan bahwa mengurangi impor dan menambah ekspor bukan satu-satunya cara meningkatkan kesejahteraan. Kalau memang martabak dan kaos bandung lebih murah dengan kualitas yang sama atau lebih, lebih baik mengimpor yang membuat penduduk Jakarta meningkatkan konsumsi dengan pengeluaran lebih sedikit.

Masalah timbul bila fokus dipindahkan ke jangka panjang dan produk antara (intermediete goods). Stop memproduksi dan sepenuhnya mengimpor radio, misalnya, bila mengakibatkan hancurnya industri elektronik yang dapat dikembangkan menjadi industri komputer dan teknologi tinggi. Ha-Jun Chang, ekonom Cambridge asal Korea Selatan, mengibaratkan proses pembangunan seperti menaiki tangga. Bukunya, Kicking Away The Ladder (2003), mengingatkan kita pentingnya membangun anak tangga di atas anak tangga yang lain. Bolong di suatu tingkat akan menghambat upaya naik kelas. Indonesia membangun deep industrial base yang kuat forward dan backward linkage-nya

Sayangnya, studi Asian Development Bank (ADB) di 2008 terhadap China- Asean FTA menemukan bahwa industri berat Indonesia akan menyusut sebesar 2,12 % sehingga total output kita justru menurun 0,17 %. Padahal sektor pertanian naik 2,78 % dan makanan melonjak 5 %, bahkan industri ringan masih meningkat 1,2 %. Terdapat bahaya anak tangga yang hilang sehingga Indonesia sulit menjadi negara industri penghasil produk teknologi tinggi.

Indonesia juga perlu mengambil peluang dari kelebihan komparatif yang tidak dimiliki China serta negara lain di Asean seperti keanekaragaman hayati dan sumberdaya laut. Para ahli biologi dan kimia perlu memfokuskan daya upayanya untuk mencari obat penyembuh serta kosmetik dari resep nenek moyang. Ditemukan dan dipatenkannya produk tersebut akan menjadi sumber devisa yang besar serta dapat memperkuat industri farmasi dalam negeri.

Luasnya daerah laut, bila di jaga dari kapal asing dan diolah dengan baik, juga bagai tambang emas. Satu tahap peningkatan yang dengan mudah dilakukan adalah standarisasi. Selama ini, kebanyakan hasil laut (ikan, udang, cumi, dll) dijual secara grosir tanpa dilakukan katagorisasi. Padahal dengan melakukan kategorisasi, harga jual akan meningkat secara signifikan. Kita belum lagi bicara soal pengalengan, promosi, dan distribusi dengan merek Indonesia.

Krisis di bahasa Mandarin terdiri dari "bahaya" dan "peluang." Satu tingkatan mengubah bahaya menjadi peluang adalah mengembangkan merek Indonesia dan memproduksinya di China yang dikenal mempunyai buruh yang murah. Pada satu sisi kita akan memperoleh nilai tambah yang besar dan dampak lingkungan akan tinggal di China.

Memanfaatkan tenaga lawan a la Taichi Master ini sangat kita butuhkan. Ingat bahwa perjanjian pasar bebas dengan India dan Australia-Selandia Baru sudah disetujui dan akan dijalankan tidak lama lagi. Mari kita gunakan pengalaman pasar bebas Bandung- Batavia sejak dua ratus tahun lalu untuk kemakmuran Indonesia dengan pasar bebas bersama China, India, dan Selandia Baru.


Penulis adalah dosen FE Universitas Indonesia dan Ekonom Senior Indef.