Tuesday, October 11, 2011

Negara Tidak Boleh Kalah Menghadapi Krisis

Harian Kontan tanggal 11 Oktober 2011
Halaman 23 (tidak tersedia online)

Berly Martawardaya

Dosen FEUI dan ekonom senior INDEF

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan negara tidak boleh kalah ketika otoritasnya di tantang oleh kelompok domestik. Namun bagaimana dengan tantangan terhadap otoritas negara dari pihak di luar negeri?

Pertanyaan ini penting sekaii untuk ditimbang secara seksama. Sehubungan dengan dalamnya integrasi ekonomi antar negara. Kini semakin besar pula kemungkinan permasalahan di suatu negara menular (contagion effect) dan hinggap ke negara lain.

Sebesar apa fleksibilitas sebuah negara dalam mengambil tindakan? Jika terdapat bukti kuat bahwa mengikuti konvensi global justru memperparah masalah, apakah tetap akan di lakukan?

Krisis moneter tahun 97 tidak hinggap di Cina dan India yang membatasi perdagangan mata uangnya. Dampak negatif krisis yang sama tidak banyak mempengaruhi Malaysia yang menetapkan batasi capital outflow di awal krisis. Dua kebijakan tersebut bertentangan dengan konvensi global namun efektif dalam menyelamatkan ekonomi.

Sebaliknya, Indonesia menerapkan kebijakan uang ketat sehingga suku bunga naik pesat dan menutup 16 bank sesuai tuntutan IMF dalam Letter of Intent. Hasilnya krisis yang berkepanjangan.

Negara yang secara aktif dan mandiri susun kebijakan menghadapi globalisasi dan kondisi eksternal cenderung lebih tahan banting dibanding negara yang terpaksa (atau setengah terpaksa) melaksanakan langkah tertentu.

Hal ini didukung oleh studi Dani Rodrik dari Harvard University pada buku berjudul Globalization Paradox; Democracy and the Future of World Economy (2011) yang menyatakan bahwa negara yang sangat terintegrasi dengan ekonomi global dan sangat patuh mengikuti konvensi kebijakan global justru mengalami pertumbuhan lebih rendah.

Dalam studinya, wilayah Karibia dan Amerika Latin, yang dengan tekun melakukan integrasi global, menerima arus modal asing serta mengurangi peran negara, hanya tumbuh rata-rata 1 %. Jauh lebih rendah dibandingkan Asia Timur & Pasifik yang tumbuh rata-rata 6.4 % dan Asia Selatan yang tumbuh rata-rata 3.3 %.

Uni Eropa (UE) yang sedang dilanda krisis adalah contoh kelompok negara yang mendahulukan hiperglobalisasi dan prose’s demokrasi namun mengorbankan sebagian kedaulatan nasional.

Jika suatu negara ingin menjadi anggota UE harus menerapkan ribuan perundangan UE yang belum tentu menjadi prioritas dan sesuai dengan kondisi negara tersebut. Setelah menjadi anggota UE maka bila mengambil kebijakan tidak sesuai dengan beberapa prinsip dan mekanisme mendasar UE maka dapat dikenakan sanksi/denda.

Tanggung Jawab Negara

Andrew Berg dan Jonathan D. Ostry (2011), yang saat ini menjabat sebagai pimpinan Divisi Riset IMF, memperkuat bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kesenjangan ekonomi yang rendah dan system demokratis dengan pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Penurunan 10 % kesenjangan berkorelasi dengan penambahan periode pertumbuhan sebesar 50 %.

Pertumbuhan yang berkesinambungan untuk periode yang lama tidak dapat bergantung pada kekayaan alam. Banyak negara di Afrika yang memiliki kandungan minyak, emas dan berlian yang tinggi namun mayoritas penduduknya miskin. Memulai pertumbuhan ekonomi jauh lebih mudah dibandingkan mempertahankannya. Menghilangkan beberapa hambatan besar di perdagangan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan. Namun umumnya hanya berdampak beberapa tahun saja terhahadap perekonomian.

Berg dan Ostry menyimpulkan bahwa negara tidak harus memilih antara pertumbuhan dan kesetaraan ekonomi. Negara yang lebih merata akan lebih tinggi kualitas SDM-nya, lebih kuat solidaritas sosialnya dan tidak rentan terhadap krisis finansial serta politik.

Pengurangan kesenjangan tidak dapat diserahkan pada pasar. Menurut Joseph Stiglitz (2011) dari Columbia University yang juga pemenang hadiah Nobel Ekonomi, pemerintah berperan penting dalam perkuat infrastruktur, meningkatkan akses terhadap pendidikan serta sediakan jaminan sosial dan kesehatan. Pemerintah adalah aktor dominan dalam membatasi ekses negatif kapitalisme, global ataupun domestik.

Tanggung jawab ini khususnya amat nyata di Indonesia yang konstitusinya memberi amanat pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara Indonesia tidak boleh kalah.


No comments: