Tuesday, September 29, 2009

Where has all the brotherly love gone?


Jakarta Post (original link)

Berly Martawardaya and Achmad Adhitya , Jakarta | Tue, 09/29/2009 1:14 PM | Opinion

Why we are where we are now?

Malaysian and Indonesian history is so intertwined and our future is so closely linked that we are either hang together or hang separately.

Weren't we both part of the glorious kingdom of Sriwijaya in Sumatra and the Majapahit kingdom in Java? Wasn't the founder of the Malacca Sultanate, Pramesyara, a runaway prince from Palembang?

Wasn't it Dipati Unus from Jepara that lead a sizable number of troops ready to sacrifice their lives to get rid of Portuguese from Malacca, not once but twice? Weren't members of past royal families intermarried too many times to count?

Weren't we quick to get over the tedious Konfrontasi era and start building the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) together?

Didn't Indonesian professors leave the comfort of their homes to teach in classrooms in Malaysia a couple of decades ago? Aren't Indonesian students these days filling Malaysian Universities and Indonesian singers filling their airwaves? Isn't the economic prosperity of Malaysia directly benefiting from Indonesian workers because of our proximity and cultural and linguistic links?

Not only are our languages from the same roots and only slightly differentiable, our aspirations are one as well.

We are brothers and will always be brothers. However, we can choose to live with brotherly love or without it. Some say that family feuds are the worst kind, but it doesn't have to be that way.

Family members don't hurt each other. Searching without warrants should be ceased and let's return the entire jurisdiction over illegal immigrants to police and immigration officers.

Indonesia should make utmost efforts to control forest fires whose smoke reaches Malaysia, and Malaysia should tighten its Kalimantan/Borneo border to prevent illegal logging in Indonesia.

Let Indonesian workers in Malaysia have the right to organize themselves in labor unions. Despite all the good will of the Malaysian government, many companies are bound to be overeager in their quests for profits and unions are one of the best ways to provide workers with protection.

Let us revise our labor MoU and no longer allow companies to keep workers passports.

Our long shared history and ancient royal links sometimes make it hard to distinguish the origin of culturally related products.

Maybe we shouldn't even try to differentiate them. Let's put a hold on patenting any of cultural products and establish a joint commission to study the true origin of any particular cultural products before going to patent offices.

And let's discuss revenue sharing as well as joint promotion efforts or a joint patent when it is more appropriate.

Let us sincerely ask the question that the Roman leader Cicero conveyed. Cui bono? Who will benefit from a degrading relationship between us? Certainly not Indonesian workers in Malaysia nor Malaysian medical students in Indonesia. Not the stability and prosperity of Southeast Asian.

While some people easily feel offended and have short horizons, let's hope that cooler heads and long-term views prevail.

Berly Martawardaya is PhD candidate at the University of Siena, Italy. Adhitya is a PhD candidate at the University of Leiden, the Netherlands, and board member of the International Association of Indonesian Scientists.

Thursday, September 24, 2009

Berbagai Wajah Ekonomi Syariah


 Liputan 6.com (original link)
24/09/2009 14:56
Berly Martawardaya

Siapa tidak kenal Silicon Valley? Setiap orang yang serius mengamati perputaran bisnis dan teknologi dunia pasti pernah mendengar kota kecil di dekat Stanford University yang menjadi pusat pertumbuhan teknologi informasi global selama beberapa dekade terakhir. Bahkan negara-negara lain mencoba meniru konsep Silicon Valley seperti Malaysia dengan Multimedia Super Corridor (MSC) dan India di Bangalore.

Tapi tidak banyak yang mengetahui bahwa Silicon Valley dibangun bukan oleh para bank besar tapi oleh Venture Capital (VC). Para venture capitalist mencari para penemu kreatif dengan ide serta teknologi baru tapi tidak memahami dinamika dunia usaha dan tidak memiliki modal lalu mempersiapkan mereka untuk membangun perusahaan profesional untuk menjual saham melalui IPO (Initial Public Offering) dalam periode 5-7 tahun.

Para pemodal ini adalah gabungan investor institusional dan individu yang ingin melihat bukan hanya keuntungan tapi juga kepuasan telah memunculkan usaha baru. Mereka bisa saja menempatkan uangnya di bank konvensional dan menikmati bunga setiap saat tanpa perlu kuatir dengan banyak hal. Tapi mereka memilih untuk menyeleksi proposal yang datang secara saksama dan mengembangkan bersama pemilik ide dalam periode yang cukup panjang demi kesejahteraan bersama.

Setelah penjualan saham maka pemilik modal dan ide akan mendapat bagian sesuai dengan kesepakatan. awal Konsep ini telah menghasilkan berbagai perusahaan IT tangguh seperti Apple, Google, eBay dan masih banyak lagi. Pembiayaan dengan VC juga tidak terbatas ke perusahaan IT dan juga sudah merambah ke consumer goods seperti Whole Foods Inc dan fast food seperti Starbucks.

***

Gerak langkah George Soros sering mengguncang dunia. Orang terkaya dunia nomor 29 menurut Forbes dengan asset 11 miliar dolar telah menghentikan langkah Inggris bergabung dengan mata uang Euro di tahun 1992 dan mendapatkan keuntungan 1,1 miliar dolar hanya dari transaksi tersebut. Pada krisis moneter Asia, namanya disebut Perdana Menteri Malaysia sebagai sumber masalah.

Kesuksesan telah mendorongnya untuk bergerak di bidang filantropi, khususnya di area pendidikan dan demokrasi. Melalui Open Society Institute dan donasi langsung diperkirakan lebih dari 6 miliar dolar telah disumbangkannya dengan dampak yang cukup besar di berbagai wilayah dunia. Khususnya Eropa Timur sebagai merupakan wilayah kelahiran yang harus ditinggalkan sewaktu kecil karena serangan Nazi sebagai keturunan Yahudi.

Bentuk perusahaan yang dipilihnya untuk hedge fund yaitu perusahaan limited partnership yaitu bentuk legal khusus dengan kepemilikan saham dapat dikarenakan asupan modal atau keterlibatan aktif. Sang manajer hedge fund akan mendapatkan lebih banyak bagian dari profit dari proporsi modalnya, atau bahkan dapat juga tidak berkontribusi modal sama sekali, tergantung kesepakatan awal.

***

Negara-negara di Eropa menjadikan jaminan sosial (social security) sebagai kebijakan prioritas dan tanggung jawab negara. Dimulai oleh Otto van Bismarc, perdana menteri Jerman tahun 1870-1890, yang pada pertengahan kekuasaannya memulai jaminan kesehatan, kecelakaan, dan pensiun bagi segenap rakyatnya. Penduduk Jerman dapat fokus meningkatkan keterampilan dan produktivitas dengan kepastian perlindungan di masa sakit, sulit, dan usia lanjut.

Kebijakan ini diikuti hampir segenap negara Eropa Barat serta negara-negara industri maju seperti Kanada, Australia dan Jepang serta negara-negara Skandinavia setelah Perang Dunia II. Sebagian besar biaya pendidikan dan kesehatan di negara-negara tersebut ditanggung oleh negara . Hal ini mendorong persamaan kesempatan (equality of chance) rakyatnya sehingga mereka tidak tergantung pada loteri kelahiran (lottery of birth) untuk menjadi warga yang terdidik, sehat, dan sejahtera.

Berbagai studi menunjukkan, negara dengan jaminan sosial yang memadai memiliki korelasi amat erat dengan stabilitas sosial dan demokrasi yang tangguh. Ketika distribusi sumber daya penting tidak lagi ditentukan oleh relasi sosial atau etnisitas serta agama maka hal ini kan mengurangi tensi sosial secara signifikan dan menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
***

Apa hubungan Sillicon Valley, Soros, dan Social Security dengan Ekonomi Syariah? Mungkin Anda menggaruk kepala setelah membaca sejauh ini dan berpikir: mana kutipan ayat Al-Quran serta praktik perbankan syariah yang biasa diidentikkan dengan ekonomi syariah.

Pada satu sisi memang perbankan serta instrumen syariah telah mengalami kenaikan sangat signifikan hingga mencapai Rp 55 triliun pada Juli 2009. Juga benar bahwa pada masa Ramadan sampai dengan Iedul Adha terjadi peningkatan pembayaran zakat. Tapi adalah keliru untuk membatasi aplikasi ekonomi dari konsep-konsep transenden dalam Islam hanya pada kedua instrumen itu.

Konsep venture capital sangat mirip dengan bagi hasil mudharabah dalam ekonomi syariah. Hal yang lebih mencengangkan mengingat proporsi mudharabah dalam bank syariah biasanya amat kecil serta di bawah 10 %. Sisanya menggunakan akad jual-beli plus premium berjumlah yang amat mirip dengan praktik bank konvensional. Memang praktik mudharabah membutuhkan loan officer yang tajam naluri bisnisnya untuk memprediksi usaha yang akan maju pesat dalam 5-7 tahun mendatang. Pengawasan dan pendampingan juga bukan hal yang mudah. Tapi, Silicon Valley telah membuktikan bahwa hal itu bukan tidak mungkin.

Hedge fund dan berbagai perusahaan yang membagikan saham pada karyawan (employee stock ownership program) pada prinsipnya menjalankan konsep berusaha dalam islam (syarikah). Tidak cukup rasa memiliki untuk mendorong motivasi karyawan, tapi usahakan sehingga karyawan benar-benar memiliki maka segenap daya upaya akan diusahakan untuk kemajuan perusahaan. Berbagai teori motivasi dan sumber daya manusia modern juga mendukung praktik ini.

***

Kita telah mendengar tentang Khalifah Umar yang berkeliling kota di malam hari untuk mencari warganya yang masih kelaparan karena takut akan tanggung jawabnya ke Allah sebagai kepala pemerintahan. Sungguh aneh betapa negara yang sedikit penduduk Islamnya justru lebih dekat dengan praktek Khalifah Umar dengan berbagai skema jaminan sosialnya. Sampai kapan kita akan membiarkan saudara senegara untuk lapar, sakit, dan berusia lanjut tanpa mengulurkan tangan.

Seperti kata pemikir Islam abad lalu, Jamaluddin Al-Afghani, umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya. Pada saat yang sama negara-negara lain mengalami kemajuan dengan mengadopsi prinsip-prinsip ajaran Islam pada praktik sosial dan bernegara walau tanpa memakai istilah dalam bahasa Arab.

Sesuai konsep sunnatullah, siapapun dan agama apapun yang mempraktikkan konsep-konsep Islam akan mendapatkan hasil yang positif dan demikian sebaliknya. Sudah saatnya umat islam sendiri yang menggali praktik dan konsep ekonomi dalam Islam untuk mempraktikkannya dalam masyarakat secara konsisten. Wallahu ‘alam bish shawab.


Penulis mengajar di FEUI, ekonom senior INDEF, dan aktivis NU Professional Circle

Thursday, September 17, 2009

Menyegarkan Kembali Perekonomian Indonesia


Koran SINDO,
Kamis, 17 September 2009
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/270642/

Presiden Barack Obama beberapa hari lalu menyampaikan pidato untuk mendorong reformasi sistem kesehatan Amerika Serikat di depan anggota legislatif.

Dia mengingatkan rakyatnya untuk tidak terjebak pada detail kebijakan, tapi berpegang teguh dan bergerak berdasarkan pada prinsip keadilan sosial dan karakter bangsa. Bila seorang Presiden dari negara yang menepuk dada sebagai pengguna sistem kapitalis dan pasar bebas sudah menyatakan keberpihakan demikian nyata dan amat mirip dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila, maka amatlah miris apabila Indonesia justru mengabaikannya Untunglah dalam visi dari presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, tercantum dengan anggunnya tujuan menuju terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan.

Sering disebut bahwa kekuatan ekonomi Indonesia adalah biaya tenaga kerja yang murah.Namun apabila hanya faktor itu yang diandalkan maka istilah Emil dan Theodor Helfferich kakak beradik bangsa Jerman yang sempat tinggal bertahun-tahun di Indonesia semasa penjajahan Belanda dan sering dikutip versi bahasa Inggrisnya oleh Soekarno,“Eine nation von kuli und kuli unter den nationen”, akan menjadi sebuah kenyataan.

***

Dalam ilmu ekonomi dikenal empat faktor produksi, yaitu tenaga kerja, modal, tanah dan kewirausahaan. Tenaga kerja yang terdidik dan sehat akan lebih produktif dibandingkan yang tidak nikmati pendidikan formal dan sakitsakitan. Indonesia, dengan bantuan keputusan Mahkamah Konstitusi, telah bergerak menjadi negara yang memperhatikan dan menanamkan investasi pendidikan di warganya dengan alokasi 20 % dari anggaran negara untuk sektor tersebut.

Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan target pendidikan sembilan tahun adalah target penting yang perlu didukung dengan segenap daya upaya. Para singa ekonomi Asia (Asian economic tigers) seperti Singapura, Taiwan,Hong Kong dan Korea Selatan adalah negara yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam namun amat serius meningkatkan kekayaan sumber daya manusia.Sampai kapan kita akan terus tertinggal bila kekayaan alam tidak dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh dan tidak hanya penambahan rekening bank sekelompok orang.

Namun Indonesia masih suatu negara di mana warganya masih meninggal karena tidak mampu menanggung biaya kesehatan padahal penyakitnya dapat diobati. Tentu saja tidak mudah menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas segenap pelosok negara kepulauan seperti kita. Faktor produksi modal dan tanah berkait amat erat dengan sistem perbankan. Masalah yang terjadi di sektor perbankan terjadi di dua sisi. Dari sisi dana masuk mereka takut kehilangan penabung apabila tingkat suku bunga diturunkan.

Tapi dari segi dana disalurkan tidak banyak pengusaha, apalagi usaha kecil dan koperasi,yang dapat menanggung tingkat bunga yang masih cukup tinggi.Padahal tingkat bunga SBI sudah diturunkan oleh Bank Indonesia. Untuk itu dibutuhkan langkah tegas dan strategis.Memang benar bila satu bank menurunkan suku bunga maka nasabah yang rasional akan memindahkan ke bank dengan suku bunga yang lebih tinggi setelah memperhitungkan biaya transaksi pemindahan tabungan.

Tapi apabila semua bank di Indonesia menurunkan suku bunganya maka tidak ada lagi pilihan bagi deposan selain menginvestasikan langsung ke sektor riil yang justru lebih baik lagi. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan suku bunga yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan memublikasikan implikasinya.Tidak banyak nasabah yang memiliki akses untuk perbankan di luar negeri.Apalagi perusahaan yang notabene membutuhkan bank di Indonesia untuk transaksi dan operasi.

***

Hernando de Soto (2000) dalam Mystery of Capitalmenyatakan bahwa kapasitas produksi negara berkembang banyak terhambat karena lemahnya sistem administrasi pertanahan. Dengan kepemilikan tanah yang tidak tercatat secara resmi maka rakyat tidak dapat menjaminkan tanah yang mereka miliki untuk mendapatkan modal dan memulai usaha.

Padahal metode ini adalah jalan paling umum yang ditempuh di negara maju. Peraih Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, juga menekankan bahwa perbankan harusnya menyediakan pinjaman untuk yang miskin dan membutuhkan.Bukan yang sudah kaya raya. Sering kali hambatan yang dimiliki adalah agunan dan kemampuan administrasi. Grameen Bank yang dibangunnya telah membuktikan bahwa rakyat miskin justru memiliki tingkat kredit macet yang lebih rendah bila proses peminjaman dilakukan secara benar.

Kapasitas administrasi usaha kecil dalam sistem akuntansi dan pengisian formulir peminjaman bank secara benar menjadi bottle neck yang sebenarnya tidak sulit diatasi dengan sistematis. Poin terakhir adalah kewirausahaan. Pada sistem ekonomi dunia yang terglobalisasi maka proses produksi dapat dilakukan di mana saja. China menjadi pabrik dunia sementara India menjadi back officeyang mengurusi administrasi dan customer services.

Tapi yang menikmati profit adalah pemilik merek dan pemegang sahamnya. Selama Indonesia masih puas menjadi tukang jahit yang sekedar mengerjakan orderan maka tidak akan banyak peningkatan kesejahteraan yang terjadi. Ha Joon- Chang,ekonom asal Korea Selatan di Cambridge, menjabarkan betapa Korea Selatan perlahan lahan menaiki tangga value added chains dari tekstil, elektronik, dan mesinmesin berat serta microchip.

***

Studi kewirausahaan global 2003–2005 meliputi 83 negara dari Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam katagori terendah munculnya usaha baru. Hal ini harus diubah dan hambatan dalam berusaha harus dipangkas jika kita perubahan yang nyata dan permanen. Padahal Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara kelautan tropis dengan keanekaragaman hayati yang amat luas. Sudah saatnya berbagai produk buah dan obat serta sumber daya laut dunia disuplai oleh Indonesia, bukan oleh Amerika,Australia atau Thailand yang sinar mataharinya terbatas.

Itu semua bukan hal yang tidak mungkin dicapai dalam lima tahun mendatang dengan riset dan pemasaran yang intens. Seperti dikatakan Presiden Kennedy, “All this will not be finished in the first one hundred days; nor even perhaps in our lifetime on this planet.But let us begin.” Sudah saatnya Indonesia berhenti jadi kuli.(*)

Berly Martawardaya
Dosen FEUI dan Ekonom Senior INDEF