Thursday, October 18, 2012

Mengatasi Ekonomi Berbiaya Tinggi

 
MEDIA INDONESIA, 18 Oktober 2012
 
Masuknya Indonesia pada kategori investment grade mendorong investor global untuk masuk ke negeri ini. Ada banyak kemudahan investasi yang diluncurkan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan di atas kertas dan praktik bisa berbeda hasilnya.
Salah satu kendala utama dalam berinvestasi di daerah ialah ekonomi berbiaya tinggi yang sering juga disebut praktik pungli (pungutan liar). Pada masa Orde Baru korupsi berpusat pada lingkaran elite rezim pemerintah, tetapi di era desentralisasi praktik korupsi ini justru terdesentralisasi dan menyebar ke daerah.
Seperti yang pernah ditulis Media Indonesia (4/10), nyata-nyata bahwa praktik ekonomi biaya tinggi kian memojokkan dunia usaha dan berimbas ke kesejahteraan pekerja. Para buruh beberapa kali harus turun ke jalan untuk menuntut adanya aturan yang menjamin kehidupan layak dan kesejahteraan bagi mereka. Bahkan, akibat aksi tersebut, banyak industry yang tutup beroperasi selama sehari dengan kerugian yang bisa menembus triliunan rupiah.
Namun, pengusaha juga tidak punya cukup ruang bernapas untuk mewujudkan rupa-rupa tuntutan para pekerja tersebut. Masalahnya jelas, karena para pengusaha dibelit rantai birokrasi yang panjang (dipanjangpanjangkan) dan besarnya biaya siluman.
Birokrasi yang berbelit dan besarnya pungutan liar itu menjadikan pengusaha harus merogoh kocek lebih mahal untuk menjalankan bisnis. Akibatnya, perusahaan tidak dapat membayar pekerjanya dengan upah lebih layak. Keluhan pengusaha itu mendapatkan justiļ¬ kasi dari penelitian yang pernah dilakukan Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia yang menunjukkan besarnya biaya siluman mencapai 20%-30% dari total ongkos produksi.
Kalau biaya tinggi itu bisa dihilangkan, LP3E memprediksi bahwa upah buruh bisa naik dua kali lipat. Jika itu benarbenar terjadi, industri bisa lebih fokus meningkatkan produksi mereka dengan pekerja yang juga lebih berdaya saing. Tampak benar bahwa selain birokrasi kita menghabiskan APBN dalam jumlah besar, pemerintah juga membikin ekonomi biaya tinggi.
Euforia demokrasi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi kepala daerah tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menambah kekuasaan dan mempertebal kantong pri badi. Apalagi menjadi kepala daerah sekarang umumnya membutuhkan biaya kampanye yang amat besar untuk survei, pencitraan, dan pendekatan kepada pemilih.
Sumber utama dana kampanye tersebut biasanya antara dari tabungan dan penjualan aset kandidat yang perlu balik modal setelah terpilih atau dari pengusaha hitam yang ingin mendapatkan fasilitas dan proyek dari kepala daerah. Keduanya berujung pada inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi.
Kewenangan kepala daerah di era otonomi daerah saat ini cukup besar dan rawan penyalahgunaan. Investor, apalagi yang akan melakukan investasi dalam jumlah besar, tidak jarang yang izin dan proses usahanya dipersulit dan diminta memberikan upeti kepada kepala daerah.
Kondisi tersebut yang dipadu dengan menguatnya penegakan hukum khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebabkan sampai dengan Mei 2012, sedikitnya 173 kepala daerah yang dipilih secara langsung dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) tersangkut kasus korupsi. Jumlah itu berarti setara dengan 37% dari total kepala daerah yang dipilih langsung.
Persepsi Buruk
Korupsi di daerah adalah salah satu pe nyebab Indo nesia menempati rangking 100 dari 183 negara pada corruption perception index. Situasi itu tidak bisa terus-menerus dibiarkan. Investor potensial menjadi enggan untuk berinvestasi di daerah karena tidak adanya kepastian hukum. Jangan sampai setelah membayar biaya tambahan yang diminta oleh pemerintah daerah lalu dinyatakan menyuap sehingga sudah jatuh tertimpa tangga. Kasus seperti Siti Hartati Murdaya dan Bupati Buol harus diselidiki secara tuntas sehingga tidak terulang lagi.
Di sisi lain, minimnya infrastruktur juga sering menjadi kendala. Survei Doing Business 2012 yang dilakukan Bank Dunia menemukan bahwa dibutuhkan waktu 108 hari untuk mendapatkan sambungan listrik di Indone sia. Jauh lebih lama jika dibandingkan dengan di Malaysia yang hanya membutuhkan 51 hari. Padahal tanpa listrik, sulit bagi perusahaan untuk memulai operasi.
 
Kalaupun memaksa menggunakan genset, hanya akan menambah biaya perusa haan untuk pembelian dan transpor bahan bakar.
Sarana transportasi di daerah, khususnya jalan dan jembatan, kondisinya masih banyak yang memprihatinkan. Situasi itu jelas menghambat penjualan produk perusahaan. Kementerian Pekerjaan Umum merupakan urat nadi pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di Indonesia. Namun, kinerja kementerian tersebut masih belum optimal. Sekitar 11,5% atau senilai Rp6,529 triliun baru terserap dari total anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) 2011 sebesar Rp56,912 triliun.
Koordinasi antara perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan merupakan syarat mutlak untuk mengurangi ekonomi berbiaya tinggi. Sistem politik yang lebih hemat biaya kampanye, de-bottle-necking regulasi, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan penyerapan anggaran merupakan tantangan yang tidak bisa dielakkan lagi.
Bersiap Kecewa
Penegakan dan kepastian hukum yang efektif masih jauh panggang dari api. Perlu penantian bertahun-tahun dalam proses banding sampai ke Mahkamah Agung dan peninjauan kembali. Jangan terkejut kalau kemudian Indonesia hanya menempati rangking 156 dari 183 negara pada kategori kepastian hukum berdasarkan survei Doing Business.
Beberapa minggu yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada Indonesia Investment Day di Wall Street, New York, Amerika Serikat, yang dihadiri banyak lembaga investasi besar dunia. Kita tidak ingin para investor yang datang ke Indonesia dengan bersemangat berinvestasi hanya untuk kecewa menghadapi permasalahan ekonomi biaya tinggi dan tidak kembali lagi. Sudah saatnya Indonesia berubah menjadi negara low cost, high growth economy. ● 

Penulis adalah Dosen FEUI dan Pengurus Indec

Wednesday, July 11, 2012

Indonesia Jadi Bandar IMF?


PDF Print




-->
Seputar Indonesia, 11 Juli 2012 (original link)

Pemerintah Indonesia memberikan komitmen untuk berkontribusi dalam jumlah yang cukup besar. Walau dana tersebut tidak hilang, berbagai kalangan dalam negeri mengkritik secara keras dan bahkan banyak elemen menolak rencana tersebut dengan menyatakan bahwa Indonesia bukan negara kaya dan rakyat Indonesia lebih membutuhkan dana tersebut.
Apakah paragraf di atas membahas tambahan modal Indonesia ke IMF pada 2012? Salah! India pada awal tahun 1946 mengalami gagal panen dalam skala besar. Nehru adalah pemimpin Partai Kongres yang sedang mempersiapkan kemerdekaan negaranya dari Inggris yang direncanakan pada Agustus 1947.Kelaparan massal di India bisa dijadikan alasan oleh Inggris untuk menunda kemerdekaan India.

Pada 23 April 1946, Sjahrir selaku perdana menteri Indonesia berkata, “Perkiraan paling rendah tentang panen tahun ini ialah 5 juta ton, sedangkan perkiraan tertinggi 7 juta ton dan rakyat Indonesia mengonsumsi tidak lebih dari 4 juta ton.” Sjahrir juga berkata, “Sekalipun jika tidak ada surplus beras, saya pikir rakyat kami bersedia memberikan 500.000 ton beras ditukar dengan tekstil. Saya rasa lebih dari wajar RI berbuat apa yang mungkin guna meringankan situasi pangan di India.

”Mohammad Hatta selaku wakil presiden Indonesia menegaskan sikap pemerintah tersebut melalui pidato radio pada 22 Juni 1946 berjudul “Beras Kita ke India”. Nehru tersentuh dengan uluran tangan Indonesia pada saat genting dan menyelenggarakan Asians Relations Conference di New Delhi yang menguatkan hubungan India- Indonesia serta negara lain di Asia.

Ikatan yang dibangun berperan besar dalam penguatan dukungan internasional kepada Indonesia di Perjanjian Linggarjati hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949 dan tidak bisa dilepaskan pada terselenggaranya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung di mana Indonesia memperkuat kepemimpinannya di antara negara berkembang dua benua.

Reformasi IMF

International Monetary Fund (IMF) dibentuk bersamaan dengan Bank Dunia pada konferensi Bretton Wood bulan Juli 1944 yang diprakarsai negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang menguat posisinya di Perang Dunia II untuk merekonstruksi dan membangun kembali ekonomi dunia pascaperang. Nama awal Bank Dunia adalah International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).

Konferensi ini dalam banyak hal adalah perwujudan ide John Maynard Keynes tentang perlunya desain sistem keuangan internasional yang lebih kokoh dan lembaga internasional keuangan sebagai penjaga stabilitas sistem dan memperkuat kapasitas ekonomi.Dari 44 negara yang ikut mendirikan IMF dan Bank Dunia di dalamnya termasuk negara berkembang seperti Mesir, Iran, Irak Guatemala, Peru. Berbeda dengan Sidang UmumPBByang onecountry-one vote, hak suara di IMF disusun berdasarkan kondisi ekonomi.

Laman IMF menyatakan bahwa hak suara dihitung dengan keterbukaan ekonomi (30%), variabilitas ekonomi (15%), cadangan devisa internasional (5%),serta weightedaverageGDP berdasar nilai tukar nominal dan daya beli (50%). Namun perubahan kuota tidak otomatis dan membutuhkan persetujuan dari para anggota, khususnya Amerika dan Eropa Barat, yang tidak begitu bersemangat untuk mengurangi pengaruhnya di lembaga sepenting IMF.

Saat ini gabungan hak suara Amerika, Jepang, Jerman, Prancis, dan Jerman adalah 37,4%, sedangkan gabungan hak suara dari China, India,Rusia,Brasil,dan ASEAN yang dari berbagai faktor ekonomi tidak kalah jauh dari kelompok pertama hanya 14%. IMF juga banyak dikritik,di antaranya oleh Joseph Stiglitz yang meraih Nobel Ekonomi dan pernah menjadi chief economist Bank Dunia dengan strategi IMF yang menggunakan formula standar (one-sizefits- all) stabilisasi, privatisasi, dan liberalisasi. Structural adjustment yang diterapkan IMF secara intens pada dekade 1980-an dan 1990-an tidak memiliki track-record baik dalam menstabilkan dan menyejahterakan negara yang mengalami krisis ekonomi, termasuk terhadap Indonesia.

Diplomasi Tangan di Atas

Distribusi hak suara yang hanya memberi peran kecil bagi Indonesia menyebabkan kita hanya memiliki tiga pilihan mengenai IMF.Pilihan pertama keluar dari keanggotaan IMF. Cukup banyak suara keras,apalagi pada masa krisis moneter yang mendorong opsi ini.Walaupun pemerintah perlu bersikap tegas pada masalah representativenessdan kebijakan dari IMF, jika hal itu dilakukan saat ini, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Pilihan kedua adalah memperbaiki IMF dari dalam. Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) konsisten memperjuangkan reformasi dan restrukturisasi hak suara IMF untuk lebih sesuai dengan kenyataan kondisi ekonomi.Indonesia perlu lebih intens mengatur strategi dengan grup negara BRIC dan negara berkembang lainnya sehingga tuntutan lebih kuat gaungnya.

Penambahan pinjaman ke IMF bersama BRIC dan negara berkembang lainnya pada saat Eropa kelimpungan dan membutuhkan dana adalah langkah untuk menegaskan bahwa Indonesia sebagai anggota G-20 tidak hanya bicara(noactiontalkonly). Data Januari–Maret 2012 menunjukkan bahwa 11,9% ekspor Indonesia diserap oleh Eropa.Apabila ekonomi Eropa kolaps, perekonomian Amerika yang menyerap 9,6% ekspor Indonesia,Jepang (11,7%), dan China (12, 9%) juga akan goyang.

Apalagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan bahwa skema yang akan digunakan adalah pengelolaan dana sehingga cadangan devisa tidak dipindahkan dan tetap tercatat sebagai cadangan devisa Indonesia. Pilihan ketiga yang belum dieksplorasi adalah menggabungkan opsi kedua dengan membangun organisasi di luar IMF. China dan Rusia beserta beberapa negara eks Uni Soviet membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 1996 di mana China membagikan USD10 miliar pada masa krisis 2009.

BRIC sedang membentuk bank pembangunan sebagai alternatif Bank Dunia. Indonesia tahun 1946 bisa mengirimkan 7,1% produksi beras ke India untuk ditukar dengan tekstil dan obat.Maka apakah setelah 66 tahun kita tidak sanggup menempatkan maksimum 8,9% dari cadangan devisa—yang tidak hilang— untuk menyelamatkan pembeli produk ekspor kita? Ada hadis nabi yang menyatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, ternyata hal itu juga berlaku untuk interaksi di organisasi internasional.Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith toriq.

Penulis adalah Manajer Riset FEUI dan
Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) 

              

Monday, April 16, 2012

Saatnya Berpikir Energi Alternatif





Suara Karya, 16 April 2012 (original link)

Indonesia berada di ambang krisis energi. Betapa tidak, berdasarkan data pemerintah, cadangan minyak mentah Indonesia status per 1 Januari 2012 hanya sekitar 3,9 miliar barel. Bandingkan angka tersebut dengan negara seperti Arab Saudi yang memiliki cadangan minyak mentah sebanyak 256 miliar barel. Cadangan Indonesia sangatlah tidak pantas menjadi landasan untuk masih berpikir Indonesia kaya minyak.

Dengan tingkat produksi sekitar 900 ribu barel per hari, cadangan minyak mentah Indonesia akan habis hanya dalam waktu 12 tahun saja, dengan catatan tidak ada sumber minyak mentah baru yang ditemukan. Celakanya, penambahan cadangan-cadangan baru terus menyusut dari tahun ke tahun akibat minimnya kegiatan eksplorasi di lapangan-lapangan baru. Artinya, jika paradigma kita masih menganggap sumber energi hanya minyak, tidaklah salah kalau Indonesia berada di ambang krisis energi.
Namun, ancaman krisis energi tersebut sebenarnya bisa kita lupakan apabila bangsa Indonesia mulai memikirkan penggunaan energi alternatif non-minyak. Indonesia disebut-sebut punya potensi menjelma menjadi Timur Tengah-nya biofuel dunia. Indonesia mempunyai 40% total potensi panas bumi dunia mencapai 27.000 MW. Dengan hutan yang luas, dukungan geografis Indonesia sebagai negara tropis, Indonesia masih menyimpan potensi energi lainnya, seperti air, matahari, dan angin.
Energi alternatif non-minyak, tetapi masih berupa energi fosil, seperti batu bara dan gas bumi juga masih tersedia melampaui ketersediaan minyak. Indonesia masih punya batu bara untuk 80 tahun lagi, dan masih memiliki gas bumi sebanyak lebih dari 150 triliun kaki kubik, yang cukup untuk lebih dari 60 tahun ke depan. Dengan potensi yang luar biasa besar itu, Indonesia seharusnya berdiri sejajar, mengikuti langkah negara-negara yang menjadi pemimpin energi alternatif dunia, seperti AS, Jerman, Spanyol, China dan Brazil. Negara-negara tersebut merupakan motor penggunaan energi terbarukan yang tahun lalu masih sebesar 1,3 persen dari total pasokan energi dunia. Semakin tidak menentunya harga minyak mentah dunia serta ancaman pemanasan global, mendorong berbagai negara berlomba-lomba mengembangkan sumber energi alternatif, yang selain murah juga ramah lingkungan hingga pemanfaatannya pun diyakini semakin meningkat. Pemerintah sendiri sebenarnya bukannya tidak peduli dengan pengembangan energi alernatif berbasis energi terbarukan. Pertamina, sebagai perusahaan yang 100 persen milik negara, sudah mengembangkan potensi panas bumi di berbagai wilayah Tanah Air. Salah satunya melalui pusat pengembangan panas bumi di Kamojang, Garut. Saat ini Pertamina mampu menghasilkan energi panas bumi sebesar 1.194 MW dan ditargetkan angka tersebut berubah menjadi 1.889 MW pada tahun 2014 serta menjadikan Indonesia sebagai penghasil energi panas bumi terbesar di dunia.
Bukan tanpa alasan, pengembangan energi panas bumi menjadi penting. Masalanya, energi jenis ini terbukti jauh lebih murah darupada harga BBM. Sebagai bahan bakar utama pusat pembangkit listrik di seluruh Indonesia, biaya per kwh listrik dengan menggunakan listrik sekitar 30 sen dolar AS. Bandingkan dengan biaya per kwh listrik berbahan dasar panas bumi yang hanya berkisar antara 10-20 sen dolar AS. Sayangnya, berbagai persoalan, seperti kepastian regulasi, tumpang tindih lahan, dan hambatan budaya, telah menjadi faktor penghambat bagi upaya percepatan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber listrik.
Pemerintah juga telah menetapkan aturan jelas dan tegas mengenai pemanfaatan biofuel. Berdasarkan Permen ESDM No.32/2008, seluruh badan usaha pengguna energi, baik sektor ketenagalistrikan, retail BBM transportasi, dan industri diwajibkan mencampurkan biofuel ke dalam BBM yang digunakannya. Seharusnya, biodiesel untuk dicampurkan dengan solar, kadarnya mencapai 5 persen pada tahun ini, sedangkan bioethanol sebesar 1 - 2,5 persen.
Kendati di dalam Permen ESDM tersebut telah secara tegas dicantumkan kewajiban-kewajiban pemenuhannya, sejauh ini baru Pertamina yang telah mematuhi ketentuan tersebut. Bahkan, perusahaan ini telah mencampurkan 7,5 persen FAME pada solar sejak pertengahan Februari 2012. Pemerintah konon memberi waktu hingga Mei agar badan-badan usaha memenuhi ketentuan yang berlaku. Namun, itu jelas perlu pembuktian, termasuk nyali pemerintah untuk konsisten menerapkan aturan yang ada.
Energi alternatif gas bumi dan batu bara juga bisa dimanfaatkan, terutama untuk sektor ketenagalistrikan, industri, transportasi dan rumah tangga. Gas bumi memberikan efisiensi 4 kali lipat dibandingkan BBM. Sedangkan batu bara dapat menghemat hingga 8 kali lipat dibandingkan BBM. Apalagi, Indonesia masih tercatat sebagai eksportir dan pemilik cadangan batu bara terbesar di dunia.
Jika pemanfaatan energi alternatif yang lebih murah dari BBM tersebut dapat dilakukan, rasanya dana itu bisa disisihkan untuk infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih pesat lagi. Sekaligus, untuk menjaga kestabilan ekonomi di masa depan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi ideal Indonesia, yakni berada di level 7 persen. Untuk menggapainya maka perlu optimalisasi sumber daya energi dan peningkatan infrastruktur secara signifikan.
Oleh karena itu, perubahan paradigma kita akan subsidi BBM merupakan sebuah langkah yang sangat strategis. Selain akan memberi kesempatan bagi berkembangnya energi alternatif, khususnya energi terbarukan yang baru ekonomis jika harga minyak atau BBM tinggi, perubahan paradigma itu diharapkan mampu mendatangkan kesadaran untuk menghemat penggunaan subsidi BBM yang di tahun ini diprediksikan setidaknya mencapai Rp 200 triliun. Apabila dana sebesar itu bisa dialihkan ke perbaikan infrastruktur, maka diharapkan laju pertumbuhan ekonomi pun akan lebih cepat. ***
Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Tuesday, March 27, 2012

Negara Minim (Strategi) Energi






Harian Sindo, 27 Maret 2012 (original link)
Alkisah ada sebuah negara dengan kaya dengan minyak, gas, dan batu bara dengan produksi minyak 2,7 juta barel per hari. Tiga belas kilang minyak di negara tersebut sedang ditambah sehingga pada tahun 2020 mengolah 3,1 juta barel minyak per hari.

Walau jumlah penduduknya besar, negara tersebut masih melakukan ekspor secara signifikan. Perusahaan minyak nasional negara itu adalah perusahaan rankingke-34 terbesar dunia dari Global Fortune 500, mengalahkan BP dan Texaco. Perusahaan tersebut mengelola ladang minyak di 27 negara dengan profit tahun lalu naik 26,9% menjadi USD21,1 miliar sehingga menjadi perusahaan dengan keuntungan paling besar di benuanya.

Perusahaan minyak nasional tersebut tidak hanya mengelola energi fosil, tapi juga etanol dan energi terbarukan lainnya. Berbasis lahan tebu yang luas dan sejarah industri gula yang panjang, dibangunlah pengolahan gula ke etanol yang komprehensif sehingga menjadikan negara tersebut sebagai produsen terbesar etanol di dunia yang bahkan mengalahkan Amerika Serikat. Lebih dari 10 juta mobil di negara tersebut menggunakan konverter sehingga dapat menggunakan etanol yang lebih ramah lingkungan.

Ketahanan Energi

Apakah yang diceritakan di atas adalah Indonesia dan Pertamina di tahun 2025 setelah program percepatan pembangunan ekonomi berhasil dijalankan? Salah! Paragraf awal tulisan ini mendeskripsikan Brasil dan Petrobras pada 2011. Petrobras didirikan pada 1953, hanya lebih dahulu empat tahun dari Pertamina. Sementara Brasil mengalami surplus energi dan sebagai netexporter, Indonesia menjadi net-importerminyak dan keluar dari OPEC.

Defisit perdagangan minyak meningkat empat kali lipat dari USD4,02 miliar pada 2009 menjadi USD16,3 miliar di 2011. Lalu, bagaimana cara menguatkan ketahanan dan daya saing sektor energi Indonesia? Pertama, penguatan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai perusahaan dan minyak dan gas nasional. Prioritas pengelolaan cadangan migas perlu diberikan pada perusahaan nasional kecuali memerlukan teknologi atau keterampilan tinggi yang tidak dimiliki.

Petrobras memegang hak monopoli eksplorasi dan produksi serta aktivitas terkait, termasuk penjualan, distribusi ritel dan produk derivatifnya di Brasil selama 1954 sampai 1997.Kompetisi dibuka untuk perusahaan asing ketika Petrobras sudah kuat dan justru akan memacu efisiensinya. Tidak berarti perlu dilakukan nasionalisme dari perusahaan migasasing yang sudah beroperasi di Indonesia.

Namun, kasus seperti Blok Cepu ketika kapasitas Pertamina untuk mengelola sangat mencukupi, namun diberikan pada perusahaan asing, hendaknya tidak terjadi lagi. UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang melemahkan Pertamina dan PGN perlu dikaji ulang. Tentunya semua kebijakan tersebut perlu disertai dengan peningkatan efisiensi di Pertamina dan PGN serta pengawasan ketat terhadap korupsi.

Kajian terhadap efektivitas BP Migas selaku regulator perlu dilakukan secara intensif mengingat perannya yang unik dan sangat strategis, serta tidak banyak diterapkan di negara-negara penghasil minyak. Penatapan rate cost-recovery yang berdasarkan kebutuhan riil dan data empiris, juga merupakan celah untuk menghemat uang negara Kedua adalah meningkatkan peran gas dalam konsumsi energi nasional.

Peraturan Presiden 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan bahwa pada 2025 hanya 20% dari total konsumsi energi nasional 2025 berasal dari minyak, 30% dari gas,dan 33% dari batu bara.Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan bahwa minyak bumi masih merupakan sumber energi terbesar dengan 46,9% disusul batu bara (26,4)% dan gas (21,3%) Mewujudkan Perpres 5/2006 membutuhkan peningkatan signifikan produksi gas.

Masalahnya,data BP Migas menunjukkan bahwa dari hampir 10.000 BBTUD yang diproduksi Indonesia, hampir setengahnya sudah terikat kontrak untuk di ekspor dengan tujuan utama ke Jepang (67%), Korea Selatan (16%), Taiwan (14%),dan China (2,7%). Pola perdagangan gas cukup menarik dengan ekspor meningkat dua kali lipat dari USD9,8 miliar pada 2009 menjadi USD18 miliar pada 2011, tapi impor gas meningkat empat kali lipat dari USD438 juta menjadi USD1,62 miliar pada periode yang sama.

Indikasinya adalah industri terpaksa mengimpor karena tidak dapat pasokan dari gas Indonesia yang sudah dikontrak negara lain. PLN juga sudah berulang kali berteriak untuk menambah pasokan gasnya. Ibarat ikan yang mati kehausan dalam air. Cadangan gas di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih melimpah,namun tiadanya pipa gas menuju Jawa menjadikan kapal—dengan waktu tempuh lama dan kalah efisien— sebagai medium utama transportasi Ketiga adalah mendorong energi terbarukan.

Pada tahun 2010,energi air hanya 3,3% dan geotermal hanya 1,5% dari energi mixnasional.Masih jauh dari target di Perpres 5/2006 untuk 5% geotermal dan 5% terbarukan. Etanol memiliki potensi tinggi mengingat produksi gula dan ubi kayu Indonesia yang tinggi. Sementara energi surya masih belum terdengar di Indonesia, walaupun kita berada di garis khatulistiwa dengan sinar matahari sepanjang tahun.

Kebijakan Arnold Schwarzenegger sebagai Gubernur California yang sangat mendorong kemajuan energi terbarukan, patut ditiru di Indonesia. Mantan aktor laga itu mendorong mobil listrik, menyubsidi sebagian biaya pemasangan solar cell di rumah penduduknya dan penggunaan smart grid,sehingga pemilik rumah dapat menjadi net produsen listrik dan menjual kelebihannya berperan besar dalam peningkatan penggunaan energi surya dan.

Kenaikan BBM tidak akan memiliki dampak ekonomi sebesar sekarang bila sejak dekade lalu dilakukan penguatan PGN dan Pertamina, memprioritaskan gas untuk domestik, pembangunan infrastruktur migas,dan dukungan energi terbarukan. Lirik lagu Koes Ploes menyatakan bahwa tanah kita tanah surga.Tanah Indonesia tidak kekurangan energi, hanya orang yang hidup di atasnya miskin strategi serta implementasi. 

BERLY MARTAWARDAYA
Dosen Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia;
Peneliti di Indef          

Thursday, January 12, 2012

Ekonomi Indonesia 2012 dan Samba Consensus




Harian Seputar Indonesia (original link)
Kamis, 12 January 2012

Sebuah negara berkembang dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya alam yang kaya (minyak, besi, dan sebagainya) dan tanah yang subur masih memiliki proporsi penduduk miskin yang tinggi dan birokrasi yang berbelit serta kesenjangan antardaerah.


Namun, berkembangnya sektor petrokimia, komputer, industri berat, dan pesawat dipadu dengan sistem jaminan sosial yang kuat telah mengurangi jumlah penduduk miskin secara drastis. Tingkat kesenjangan terendah dalam 30 tahun terakhir dan 20 juta rakyatnya keluar dari garis kemiskinan dalam dekade ini. Negara tersebut telah mencapai investment grade (BBB-) dan baru saja menembus pertumbuhan ekonomi 7,5% sehingga total GDP telah melebihi Inggris dan menjadi ranking enam ekonomi terbesar di dunia.

Tingkat utang bersih (net external debt) negatif alias bukannya meminjam justru menjadi negara yang memberikan pinjaman. Investor asing dengan tekun meletakkan pabrik di negara tersebut untuk menjangkau pasar regional dan negara tetangga. Terdapat 36 perusahaan dari negara tersebut di Fortune 2000 dengan 11 di Fortune 500. Perusahaan minyak nasional yang menghasilkan lebih dari 2 juta barel per hari dan mengelola ladang minyak di puluhan negara meraih ranking 4 Fortune 500. Negara tersebut dihormati di arena diplomasi internasional dan menjadi anggota berbagai lembaga,termasuk G-20.

Prestasi olahraga yang menjulang menjadi modal untuk dipercaya sebagai tuan rumah Piala Dunia dan Olimpiade pada dekade mendatang. Indonesia pada 2030? Salah! Negara yang digambarkan adalah Brasil pada 2011. Indonesia dan Brasil memiliki banyak kesamaan dari segi potensi dan permasalahan. Kita perlu belajar banyak dari Brasil dalam memanfaatkan potensi dan mengatasi masalah.

Pada dekade 70-an Indonesia disebut satu grup dengan Newly Industrialized Country (NIC) dan macan ekonomi Asia seperti Taiwan,Korea Selatan, dan Singapura. Saat ini kita hampir disusul oleh Vietnam. Langkah pertama adalah industrialisasi. Sekitar 55 % dari perusahaan Brasil di Fortune 500 adalah industri berbasis pertambangan.Brasil tidak berpuas hati dengan menjual sebanyak- banyaknya hak menambang kekayaan alamnya yang pada perusahaan asing dan duduk manis menikmati dividen.

Sebaliknya, Brasil menggabungkan kedekatan dengan lokasi tambang, efisiensi produksi, dan tenaga kerja yang kompetitif untuk membangun perusahaan kelas dunia seperti Vale di pertambangan (ranking ke-20 di Fortune 500),CSN pada sektor semen dan besi (ranking ke-342),danGeraupadaindustri besi baja (ranking ke-398). Brasil juga berani membangun industri high tech sehingga etanol, komputer, petrokimia, dan pesawat menjadi produk ekspor dan penghasil devisa yang kompetitif. Investasi jangka panjang,fisik dan sumber daya manusia, tidaklah kecil, tapi sudah menunjukkan hasilnya.

Kedua, dukungan sektor perbankan. Bank di Brasil berperan sebagai motor perkembangan lokal. Untuk mengurangi spekulasi maka tingkat kecukupan kapital (capital adequacy ratio) bank di Brasil 37% lebih tinggi dari standar minimal internasional. Ketiga, membangun sistem jaminan sosial. Presiden Lula da Silva yang baru saja meletakkan jabatan setelah memegang mandat selama dua periode. Selamamasa kekuasaannya Lula yang berasal dari partai buruhdanorang tuanya pekerja pabrik secara konsisten melakukan kebijakan pengentasan kemiskinan.

Sistem jaminan sosial di Brasil adalah gabungan antara ikan dan pancing. Untuk ikannya terdapat Bolsa Familia (Dana Keluarga) di mana dilakukan transfer dana sekitar Rp1 juta per bulan langsung ke 12 juta penduduk miskin Brasil. Program ini terbesar di dunia dalam kategorinya. Penerima Bolsa Familia harus memastikan bahwa anak merekamasuksekolahdanmendapat perawatan kesehatan teratur sehingga anak keluarga miskin tetap sehat dan mendapat pendidikan sehingga generasi mendatang lebih kompetitif.

Dengan dana 0.4% dari PDB, program ini menjangkau 25% penduduk.Karena efektivitasnya dalam mengentaskan kemiskinan, Bolsa Familia ditiru banyak negara di dunia. Pancingnya adalah program pinjaman mikro bernama CrediAmigo (Pinjaman Teman) yang dilakukan melalui Banco do Nordeste, bank pembangunan milik pemerintah di daerah timur laut di mana terjadi konsentrasi tertinggi kemiskinan di Brasil.

Selama pemerintahan Lula sebagai presiden sejak 2003 hingga 2011, penerima kredit mikro naik dari 200.000 hingga melebihi 800,000 klien dan total portofolio USD463 juta dan kredit macet hanya 1,1%. Atas keberhasilannya, program ini dianugerahi Award for Excellence in Microfinance oleh Inter- American Development Bank (IDB) pada 2011. Namun,tak ada gading yang tak retak.Perekonomian Brasil juga memiliki permasalahan yang belum terjawab secara memuaskan.

Sebagian besar hutan Amazon berada di dalam batas negaranya.Ekspansi ekonomi membutuhkan lahan dan sedikit demi sedikit terjadi konversi lahan hutan ke pertanian dan industri.Pembangunan jalan menembus hutan Amazon memicu protes masyarakat. Dilema menyeimbangkan antara lingkungan dan pertumbuhan ekonomi juga dihadapi Indonesia dan perlu dikaji secara seksama. Volatilitas harga komoditas (kedelai, kopi, besi, dan minyak) juga dialami Brasil sebagai produsen besar.

Karena tidak semua dijual dalam bentuk bijih (besi diolah lempengan, mobil, dan pesawat), dampaknya dapat diminimalisasi. Kuatnya sektor perbankan (tiga perusahaan di Fortune 101) menopang pertumbuhan Brasil di sektor jasa. Washington Consensus yang berbasis pada privatisasi dan liberalisasi serta sektor swasta memiliki banyak dampak negatif bila diterapkan di Indonesia dengan tenaga kerja mayoritas masih berpendidikan rendah dan low-skill.

Beijing Consensus yang berporos pada sistem otoritarian dan peran negara yang sangat dominan untuk habis-habisan mendorong ekspor juga tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Pada 2012 mari perbaiki ekonomi Indonesia gaya samba ala Brasil! 

BERLY MARTAWARDAYA
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)