Monday, July 25, 2016

Mendorong UMKM Go-Global

Bisnis Indonesia, 14 Juli 2016 (original link)
JAKARTA - UMKM merupakan penyerap mayoritas tenaga kerja di Indonesia, namun tidak banyak yang berkembang menjadi perusahaan besar, serta masih sedikit juga yang melakukan ekspor. 

Studi Wignaraja dan Jinjarak (2015) dari Asian Development Bank Institute menemukan bahwa walaupun UMKM di Indonesia menyerap 97,2% dari total tenaga kerja, tetapi kontribusi terhadap ekspor masih jauh dari proporsional dan 15,8%.

Kondisi tersebut cukup jauh beda dibandingkan dengan Thailand di mana UMKM menyerap 77,9%, tapi produk yang dihasilkannya merupakan 29,5% dari total ekspor. UMKM di Vietnam, Filipina, dan Malaysia memiliki proporsi sekitar 20% dari ekspor. Kondisi diatas menunjukkan bahwa UMKM di negara-negara Asean memiliki daya saing yang lebih tinggi, bukan hanya terhadap pasar di dalam negeri tapi juga terhadap pasar luar negeri.

Apa saja langkah-langkah yang perlu diambil Indonesia untuk memperkuat UMKM, sehingga produknya makin bersaing di dalam negeri dan mampu bersaing ke luar negeri?

Sehingga UMKM bukan hanya aktor ekonomi kecil yang selalu perlu dibantu, namun juga turut memperkuat ekonomi nasional. Membangun dan membesarkan UMKM tidak mudah. Tentunya, setiap usaha akan berbeda dan perlu penekanan keunikan tersendiri atas dasar lokasi geografis dan bidang usaha. Namun, secara umum terdapat empat masalah besar yang dihadapi setiap UMKM, yaitu keterampilan, pengelolaan usaha, standar kualitas, pendanaan, serta akses pasar.

Tantangan pertama, dengan jumlah pekerja yang terbatas, maka fungsi perusahaan yang beragam, mulai dari produksi, keuangan, pemasaran, serta masih banyak lagi, harus dikerjakan oleh sedikit orang. Pada lain sisi, persaingan semakin ketat dengan perusahaan berbagai skala, baik domestik maupun global. 

Keterampilan tinggi dibutuhkan untuk menjalankan bisnis, padahal tenaga kerja terdidik dan terampil biasanya lebih memilih bekerja di perusahaan yang sudah mapan.

Kedua, menjaga standar kualitas. 

Produk UMKM beragam tipenya, tetapi juga bervariasi kualitasnya. Pelanggan ingin kepastian, bahwa tiap kali membeli produk dari penjual yang sama akan mendapat barang yang kualitasnya stabil. Kebanyakan UMKM masih menggunakan teknologi dan metode produksi yang tradisional, serta quality control yang tidak ketat, karena pemilik masih turun tangan langsung mengawasi. Ketika produknya laku dan ekspansi usaha dilakukan, maka semakin sulit untuk menjaga kualitas. 

Ketiga, mendapatkan akses pendanaan. 

Studi Wignaraja dan Jinjarak (2015) juga menemukan bahwa rata-rata perusahaan UMKM di Indonesia membutuhkan dana sebesar US$29.000 (sekitar Rp385 juta) untuk mengembangkan skala usahanya. Sebagian besar UMKM mendapatkan modal untuk memulai usahanya dari tabungan sendiri atau pinjaman keluarga. Kalaupun meminjam dari pihak non-keluarga, maka umumnya berasal dari institusi non-bank. Hanya setelah UMKM berjalan beberapa tahun, baru akses dana ke perbankan terbuka, itupun biasanya aset pribadi dari pemilik UMKM harus diagunkan untuk mendapat pinjaman. Perlu diapresiasi kebijakan pemerintah yang telah menurunkan bunga KUR sehingga biaya yang dikeluarkan UMKM berkurang secara signifikan.

Tantangan keempat adalah pasar. 

Umumnya UMKM yang berjalan lebih dari setahun sudah memiliki pelanggan rutin yang cukup puas dengan produk yang dihasilkan. Namun, tidak mudah bagi UMKM untuk melakukan ekspansi dan penetrasi pasar di luar pelanggan rutin, yang sering kali juga merupakan tetangga. Hal ini sering terkait dengan lemahnya jaringan yang dimiliki, di luar kabupaten/kota tempat berdomisili.

Saat ini, peran teknologi dapat membantu UMKM, sehingga tidak perlu memiliki cabang dalam bentuk fisik di berbagai daerah yang mahal biaya operasinya. Berkembangnya toko onlinememudahkan konsumen untuk mengetahui dan membeli produk dari UMKM di seantero Indonesia. Banyaknya jasa transportasi serta pos kilat juga memungkinkan UMKM untuk mengirimkan produk berbentuk fisik (terutama sandang dan pangan), pada pembeli dengan biaya yang terjangkau. 

Anak muda juga makin berani untuk membuka usaha berbasis teknologi (start up) di berbagai sektor. Bahkan salah satunya, kitabisa.com diakui majalah Forbessebagai salah satu kisah sukses wirausawan berusia di bawah 30 tahun di Asia.

KOLABORASI GLOBAL

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memberdayakan UMKM, mulai dari deregulasi kebijakan perdagangan, penyediaan akses pembiayaan (seperti Kredit Usaha Rakyat), hingga memfasilitasi platform pemasaran (seperti fasilitas pameran dalam dan luar negeri). Untuk sektor ekonomi kreatif, bahkan sudah ada badan tersendiri yang fokus mewadahi dan mendukung. Pengembangan e-commerce, modal ventura (VC), dan teknologi finansial (FinTech) juga terus dilaksanakan.

Banyak UMKM yang ingin menjual produknya ke luar negeri. Tapi bagi UMKM individual, tidak mudah untuk menembus jejaring global. Di sini pemerintah dapat berperan memfasilitasi UMKM untuk memperluas jejaring bisnis regional dan global, untuk membangun kemitraan dan mengambil manfaat. Memang, ini membutuhkan investasi. Namun, kita tidak harus membangun dari nol. Lebih efektif memanfaatkan jaringan global yang sudah ada. 

Kita sudah familiar dengan World Economic Forum (WEF), yang merupakan ajang jejaring bisnis papan atas dunia yang memiliki acara rutin tiap tahun. Ada berbagai jaringan UMKM dunia, salah satunya bernama World Islamic Economic Forum (WIEF), yang menghubungkan UMKM di berbagai penjuru dunia.

Dengan berpartisipasi dalam forum semacam ini, UMKM Indonesia dapat hadir dan tidak sekadar menjual barang atau jasa, melainkan mencari kemitraan kolaboratif jangka panjang antara bisnis di seluruh dunia. Dengan kata lain, forum yang dibesut oleh berbagai negara dari dunia Islam ini dapat memberikan akselarasi baru dalam pertumbuhan UMKM untuk menembus pasar global.

Sudah waktunya UMKM Indonesia untuk merubah paradigma. UMKM bukan usaha kecil menengah yang selamanya stagnan dan beroperasi secara seadanya. Tetapi merupakan unit usaha, yang selain menyerap tenaga kerja, juga siap tumbuh pesat dan ekspansi keluar tapal batas, sehingga menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yes, we can!


No comments: