Thursday, August 11, 2016

Nakhoda Fiskal Kapal Tanker


Koran Sindo, 11 Agustus 2016 (original link)



Joko Widodo (Jokowi) saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta mengajukan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI tahun 2013 sebesar Rp49,98 triliun. 

Nilai tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp8,68 triliun dari APBD Perubahan 2012 yaitu Rp41,3 triliun, atau naik 21%. Adapun PAD (pendapatan asli daerah) di tahun 2013 ditargetkan mencapai Rp41,53 triliun alias bertambah Rp7,88 triliun atau naik 23,4% dari tahun 2012. Pada Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2013, Jokowi selaku gubernur mengatakan realisasi rencana pendapatan daerah yang ditargetkan sebesar Rp40,79 triliun hingga akhir 2013, terealisasikan sebesar Rp39,50 triliun atau 96,83% dari target yang telah ditetapkan, sehingga nilai PAD yang berhasil di kumpulkan di tahun 2013 mencapai kenaikan sebesar 28,9% dibanding tahun sebelumnya. 

Pengalaman Jokowi menetapkan target tinggi tentu untuk memacu anak buah sehingga meningkatkan effort. Hasil uji coba ini akhirnya diterapkan oleh Jokowi setelah terpilih menjadi presiden. Target pendapatan pajak dalam negeri di APBNP 2015 ditetapkan menjadi Rp1.437 triliun alias naik Rp247,55 triliun atau 20,8% dibanding tahun sebelumnya. Kalkulasi kasar menetapkan target kenaikan pajak natural sering didasarkan pada pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. 

Tentunya ada beberapa sektor yang memiliki elastisitas pajak tinggi alias pertambahan pajak sektor tersebut lebih tinggi dari pertumbuhannya. Setelah kedua faktor tersebut dijumlahkan, baru dihitung sebesar apa effort yang bisa dilak u k a n aparat pajak untuk meningkatkan penerimaan. Penjumlahan asumsi inflasi dan pertumbuhan pada APBNP 2015 adalah 10,7%, yang berarti terdapat selisih 10,1% dengan target pertumbuhan penerimaan pajak yang harus berasal dari intensifikasi dan ekstensifikasi aparat pajak. 

Ternyata pertumbuhan ekonomi tahun 2015 adalah 4,79% dan inflasi sebesar 3,35%, sehingga penjumlahannya hanya 8,14% alias 76,1% dari target. Dengan kondisi perekonomian tahun 2015 yang mengalami berbagai tantangan, dengan effort yang kencang dan kadang terlalu semangat pun tetap hanya mencapai 83,9% dari target di APBNP 2015, dengan nilai sebesar Rp1205,5 triliun yang merupakan kenaikan 9,3 % dari realisasi penerimaan pajak dalam negeri pada 2014. 

Kembali ke rumus awal, berarti selisih penjumlahan pertumbuhan dan inflasi dengan realisasi pertumbuhan penerimaan pajak adalah 1,16%. Maka dengan menggunakan pengalaman tahun 2015, target pertumbuhan pajak dalam negeri pada 2016 yang sewajarnya adalah pada kisaran 10-12% dari realisasi 2015. Namun, APBNP 2016 yang disahkan pada akhir Juni menargetkan penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp1.539,2 triliun. 

Nilai tersebut merupakan kenaikan 27,7% yang jauh lebih tinggi dari kisaran wajar di atas. Alhasil pemotongan anggaran menjadi solusi. Salah satu tantangan utama pada pemotongan anggaran adalah keengganan para institusi. Sebagian berpendirian kalau bisa yang dipotong adalah kementrian/ lembaga lain tapi bukan kami. Hal ini menimbulkan resistensi politik yang perlu di kelola dan di respons. 

Sri Mulyani yang dikenal tegas dipanggil untuk menempati posisi lamanya sebagai menteri keuangan, dengan tinggi untuk menjadi si raja tega dan memotong belanja di APBN sesuai dengan ketersediaan dana. Baru saja diumumkan bahwa Rp133,8 triliun akan dipangkas. Namun, pengalaman dan kompetensi Sri Mulyani menjadi modalnya untuk dipercaya para menteri dan kepala lembaga serta publik bahwa pemotongan yang dilakukannya ibarat menggunakan pisau bedah dan bukan kapak. 

Maka yang akan dipotong adalah lemak dan inefisiensi berupa biaya perjalanan dinas, biaya konsinyering, dan pembangunan gedung- gedung pemerintah dll, sehingga institusi negara bisa bergerak lebih sigap, bukan memotong otot yang melemahkan. Tim yang dipimpin Sri Mulyani perlu bergerak cepat sehingga detail finalnya sudah bisa ditetapkan dalam sebulan karena sekarang sudah di tengah tahun dan waktu terus berjalan. 

Kalangan pengusaha juga lebih senang dihadapkan dengan APBN yang nilainya 6,4% lebih kecil, tetapi lebih kredibel. Dibandingkan harus khawatir apakah proyek pemerintah yang dijalankan akan dibayar lunas sehingga harus mengeluarkan biaya mitigasi dan risk-management. Pemda DKI bisa diandaikan sebagai speedboat bermesin bagus dan sigap sehingga setelah di tune up bisa di gas kencang dan melejit dalam setahun. 

Namun, pemerintah pusat adalah tanker yang jauh lebih besar, sehingga untuk menaikkan kecepatan dan mengubah arah perlu ancang-ancang yang lebih panjang dan waktu yang lebih lama. Semoga pasca-reshuffle kabinet kinerja fiskal pemerintah dan dampak pembangunannya semakin kuat dan berkesinambungan. 

Berly Martawardaya 
Dosen FEB-UI, Ekonom Indef dan Pengurus Kadin

No comments: