No 07: 1-8 April 2009
Berly Martawardaya
Nothing to fear but fear it self
Demikian ujar Franklin Delano Roosevelt saat dilantik sebagai Presiden Amerika. Tugasnya tidak ringan, Great Depression telah menelan lebih dari seperlima dari GDP dan melemparkan satu dari tiga pekerja di negara Paman Sam menjadi pengangguran. Fasisme di Eropa dan Komunisme di Rusia memperkuat posisinya sebagai alternatif dari demokrasi.
Setelah menaklukkan rasa takut, FDR menjinakkan depresi ekonomi dengan langkah-langkah kreatif yang bertentangan dengan doktrin kebijakan saat itu. Nazi dan sekutunya pun perlahan dapat digulung di Perang Dunia II sehingga perdamainan dan kemakmuran kembali mewarnai dunia.
Malaysia Boleh!
Negara jiran yang tadinya mengandalkan kelapa sawit dan tambang timah ini ingin menjadi negara industri maju pada 2020. Mahathir Muhammad sebagai Perdana Mentri mendorong rakyatnya untuk bergerak cepat. Melayu harus menjadi sinonim dengan kerja keras dan intelektualitas katanya. Percaya diri bangsa dibangun dengan keringat dan pencapaian nyata.
Pendidikan dijadikan prioritas dan putra bangsa terbaik dikirim untuk belajar ke berbagai negara maju. Dibangunlah infrastruktur tangguh dan administrasi publik yang efisien, perusahaan high-tech seperti Microsoft, Oracle, Intel, datang mengisi Multimedia Super Corridor (MSC) dan ikut mengembangkan entrepreneur lokal.
Yes, we can!
Krisis ekonomi dunia datang lagi. Namun sebagian besar rakyat Amerika justru optimis dengan masa depan. Semua karena seorang Obama dengan ibu dari Kansas dan bapak dari Kenya yang berhasil menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi Presiden Amerika Serikat.
Tapi Obama puas sekedar menjadi simbol perubahan, dia ingin menjadi agent of change. Sebelumnya ditoleransi bahwa rakyat miskin tidak bisa mendapat layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Tidak lagi. Sebelum masa jabatannya berakhir, Amerika akan menjadi negara yang bertanggung jawab terhadap warganya. Kaya atau miskin.
Bisakah Indonesia?
Kita sudah berkali-kali tertinggal kereta. Pada tahun 80-an, Indonesia adalah bagian dari Newly industrialized Country (NIC) bersama Taiwan, Malaysia, Thailand, Filipina dan Cina. Sekarang semuanya telah memiliki pendapatan sekian kali lipat.
Dampak krismon paling parah di Indonesia dengan pertumbuhan minus 13 % pada tahun 1998 dan paling lama pulih dibandingkan Malaysia, Korsel dan Thailand. Perubahan sistem politik juga memakan waktu dan biaya yang cukup besar. Baru sekarang Bill Liddle,
Indonesianis ternama dari Amerika, menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi kita sudah selesai.
Goldman Sachs pada tahun 2005 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari Next-11 (N-11) yang merupakan pendorong ekonomi dunia masa depan karena besarnya potensi penduduk dan kapasitas industri. Tidak ketinggalan, PricewaterhouseCoopers pada tahun 2006 memproyeksikan Indonesia bersama Cina, India, Brazil, Rusia, Meksiko and Turki untuk melampaui G-7 (Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, Itali dan Kanada) pada tahun 2050.
Tapi bukankah Indonesia hanya menempati ranking 58 pada Global Competitiveness Report dan 107 pada Human Development Index? Sulitnya menjalankan usaha di Indonesia tercermin pada nomor urut 129 di survey Bank Dunia. Indonesia bahkan termasuk negara dengan tingkat new business terendah di dunia.
Tapi potensi yang besar dan kondisi yang belum maksimal menunjukkan bahwa the only way is up. Indonesia diproyeksikan tumbuh 3-5 % di 2009. Dalam satu grup bersama beberapa negara seperti Cina dan India yang tidak banyak terpengaruh krisis global karena pasar domestik yang besar.
Layunya gerak perusahaan multinasonal yang bermasalah di negaranya membuka peluang bagi pengusaha lokal untuk merebut kembali pasar lokal. Turunnya rupiah juga membuat ekspor Indonesia lebih kompetitif di dunia. Bebasnya Indonesia dari kekang IMF memungkinkan kita untuk mengalokasikan dana demi perbaiki infrastruktur dan layanan sosial.
Dani Rodrik dari Harvard menggunakan kerangka growth diagnostic untuk menganalisa pertumbuhan ekonomi. Penyingkiran berbagai bottle neck dapat menampilkan potensi yang terpendam dan memberikan boost besar bagi perekonomian
Saatnya bagi Indonesia untuk serius membereskan birokrasi, pendidikan dan kesehatan demi menempati posisi yang sepantasnya.
Mungkin juga kita bisa.
Dosen FEUI dan Kandidat Doktor Ekonomi di University of Siena, Italia