Wednesday, April 14, 2010

BI dan Inflasi


Tabloid Kontan. Edisi 12-18 April 2010
Halaman 39 (tidak tersedia online)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior Indef

Salah satu pilihan besar dalam kebijakan ekonomi Indonesia adalah mencapai tingkat inflasi dan berapa biaya yang dikeluarkan dalam dalam mencapainya. Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2010 termaktub dana sebesar Rp 39.5 triliun. Dari jumlah itu 95.1 persen (32.74 triliun) di alokasikan untuk pengendalian moneter.

Sebagian besar jumlah tersebut digunakan untuk membayar bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FaSBI). Adapun beban bonus Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) relatif kecil, karena bank syariah berlum menjadi mayoritas dalam aktivitas perbankan.

Mengapa BI menganggarkan dana sedemikian besar untuk membayar SBI dan FaSBI? Jika kita menengok laporan triwulan IV BI ke DPR, terdapat prediksi bahwa investasi akan naik 8,5-8,7% dan ekspor meningkat 8.1-9 % yang akan menambah uang beredar serta memperbesar potensi inflasi. Dana tersebut akan digunakan utuk meredam inflasi (inflation killer)

Memang ini sejalan dengan artikel Wall Street Journal yang melaporkan pada tahun 2010 diperkirakan akan terjadi kenaikan arus modal ke negara berkembang menjadi US$ 722 miliar atau meningkat 66 % dibandingkan 2009. Tapi, itu sebenarnya dibawah nilai puncak US$ 1.28 triliun pada tahun 2007 sebelum krisis ekonomi global terjadi.

Pertanyaan yang menggelitik, haruskan ongkos menjagi inflasi dan moneter sebesar itu? Apakah ada pilihan lain bagi BI? Oliver Blanchard, professor ekonomi dari MIT dan Chief Economist IMF, baru saja menerbitkan studinya berjudul “Rethinking Macroeconomic Policy” yang menyatakan bahwa dengan kondisi ekonomi global kontemporer, bank sentral perlu menaikkan toleransi target inflasi mereka dari 2 % menjadi 4 % serta memprioritaskan pertumbuhan

Itu suatu perubahan sikap yang mengejutkan, karena biasanya IMF sangat kuatir dengan inflasi dan tak segan menganjurkan kebijakan kenaikan suku bunga demi menangkal kenaikan inflasi.

Kondisi Indonesia sebagai large developing countries yang telah membuktikan stabilitas di masa krisis sub-prime mortgage dan spread interest yang signifikan dengan T-Bill tidak memberi indikasi pelarian modal pada jangka dekat.

Pengendalian inflasi tidak dapat diselesaikan hanya oleh BI. Salah satu penyebab inflasi, yaitu biaya transportasi, sangat berkaitan dengan kinerja pemerintah di pembangunan infrastruktur. Akibatnya, BI tidak perlu mengeluarkan biaya moneter yang begitu mahal.
Sudah tidak sepatutnya lagi harga semen Rp 1 juta rupiah per sak di Papua terus di toleris. Demikian juga mahalnya sembako di pelosok Indonesia. Pembangunan jalan raya dan rel kereta api yang sempet nyaring terdengar di awal pemerintah SBY-Boediono harus segera dilaksanakan.

Selama 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi di Indonesia sebesar 2.78 %, sangat rendah dibandingkan rata-rata 2005 hingga 2008 yang mencapai 10.34% . Bahkan, pada Maret 2010 kita masih mengalami deflasi sebesar 0.14% sehingga jika dihitung sejak Februari 2009 (year on year) total inflasi baru mencapai 3.43 % dan laju inflasi tahun kalender (Januari-Maret 2010) hanya 0.89 %.

Pola inflasi Indonesia cenderung meningkat pada awal tahun dan menjelang Iedul Fitri. Jika stok pangan dan sandang disiapkan sejak sekarang maka sangat mungkin inflasi tahun 2010 lebih rendah daripada target Bank Indonesia yang berada pada kisaran 4%-6% persen.
Dengan menimbang kebijakan suku bunga bank sentral yang berlaku pada banyak bank sentral, yakni inflasi ditambah 1 % sebenarnya masih ada peluang untuk menurunkan kembali tingkat bunga BI acuan (BI rate) yang baru saja dipertahankan pada 6.5 %, sehingga bunga acuan BI yang wajar saat ini di kisaran 5%.

.Ada kemungkinan bertahannya bunga acuan BI saat ini karena BI tidak ingin dianggap lemah terhadap inflasi. Apalgi bank sentral Amerika atau The Federal Reserve baru saja menaikkan suku bunganya pada akhir Februari dari 0.5 % ke 0.75 %.

Beberapa pilihan

Mengapa kita terus membiarkan kepemilikan SBI oleh asing sedemikian besar ketika argumentasi utama keberadaan SBI adalah sebagai instrumen moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar di Indonesia.Bunga SBI yang tinggi justru akan memicu masuknya dana dari luar negeri sehingga beban pengendalian moneter sangat besar. IMF saja, yang tadinya mensakralkan rezim devisa bebas, kina sudah mengajukan capital control ketika krisis perbankan melanda Islandia pada 2009 lalu.

Kepemilikan SBI oleh asing adalah kasus hampir ideal untuk menerapkan soft capital control. India dan China menerapkan strong capital control dengan membatasi konvertabilitas mata uang mereka yang membutuhkan disiplin aparat yang tinggi.

Penerapan kebijakan pajak ringan (Brazil menerapkan 2 %) untuk short term capital inflow atau jangka waktu minimal untuk investasi seperti Chili dan Malaysia, juga dapat meningkatkan kemampuan untuk memprediksi lalu lalu lintas uang. Akibatnya, ruang bagi otoritas moneter untuk membuat kebijakan penurunan suku bunga semakin luas.

Jangan sampai ada yang bertanya, kebijakan ekonomi dan moneter sebenarnya untuk siapa? Tentu kebijakan itu sepenuhnya demi meningkatkan kemakmuran rakyat.

Monday, April 5, 2010

NU & Brothers Group di 2025


Diterbitkan dalam buku "NU dan Keindonesiaan kita" yang dicetak menyongsong Muktamar NU di Makasar 2010


Berly Martawardaya

Akhirnya saya mendapatkan waktu untuk bertemu Ahmad Sulaiman, pengusaha besar pemimpin NU & Brothers Group. Walaupun saya wartawan dari majalah dengan tiras nomor satu di Indonesia, tetap tidak mudah mendapatkan waktu appointment karena kesibukan beliau yang amat tinggi akhir-akhir ini.

Sekarang saya sudah di lantai 80 dari gedung NU Plaza di kawasan usaha SCBD Jakarta yang didirikan memperingati 80 tahun berdirinya Nadhlatul Ulama. Pemandangan dari gedung tertinggi di Jakarta ini sangat fenomenal dan indah. Pada buku biografinya Ahmad Sulaiman pernah menyatakan bahwa design gedung itu menempatkan mushala di tiap lantai sedemikian rupa sehingga diterangi cahaya ufuk senja ketika melaksanakan shalat magrib.

Sekretaris sang Presiden Direktur mempersilahkan saya untuk menunggu karena beliau masih ada tamu Senior Vice President dari General Electric, salah satu perusahaan terbesar dunia, yang ingin menjalin kerjasama menembus pasar negara Afrika. Sambil menunggu saya memperhatikan suasana ruang tunggu yang dihiasi kaligrafi serta lukisan abstrak modern dari para seniman ternama Indonesia dan dunia.

Akhirnya giliran saya tiba. Ahmad Sulaiman keluar dari ruangannya untuk mengantarkan tamunya ke pintu dan mengajak saya masuk ke ruanganya. Jabatan tangannya hangat dan tegas. Ruangannya dipenuhi foto dirinya bersama tokoh pengusaha, politik dan agama dunia.

Saya memulai wawancara dengan bertanya bagaimana NU yang dahulu masih lebih dikenal sebagai organisasi social keagamaan dapat membangun kerajaan bisnis yang demikian megah dan sukses.

Ahmad Sulaiman terpaku sejenak dan menugas bahwa semangat NU sejak awal sebenarnya menyeimbangkan tiga pilar keilmuan dan sosial budaya; wawasan kebangsaan serta ekonomi kerakyatan. Jangan lupakan bahwa berdirinya NU didahului dengan Nahdlatul Tujjar (1918) yang menghimpun para pengusaha muslim, baru disusul dengan munculnya Taswirul Afkar (1922) yang mengembangkan pendidikan dan pemikiran keislaman., dan belakangan Nahdlatul Wathon (1924) sebagai gerakan politik nasionalisme dan anti penjajah.

Pendirian NU pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasyim Asy'ari juga dihadiri para usahawan di Jawa Timur selain para tokoh ulama tradisional. Bahkan dalam Staoeten Perkoempoelan NU dinyatakan bahwa organisasi ini “berikhtiar memperbanyak madrasah (sekolah)…begitoe djoega dengan ichwalnja anak-anak jatim dan orang fakir miskin serta mendirikan badan-badan untoek memadjukan oeroesan pertanian dan perniagaan yang tiada dilarang oleh sjari’ah agama Islam”.

Beliau melanjutkan bahwa pemerintah Belanda dengan segala daya upaya menghambat usaha-usaha ekonomi di awal berdirinya NU. Menjelang kemerdekaan dinamika politik memakan banyak energi pimpinan NU dan baru sejak 1984 di Muktamar Situbondo ketika secara tegas menyatakan keluar dari politik maka NU mulai mengalirkan ghirahnya secara lebih fokus ke masalah social budaya. Namun didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa menyongsong pemilu 1999 sekali lagi menyeret NU ke ranah politik. Terpecahnya PKB tahun 2009 menjadi blessing in disguise karena Muktamar Makasar 2010 mengusung fokus organisasi ke ekonomi rakyat.

Saya bertanya lagi,’ Tapi Pak Ahmad, istilah ekonomi rakyat sudah sering disebut pada Muktamar sebelumnya, apa yang membedakan Muktamar Makasar sehingga dampaknya permanen dan demikian besar?”

Ahmad Sulaiman yang anak Kiai Besar di Jawa Timur menjelaskan bahwa sebenarnya pada masa dia dibesarkan sudah ada tendensi para ulama untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi umum setelah lulus pesanteren sampai setaraf SLTA. Kakaknya lulusan institut teknik ternama di Indonesia dan beliau sendiri dari fakultas ekonomi yang sudah panjang reputasinya dalam mencetak manager handal Indonesia.

Keduanya sempet bekerja di perusahaan multinasional terkemuka sebelum membentuk NU & Brothers Group.Jadi ketika Muktamar Makasar menetapkan fokus ke ekonomi maka sudah ada supply sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan dan professional tapi tetap memiliki komitmen ke-NU-an.

Namun di Muktamar Makasar transisi menjadi organisasi modern dipercepat. Kepemimpinan baru mendata keanggonaan NU yang saat itu di diproyeksikan mencapai 30 juta orang. Diberlakukannya nomor induk dan anggota dan juga memudahkan pemungutan iuran. Walau pada tahun pertama hanya 10 % yang rajin membayar iuran sebesar lima ribu rupiah sebulan namun bila ditotal menjadi 15 milyar rupiah perbulan yang dibagi pada level cabang, wilayah, daerah dan pengurus besar.

Hasil iuran tersebut menjadi modal untuk mengembangkan NU -Mart yaitu jaringan toko kelontong dan kebutuhan sehari-hari di kantong-kantong NU. Dengan memegang jalur distribusi maka warga NU, dengan menunjukkan kartu anggota, bisa meningkatkan posisi tawar ekonomi dan mendapat harga lebih rendah untuk kebutuhannya.

Direksi NU – Mart yang sebagian berasal dari perusahan retail terkemuka Indonesia melakukan riset pasar sehingga diketahui produk apa saja yang laku terjual dan mulai memproduksinya dengan bekerja sama dengan pesantren-pesantren. Teknologi pembuatan sabun, shampoo dan mie instan serta makanan ringan lainnya yang dimiliki sudah cukup baik namun dengan didukung packaging, marketing dan quality control yang kuat berhasil menembus pasar di kota-kota besar.

Ahmad Sulaiman yang waktu itu memimpin BMT ukuran menengah di Jawa Timur setelah puas berkarir di Citibank, berhasil meyakinkan pimpinan NU untuk mendukung transformasi menjadi bank syariah yang menjadi sarana transaksi organisasi NU, pesantren NU dan NU Mart serta khalayak NU yang jumlahnya amat besar. Perkembangan yang pesat juga didukung oleh recruitment dari para banker berpengalaman dan kehati-hatian dalam memberikan kredit. Walaupun pengurus PBNU tetap harus memberikan feasibility study yang shahih dan bertanggungjawab bila terjadi kredit macet. NU card menjadi kartu kredit dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia.

Industri ringan dan elektronik mulai dibangun dengan pemberian kredit secara strategis ala Zaibatsu dan keiretsu di Jepang. Pesantren-pesantren menjadi produksi komponen mesin ringan dan sepeda motor untuk dirakit di pabrik besar di Sidoarjo.

Hafizh Sulaiman, sang kakak, mendalami pertambangan dan perminyakan dan setelah menjadi Vice President di Shell Oil Indonesia membangun NU Mining and Energy yang berlanjut pada pabrik besi dan petrochemical. NU & Brothers melesat masuk ke top 20 konglomerat di Indonesia pada tahun 2020.

Saya bertanya lagi,”Apa rencana masa depan NU & Brothers Groups setelah merajai kancah bisnis Indonesia dan di tahun 2025 dinyatakan sebagai group usaha terbesar di Indonesia oleh majalah Forbes?”

Ahmad Sulaiman menjabarkan rencananya untuk membangun pabrik mobil di Cina dan industri komputer di India selain penetrasi media dan entertainment ke Timur Tengah. Generasi Muda NU yang telah di sekolahkan di luar negeri lalu ditempatkan di perusahan-perusahan di manca negara sejak 2015 akan mulai di tarik untuk mengembangkan perusahaan dalam NU & Brothers Group sehingga group ini benar-benar kokoh di berbagai lini. Bahkan training centre yang dibangun 2015 di Situbondo telah berkembang menjadi NU University, kampus swasta terbaik di Indonesia yang dipimpin kader NU dengan PhD dari Oxford University dengan kerjasama dan double degree dengan universitas ternama di Barat dan Timur Tengah.

Saya terdiam sambil menggeleng, luar biasa sekali gabungan ghirah NU yang digabungkan dengan profesionalitas serta inovasi. Beda sekali dengan dua puluh lima tahun yang silam. Saya tidak kuat menahan pertanyaan berikut meluncur dari mulut, “Tapi bagaimana dengan politik?”

Ahmad Sulaiman tertawa mendengar pertanyaan lirih saya. Begini Mas. Rasulullah adalah pengusaha sukses yang lalu mendakwahkan agama lalu menjadi pimpinan politik. Setelah Muktamar Makasar, NU sadar untuk menjalankan tahap dari awal dan bukan dibalik menjadi politik dahulu. Sekarang semua pimpinan partai politik mendekati NU untuk didukung calonnya serta mendapat sokongan dana. Tentunya akan kita pilih yang sosok serta programnya sesuai dengan arahan NU.

Rasulullah terlah berpesan untuk menghindari Islam umat yang banyak tapi lemah bagai buih di laut. Sudah terlalu lama NU menjadi buih di percaturan ekonomi Indonesia dan generasi NU masa sekarang tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.

Maaf saya harus pergi sekarang karena hari ini malam jumat dan waktunya tahlilan dengan keluarga dan teman-teman di pesantren dulu.

Demikian Ahmad Sulaiman meninggalkan ruangan menuju helikopternya di teras gedung dan berangkat meninggalkan saya yang masih termenung dan bersyukur atas bangkitnya NU sebagai potensi ekonomi bangsa. Tidak apa apa terlambat asalkan bergerak cepat.

Allahumma bis’shawab.


Penulis adalah dosen FEUI, ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) dan Kepala Desk Ekonomi NU Profesional Circle.