Peribahasa menyatakan
bahwa sebuat gambar setara seribu kata. Masyarakat kini melihat gambar-gambar
seram dampak kesehatan merokok pada kemasan rokok sebagai pelaksanaan PP No.
109/2012 mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif bagi kesehatan
berupa produk tembakau. Gambar tersebut diharapkan dapat menurunkan minat
merokok masyarakat dan mencegah generasi muda untuk mulai merokok.
Komunitas kesehatan
telah lama memperjuangkan perlunya pictorial
health warning atau gambar peringatan kesehatan (GPK). Dengan tingkat
pendidikan penduduk Indonesia yang mayoritas masih SMP kebawah dan tingkat
membaca yang rendah, gambar lebih efektif sebagai medium peringatan.
Namun ada zat adiktif
lain dengan bahaya yang tidak kalah besarnya yakni minuman beralkohol. Efek
negatif minuman beralkohol adalah melemahnya konsentrasi pada jangka pendek dan
menyerang liver serta daya tahan tubuh pada jangka panjang. Peminum yang sedang
teller dan mengendarai kendaraan seringkali berujung pada kecelakaan dan
kematian. Konsumen rutin alkohol juga lebih mudah “naik kelas” ke
penyalahgunaan obat dan narkotika.
Setiap tahunnya ribuan
orang meninggal akibat penyakit yang disebabkan mengkonsumsi minuman
beralkohol. Ribuan orang lain melakukan tindak kriminal, terkena dampak
kriminal karena konsumsi alkohol, dan statistik menyatakan 3 kecelakaan
bermotor terjadi setiap hari di Indonesia akibat pengendara mabuk. Masyarakat
kita telah sakit karena minuman beralkohol dan banyak juga mereka yang tidak
mengkonsumsi alkohol menjadi korban tidak bersalah karena berada dalam jarak
dekat dengan si pengkonsumsi alkohol.
Saat ini minuman
beralkohol di Indonesia dibagi dalam tiga golongan. Minuman beralkohol golongan
A yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai dengan
5%, golongan B yang mengandung C2H5OH dengan kadar 5%-20%, dan golongan C
yang mengandung C2H5OH dengan kadar 20%-55%. Selain itu penggolongan ini juga
membedakan harga produk alkohol, dimana alkohol yang termasuk golongan A
harganya paling murah dan golongan C memiliki kisaran harga paling tinggi.
Sayangnya, perbedaan
harga yang cukup signifikan belum mampu menjadi penghalang bagi masyarakat
untuk mengonsumsi alkohol golongan C. Banyak yang cenderung tidak
mempermasalahkan membeli minuman beralkohol dengan harga tinggi apalagi bagi
masyarakat dengan pendapatan ekonomi menengah ke atas di Indonesia.
Bagi sekelompok
masyarakat, alkohol sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Tujuan mereka untuk
membeli alkohol golongan C bukanlah sekadar untuk kadar alkohol tingginya,
namun untuk membangun citra diri. Dilain pihak, individu ingin merasakan mabuk
akibat dari alkohol, sering kali membeli beragam jenis alkohol golongan A yang
terjangkau harganya.
Beberapa negara telah
mulai mewacanakan regulasi yang mengharuskan setiap produk minuman alkohol
memasang GPK. Thailand sebagai contoh saat ini sedang memperjuangkan hal
tersebut, walaupun dihadang keras oleh produsen dan importir minuman alkohol.
Dilihat dari keengganan produsen dan importer minuman alkohol untuk menerima
regulasi yang ketat pada produknya, menunjukkan bahwasanya regulasi ini
memanglah memiliki potensi besar untuk mengurangi minat belanja konsumen
minuman beralkohol.
Pemerintah Indonesia
perlu mewajibkan para pengimpor, produsen dan distributor untuk memasang gambar
yang ilustrasikan dampak minuman alkohol bagi kesehatan. Pemerintah adalah
benteng dalam melindungi masyarakat dari upaya agresif industri alkohol dalam
menjaring konsumen di tanah air, khususnya generasi muda.
Kementerian
Perdagangan menyatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan draf peraturan
untuk memperingatkan masyarakat tentang pengaruh kesehatan minuman beralkohol.
Dua alternatif adalah dalam bentuk plain packaging (kemasan polos) atau pencantuman gambar peringatan
kesehatan pada kemasan minuman beralkohol.
Langkah pemerintah
untuk menerapkan plain packaging atau
GPK ini merupakan bentuk dari pengetatan peraturan terdahulu yakni
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20/MDAGPER/4/2014 tentang
pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan
minuman beralkohol.
Saat ini instrumen
regulasi tertinggi miras adalah Perpres No.74/2013 yang lebih menitikberakan
pada pengawasan mata rantai distribusi alkohol. Namun demikian, segala macam
peraturan tidak akan berguna tanpa adanya political
will dan political courage untuk
menekan pedagang dan pemasok miras dalam penegakan hukum. Komitmen pemerintah
dalam melindungi masyarakat baiknya tidak terbatas pada segmen industry
tertentu saja.
Perbuatan, baik
positif ataupun negatif, yang rutin dilakukan akan menjadi kebiasaan. Apabila
pemerintah tidak mampu mengatasi masalah konsumsi minuman beralkohol di
Indonesia, kita diperhadapkan dengan bahaya tumbuhnya generasi pemabuk yang
cenderung pada kriminalitas. Jangan sampai bonus demografi yang mencapai
puncaknya pada 2025-2035 justru berubah menjadi bencana demografi.
Presiden dan wakil
rakyat yang baru terpilih memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa
kebijakan publik berpihak pada masa depan bangsa demi terwujudnya masyarakat
Indonesia yang sehat, produktif, dan unggul. Bukan pada segelintir produsen
alkohol dengan berbagai aksi lobby-nya
ke pejabat publik dan wakil rakyat.
Bila
diterapkan, gambar peringatan di kemasan
alkohol dapat menyelamatkan ribuan nyawa. Jangan ditunda-tunda
Penulis adalah Dosen di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP)- FEUI