Tuesday, August 2, 2016

Teknologi disruptif dan peluangnya - Harian Kontan


Kontan, 2 Agustus 2016 (original link

Menurut Google, 43% penduduk Indonesia telah memiliki akses internet melalui telepon genggam jenis smartphone. Fenomena ini dikenal sebagai disruptive technology atau teknologi disruptif, yakni teknologi membantu kegiatan ekonomi yang awalnya panjang dan rumit menjadi transaksi bisnis yang lebih cepat dan hemat.
Perluasan akses internet adalah salah satu push factor yang vital dalam tren ekonomi baru ini. Pertumbuhan mobile internet merupakan telah membuka konektivitas untuk 58 juta usaha kecil dan menengah (UKM) Indonesia, yang memainkan peran vital dalam perekonomian kita karena menyerap lebih dari setengah tenaga kerja di Indonesia.
Generasi muda khususnya telah mengambil kesempatan ini. Mereka kerap menemukan jalan dan cara secara online untuk mengeluarkan produk, jasa, dan layanan yang disruptive. Cambridge Dictionary mendefinisikan kata “disruption” sebagai hal yang mencegah atau mengganggu, terutama mengganggu sistem atau proses dari yang hanya sekadar rutin menjadi sesuatu yang berbeda.
Menurut Joseph L. Bower dan Clayton M. Christensen dalam artikel ilmiah mereka di Harvard Business Review, sebuah inovasi disruptif dalam bisnis dapat dipahami sebagai sebuah inovasi yang menciptakan sebuah tren baru dan jejaring industri baru, yang akhirnya mengganggu pasar dan nilai yang telah ada kemudian menggantikan yang lama dan menjadi pemimpin pasar lalu membuat aliansi di dalamnya (Christensen, 1995).
Teknologi disruptif pada layanan transportasi publik adalah topik panas beberapa waktu lalu. Para pendatang baru dengan model bisnis yang berbeda berhasil menawarkan harga yang jauh lebih rendah dan tidak banyak kompromi dalam kualitas dan keselamatan. Tentunya tidak mudah untuk menyambut kompetisi baru dan melihat mereka sebagai cermin yang mengarah pada perbaikan diri. Teori ekonomi menyatakan bahwa semakin sedikit pemain dan terkonsentrasi pasar yang lebih tinggi, sektor ini menjadi lebih menguntungkan bagi produsen dan lebih banyak menciptakan permintaan konsumen.
Bagaimana dengan potensi teknologi disruptif di sektor lain? Di samping transportasi dan pengiriman makanan, dua sektor yang paling matang untuk disruptif adalah pembiayaan dan layanan. Banyak generasi muda cerdas yang memiliki ide brilian. Tapi untuk mengimplementasikan ide menjadi sebuah pendirian perusahaan dibutuhkan modal.
Pada masa lalu, pilihan mereka adalah memiliki modal tabungan mereka sendiri atau tabungan keluarga, karena bank dan lembaga keuangan memerlukan paling tidak laporan keuangan selama dua tahun untuk menilai kinerja dan potensi usaha. Sedangkan dalam dua tahun pertama tersebut, keuangan adalah tantangan dan kebutuhan yang terbesar untuk pengusaha baru. Jika mereka tidak bisa mendapatkan investor atau modal usaha yang bersedia menunggu selama 2 tahun-3 tahun, biasanya ide hanya akan mati tanpa adanya realisasi.
Inovasi berdaya guna
Salah satu jenis disruptif di sektor keuangan adalah crowd-funding, dimana penemu menjelaskan produk dan berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk pengembangan termasuk di dalamnya skema bagi hasil. Di Indonesia, kita punya, misalnya KitaBisa.com, yang mendapatkan pengakuan internasional, salah satunya dari Majalah Forbes Asia.
Crowd-funding berhasil lainnya adalah Fintech, yang memperpendek proses transaksi keuangan. FinTech memendekkan dan mempermudah proses pengajuan usaha di bank. Sekarang investor juga bisa mendapatkan rate of return yang berbeda dari preferensi risiko mereka.
Apa artinya fenomena ini untuk perusahaan usaha kecil dan menengah? Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada tahun 2012 terdapat 89% dari penduduk Indonesia bekerja sebagai angkatan kerja dalam bentuk UKM (termasuk bidang pertanian) yang hanya menyumbang 9,9% dari total PDB. Wignaraja dan Jinjarak (2015) menemukan bahwa UKM Indonesia hanya mengekspor 15,8% dari total ekspor. Angka tersebut jauh lebih rendah dari Thailand (29,5%). Sementara UKM-UKM di Vietnam, Filipina dan Malaysia telah menyumbang 20% dari total ekspor negaranya. Hal Ini tentunya perlu diubah.
Karena besarnya ukuran Indonesia, UKM kerap memberikan batasan diri mereka sendiri. Penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional juga tidak mudah dikuasai oleh banyak UKM Indonesia. Tidak banyak UKM memiliki akses ke pembeli di luar negeri dan sumber daya untuk melalui rintangan berkelok, yakni prosedur ekspor.
Laporan Deloitte di tahun 2015 mengungkapkan 73% UKM Indonesia memiliki kapasitas digital yang sangat terbatas. Artinya sekitar dua pertiga dari semua perusahaan di Indonesia belum memaksimalkan teknologi digital. Deloitte memperkirakan digitalisasi Indonesia akan memungkinkan UKM untuk berkontribusi pada pertumbuhan hingga 80% lebih tinggi dari sebelumnya dan membuat mereka 17 kali lebih mungkin untuk makin inovatif, Dan pada akhirnya, menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia sebanyak 2% setiap tahun.
UKM Indonesia dapat mengakses pasar dan teknologi di jaringan platform, atau acara networking global yang mempertemukan para pelaku usaha, atau forum business to business (B-2-B) seperti acara World Islamic Economic Forum (WIEF) di Jakarta yang memungkinkan untuk pebisnis berkolaborasi dan mewujudkan sinergi. Acara yang digagas pemerintah dan mitra internasionalnya ini memiliki peran penting dalam menumbuhkan motivasi pebisnis dan menciptakan lingkungan bisnis yang positif.
Saat UKM kurang “koneksi” dan kurang konektivitas, pemerintah memfasilitasi pertemuan yang memungkinkan terjadinya jejaring bisnis (business network) yang menginspirasi perlunya memanfaatkan jaringan digital (digital network) sebagai disrupsi kegiatan usaha UKM. Bisnis dan pemerintah harus bekerja sama mengarahkan agar inovasi teknologi disruptif berdaya guna serta mengelola perubahan dengan lebih mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan sisi negatif.     

No comments: