Thursday, November 10, 2011

Ancaman Kerawanan Pangan

Kamis, 10 November 2011
Harian Seputar Indonesia (original link)

International Panel on Climate Change (IPCC) yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 2007 kerap mengangkat dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan.

Meningkatnya fluktuasi hujan, badai, dan topan membuat petani harus bersiap menghadapi perubahan yang tidak disangka-sangka. Banjir besar di Thailand adalah salah satu perwujudannya: hujan turun deras sejak Juli sampai awal November, 506 orang telah meninggal dan 2.3 juta orang harus mengungsi meninggalkan rumahnya. Daerah bencana di Thailand meliputi 58 provinsi dengan 930 pabrik dan 300.000 hektare lahan pertanian tergenang air. Estimasi kerugian sejauh ini mencapai USD5,1 miliar.

Akibatnya Pemerintah Thailand membatalkan penjualan 300.000 ton beras ke Indonesia yang berpotensi meningkatkan kerawanan pangan. Menurut studi Food Agricultural Organization (FAO) pada 2004, beras adalah makanan pokok lebih dari setengah penduduk dunia.Lebih dari 90% beras dunia diproduksi dan dikonsumsi oleh enam negara, yaitu China, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam, dan Jepang. Data FAO tahun 2005 menyatakan bahwa tiga produsen beras terbesar dunia adalah China (31%), India (20%), dan Indonesia (9%).

Namun hanya sekitar 5% dari total produksi yang diperdagangkan antarnegara, sebagian besar untuk konsumsi domestik.Thailand adalah eksportir padi utama dengan 26% dari total produksi, diikuti Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Indonesia adalah importir beras terbesar di dunia (14%) dengan diikuti Bangladesh (4%) dan Brasil (3%). Pada 2010 Indonesia mengimpor beras sebesar 688.000 ton dengan nilai sebesar USD361 juta. Adapun pada periode Januari–Agustus 2011 Indonesia telah mengimpor 1,62 juta ton beras dengan nilai USD861 juta.

Kenaikan impor beras yang hampir tiga kali lipat itu tidak dapat menekan harga beras yang sejak September 2011 naik 14,4% dari tahun sebelumnya (year-on-year). Jauh lebih tinggi dari kenaikan inflasi periode yang sama sebesar 4,61%. Pada 2009, Indonesia mengonsumsi 8,2% dari total beras dunia,nomor tiga setelah China (28,7%) dan India (23,6%).Namun dari konsumsi per kapita Indonesia hanya nomor 9 dengan 125 kg per kapita.Top 3 penyantap beras adalah Brunei (245 kg),Vietnam (165 kg),dan Laos (163 kg). Adapun China hanya nomor 18 dengan 77 kg per orang per tahun.

Ancaman

Apabila terjadi kelangkaan dan kenaikan harga beras,yang terdahulu terkena dampak adalah 30.02 juta penduduk (BPS, Maret 2011) di bawah garis kemiskinan. Khususnya penduduk miskin perkotaan yang berjumlah 11,05 juta serta penduduk kota yang hanya sedikit berada di atas garis kemiskinan sebagai konsumen netoberas.

Penduduk berpendapatan rendah menggunakan proporsi besar dari pendapatannya untuk makanan pokok. Peran komoditas makanan terhadap garis kemiskinan sangatlah tinggi, yaitu 73,52% dengan beras sebagai kontributor terbesar. Riset kesehatan dasar (riskesdas) yang dilakukan Kementrian Kesehatan pada 2010 menemukan bahwa 18% dari penduduk Indonesia kekurangan berat badan dengan 2,3% termasuk kategori kurang gizi akut.Kondisi menyedihkan ini terutama terjadi di wilayah Indonesia timur dan daerah pascabencana.

Melihat pentingnya beras dan kondisi di Thailand,pemerintah pada APBN 2012 mengalokasikan anggaran subsidi pangan Rp15,6 triliun serta cadangan beras Rp2 triliun dan untuk keperluan mendesak sebesar Rp5,5 triliun, totalnya menjadi Rp23,1 triliun. Pada kesan pertama, jumlah tersebut sepertinya mencukupi. Namun apabila terjadi rawan pangan dan keseluruhan dana dipakai untuk mencukupi kebutuhan penduduk di bawah garis kemiskinan, satu orang miskin hanya mendapat Rp769.000 untuk satu tahun atau Rp2.108 per hari.

Kita tidak tahu setinggi apa harga beras tahun depan setelah Thailand, eksportir utama, mengalami bencana. Untuk biaya transportasi dan distribusi ke segenap pelosok Indonesia, khususnya Indonesia timur, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Juga diperlukan alokasi dana untuk biaya pegawai dan penyimpanan. Belum lagi bila bicara korupsi dan penyelewengan

Antisipasi

Indonesia sebagai konsumen beras dengan produksi tidak mencukupi tergantung pada pasar beras internasional yang fluktuatif. Walaupun dana ketahanan pangan diperlukan pada jangka pendek,harus diambil kebijakan jangka menengah dan panjang untuk menurunkan risiko pangan (food risk) Indonesia. Pertama, peningkatan produksi beras dengan perbaikan bibit, pupuk, dan irigasi. Subsidi pupuk diberikan langsung ke petani demi mengurangi penyelewengan.

Penggalakan riset dan penggunaan bibit unggul yang diiringi dengan penggunaan teknologi informasi dan perbaikan fasilitas irigasi akan berdampak nyata. Kedua, perbaikan kesejahteraan petani dan penataan pasar beras. Saat ini petani beras lantaran mendapatkan harga rendah untuk produknya tidak termotivasi menanam. Keuntungan terbesar didapat oleh pedagang dan perantara yang memerlukan modal besar.

Asosiasi dan kumpulan petani yang diberdayakan dan diperkuat posisinya dapat menjual langsung ke kota besar dan konsumen. Ketiga,diversifikasi makanan pokok.Kondisi lahan di Indonesia sangat beragam dan tidak banyak yang cocok untuk menanam padi. Kecenderungan Orde Baru pada beras mengakibatkan penduduk di Irian dan Nusa Tenggara harus membayar beras lebih mahal karena biaya transportasi yang tinggi.Kebijakan dan selera lokal perlu kembali dihargai dengan membangkitkan makanan pokok lokal seperti jagung,sagu,dan ubi.

Keempat, pembatasan konversi lahan produktif.Jawa dan Bali adalah pulau yang lahannya paling cocok untuk menanam padi, tetapi kedua pulau ini juga sangat padat penduduk dan aktif ekonominya. Apabila terus dibiarkan konversi lahan produktif menjadi perumahan dan usaha tanpa terencana, Indonesia bak menembak kaki sendiri. Banjir di Thailand dan menurunnya suplai beras internasional harus jadi momentum untuk memperbaiki kondisi di Indonesia.Semoga.●

BERLY MARTAWARDAYA
Ekonom Indef dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

No comments: