Monday, October 19, 2009

Batik dan Ekonomi Kreatif


Gatra, no 47 tahun XV.
Edisi 1-7 Oktober 2009. Halaman 74.


Berly Martawardaya

Seorang wanita berkebangsaan Amerika, berputra satu, menikah dengan pria Indonesia dan tinggal di Jakarta. Sejak kecil ia mengkoleksi berbagai obyek kerajinan tangan, termasuk kain tenun. Serta merta corak dan tekstur batik menarik perhatiannya dan helai demi helai kain menjadi bagian dari koleksinya yang kian berkembang.

Ketertarikannya beranjak menuju kehidupan penghasil batik yang berujung pada disertasi PhD bidang anthropologi di University of Hawai, tentang pemberdayaan para pengrajin wanita di Indonesia.

Dialah Ann Durham, ibunda Presien Amerika Serikat Barack Hussein Obama. Koleksi batik Ann selama hidup di Indonesia telah dipamerkan di berbagai galeri ternama di Chicago, Los Angeles, Houston, San Francisco, New York dan Washington, DC pada pertengahan 2008.
Ann Durham tidak sendirian mengagumi batik. UNESCO, badan PBB di bidang budaya, pada sidangnya 28 September- 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab menetapkan batik sebagai bentuk budaya bukan benda warisan manusia ( representative list of intangible cultural heritage of humanity ).

Saat ini batik juga bisa ditemukan di Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka dan Iran. Teknik pembuatan proto-batik sudah digunakan di Mesir pada abad 4 SM juga oleh Dinasti Tang di Cina, India dan Jepang. Bahkan teknik membatik juga di kenal oleh suku Yoruba di Nigeria dan suku Wolof in Senegal.Tapi kenapa UNESCO, setelah melalui proses verifikasi yang ketat menyatakan Indonesia sebagai pewaris tradisi batik?

Batik demikian besar peranannya dalam budaya klasik Jawa. Status sosial dan tingkat kebangsawanan bisa terlihat dari pola batik yang dipakai. Beberapa tarian yang dianggap sakral seperti Bedaya Ketawang dan Serimpi perlu disandingkan dengan pola batik tertentu. Upacara Larungan ke laut selatan harus menyertakan batik.Batik juga menjadi simbol identitas dan tradisi lokal. Kerajaan Cirebon, Banyumas, Indramayu dan Madura memiliki pola tersendiri yang berbeda dengan Yogya dan Surakarta.

Richard Florida (2002) pada bukunya The Rise of Creative Class menyatakan bahwa kemakmuran masa datang ada di tangan kelas kreatif, yaitu pekerja yang menciptakan bentuk baru yang bermakna (meaningful new forms). Modal dapat dipinjam, mesin dapat di sewa dan buruh dapat dipekerjakan, tapi ide dan kreativitas tidak ada gantinya.

Batik adalah bukti bahwa Indonesia memiliki benih kreatif sejak masa dahulu. Kita mampu melakukan selective borrowing dari berbagai teknik dan pola batik berbagai bangsa dan meramunya menjadi sesuatu yang unik Indonesia. Bahkan ketika batik sudah tidak lagi populer di Mesir, Cina dan Jepang.

Robert Reich, profesor ekonomi di UC-Berkeley dan Menteri Tenaga Kerja di kabinet Clinton, dalam studinya menemukan bahwa pekerja ekonomi kreatif di Amerika Serikat mendapatkan setengah dari totalnya pendapatan, walaupun jumlahnya hanya seperlima dari total tenaga kerja.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Platform ekonomi kreatif yang dicanangkan Departemen Perdagangan menemukan kontribusi sektor ini Rp 104,4 triliun rupiah di 2006 dengan rata-rata 4,75% dari PDB di periode 2002-2006. Penyerapan tenaga kerja yang mencapai 4.5 juta orang dan pertumbuhan 17.6 % di tahun 2006 jauh melebihi rata-rata nasional.

Potensi ekonomi kreatif dapat terus dikembangkan dengan dukungan pemerintah melalui kemudahan regulasi, suntikan dana dan ekspansi teknologi informasi serta pemasaran untuk mengembangkan industri rekaman, film, video games, fashion dan produk ekonomi kreatif lainnya. Sudah tidak saatnya lagi ketika mengunjungi Bali atau Asmat yang kita temui adalah kerajinan yang persis sama di semua toko, setiap produsen perlu memiliki desain tersendiri yang dipatenkan dan disalurkan ke manca negara.

Kita juga perlu belajar dari Apple dan IKEA menjadikan desain sebagai daya jual utama produknya. Juga dari berbagai merk top di Prancis dan Itali yang mampu memberikan nilai tambah dan devisa luar biasa untuk produk sehari-hari. Bahkan Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris, menyatakan bahwa ' creativity and design value that will make the difference between economic success and economic failure' .

Dalam konteks batik, pola klasik seperti parang kusumo, srikaton, kawung, sidomukti dan lainnya akan terus menjadi warisan budaya. Namun masa depan terletak pada kemampuan menghasilkan pola baru. Momen pengakuan UNICEF harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan awareness konsumen dunia terhadap Indonesia.

Departemen yang berkaitan dengan batik di Institut Seni Indonesia di Jogjakarta dan Surakarta perlu ditingkatkan menjadi pusat pendidikan batik tingkat internasional yang menjalin kerjasama dan pertukaran pelajar dengan sekolah mode top dunia seperti l'Ecole Supérieure des Arts et techniques de la Mode di Paris, Istituto Europeo di Design (IED) di Milan dan Parsons School of Design di New York.

Kita tunggu lomba desain batik internasional, dengan juri dari berbagai bangsa, untuk mempersiapkan pakaian yang akan dihadiahkan kepada Barack Obama dan keluarganya ketika mereka berkunjung ke Indonesia. Mendiang ibunya akan bangga.

Penulis adalan kandidat doktor ekonomi di Universita di Siena – Italia, dosen FEUI dan ekonom senior INDEF

No comments: