Tuesday, December 9, 2014

Jokowinomics ala Pengusaha Mebel



Kompas edisi siang, 9 Desember 2014

Pada masa orde lama, politik menjadi panglima dan ekonomi menjadi serdadu. Ketika orde baru berkuasa, ekonomi pun naik pangkat. Dekade 90-an menyaksikan perdebatan intens dan perebutan pengaruh antara dua kelompok dengan strategi ekonomi yang berbeda  bagi Indonesia.

Satu kelompok ajukan strategi ekonomi berbasiskan keunggulan komparatif sumber daya alam dan tenaga kerja yang bisa ditelusuri pada Richard Ricardo. Kelompok lain berpendapat Indonesia perlu melakukan lompatan (leapfrog) ke industri teknologi tinggi untuk tingkatkan nilai tambah dan  keunggulan kompetitif ala Michael Porter. Kedua pendekatan ini lebih dikenal sebagai Widjojonomics dan Habibienomics. Kedua pendekatan sering dkatagorikan sebagai strategi pembagunan berbasis Negara (state-led development strategy) yang dapat diterapkan ketika peran pemerintah masih besar di perekonomian. Namun pada triwulan II tahun 2014, porsi pengeluaran pemerintah hanya 8 %, dari total PDB.  Bagaimana strategi ekonomi yang akan di ambil Presiden Jokowi di era menurunnya peran ekonomi pemerintah  dan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Visi dan misi kampanye Jokowi-JK. mendefinisikan strategi ekonomi secara elusif sebagai upaya membangun kekuatan ekonomi kolektif yang masif dan berjejaring.” Fachry Ali mendefinisikan Jokowinomics sebagai ekspansi fiskal secara masif (Kompas, 14/10). Budiman Sudjatmiko, politisi PDIP, fokuskan Jokowinomics sebagai keberpihakan pada daerah pinggir dan desa (Kompas, 21/10).  Namun Jokowi bukanlah seorang akademisi menara gading yang menurunkan kebijakan secara deduktif dari prinsip dasar, premis mayor dan minor.  Strategi ekonomi dan pendekatan pembangunan yang diterapkannya Solo dan Jakarta bersifat eklektik dan induktif berbasis pengalaman hidup serta kondisi lapangan.

Bahan Baku dan Sambungan

Jokowi menggondol titel sarjana kehutanan UGM, lalu bekerja tiga tahun di BUMN Kehutanan di Aceh dan perusahaan pamannya sebelum membuka perusahaan sendiri. Selama 17 tahun Jokowi menjadi pengusaha produk kayu selama sebelum terpilih sebagai walikota Solo di tahun 2005. Tahapan produksi perusahaan produk kayu yang Jokowi akrabi puluhan tahun terefleksikan padaa kebijakan ekonomi dan gaya kepemimpinannya. Tahap pertama yang sangat penting adalah pemilihan bahan dasar yang berkualitas. Lemari, kursi ataupun mebel lainnya tidak akan kokoh dan menjalankan fungsinya bila gunakan kayu yang keropos.

Reformasi birokrasi di Indonesia telah berjalan satu dekade, namun masih jauh dari tuntas. Beberapa akademisi senior yang pernah menjadi menteri pada diskusi informal mengeluhkan betapa sulitnya mencari dirjen dan direktur  yang sigap sebagai ujung tombak implementasikan kebijakan. Sebelum UU ASN, pejabat harus berasal dari internal PNS dan berbasis senioritas sehingga maka pilihan terbatas. Merekrut konsultan lepas atau membentuk komite independen menjadi jalan memutar yang kerap diambil.

Lelang jabatan (fit and proper test) yang dilakukan Jokowi di Solo dan Jakarta menerobos kebuntuan tersebut sehingga PNS berkualitas bisa menempati posisi yang sesuai. Jokowi juga tidak ragu menggeser pejabat di tengah jalan apabila bermasalah atau minim prestasi. Apalagi sekarang sudah ada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memungkinkan posisi eselon 1 dan 2 ditempati non-PNS. Setelah menteri diumumkan, maka bersiaplah menyambut lelang jabatan dirjen dan direktur di berbagai kementrian untuk mengisi pucuk birokrasi dengan pejabat yang bersih, kompeten dan sigap melayani.

 Langkah berikutnya adalah merekatkan berbagai potongan kayu yang sudah dibentuk menjadi mebel yang dikehendaki. Dalam pemerintahan nasional, perekat adalah program prioritas yang lintah sektoral. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi menegaskan bahwa prioritasnya adalah pembangunan manusia maritim dan pertanian. Pembangunan manusia dijalankan dengan tingkatkan alokasi anggaran untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan akses pendidikan.  Sebagai negara kepulauan terbesar Indonesia, potensi ekonomi laut masih minim tergali. Perhitungan penulis menunjukkan bahwa rasio PDB  sektor perikanan per kilometer persegi luas laut Indonesia hanya sepersepuluh rasio serupa di Thailand dan Filipina. Apabila selama pemerintahan Jokowi rasio Indonesia bisa dinaikkan 5 kali lipat saja maka target pertumbuhan 7 % bisa dicapai.

Sektor pertanian penting bukan hanya untuk mencapai ketahanan pangan tapi juga karena menyerap sekitar 40 % tenaga kerja. Namun sektor ini hanya tumbuh rata-rata 3,6 % per tahun selama dekade terakhir. Jauh di bawah pertumbuhan nasional yang sebesar 6,4 %. Akibatnya kemakmuran di pedesaan kian tertinggal dari perkotaan dan kesenjangan terus meningkat.  Tak heran, 63 % dari penduduk miskin berada di desa.  Perbaikan pertanian menjadi penopang penting bagi perekonomian Indonesia.

Basis Budaya dan Quality Control

Tahapan berikut adalah tingkatkan nilai mebel dengan aksesori menarik dan finishing yang rapi.  Bila Habibienomics utamakan teknologi untuk tingkatkan nilai tambah dan Widjojonomics andalkan buruh murah, Jokowonomics gunakan faktor budaya. Kuliner dan produk lokal diberi tempat dan tidak digusur untuk digantikan shopping mall modern  Kedekatannya dengan para seniman dan pekerja ekonomi kreatif mendorong perekonomian local berbagai festival budaya yang diselenggarakan di Solo dan Jakarta Sebagai kepala daerah, Jokowi juga mewajibkan staf pemda mengenakan baju daerah pada hari tertentu. John Naisbitt (2001) menyebut unsur lokal dan budaya sebagai “high touch” yang bernilai lebih tinggi dari produksi massal dan serba serupa.

Tak heran Menteri Pariwisata dicari dari kalangan khususnya pemasar (marketer) handal yang memang sangat dibutuhkan untuk promosikan potensi Indonesia. Jumlah turis asing yang mengunjungi Indonesia per tahun belum menembus 9 juta orang sementara angka serupa di Malaysia sudah melebihi 25 juta padahal kekayaan budaya dan alam Indonesia jauh lebih besar. 

Tapi tanpa kontrol kualitas (quality control)  yang kuat, semua tahap sebelumnya akan kehilangan arti. Sebagai kepala daerah, Jokowi membangun sistem pengawasan yang kuat dan memberi  sanksi tegas untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Para menteri  perlu sadar bahwa mereka berada di kursi panas dan harus menunjukkan kinerjanya bila tidak mau digeser.

Dapatkah Jokowinomics tingkatkan kesejahteraan rakyat dan daya saing bangsa selama lima tahun mendatang? Semoga bagaikan memahat di kayu jati yang walau tidak mudah awalnya, namun awet dan bertahan lama.

Penulis adalah pengajar mata kuliah “Kebijakan Ekonomi Indonesia “di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI)



No comments: