Tuesday, January 24, 2017

Tegangnya Relaksasi Ekspor Mineral




Kompas.com, 24 Januari 2017 (original link)

Indonesia memiliki kandungan tambang  yang cukup besar namun dampaknya pada kesejahteraan masyarakat masih belum optimal dan dapat ditingkatkan. Khususnya pada mineral logam paska penambangan dimana masih banyak perusahaan yang melakukan ekspor mineral tanpa atau hanya sedikit sekali proses pengolahan serta pemurnian. 
Pemikiran ini mendasari penyusunan UU 4 /2009 tentang Pertambangan Mineral & Batu Bara (selanjutnya disebut UU Minerba) pada pasal 103 mewajibkan pemegang Ijin Usaha Pertambangan  (IUP) dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Dalam penjelasannya disebutkan tujuannya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.
Para penyusun UU Minerba menyadari bahwa pembangunan smelter membutuhkan waktu dan sebagian perusahaan tambang memegang Kontrak Karya yang berbeda posisi hukumnya dengan IUP/IUPK.
Pasal 170 pada UU tersebut menyatakan bahwa pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU diundangkan.
Telah atau Sedang
Idealnya setelah UU Minerba keluar tahun 2009 lalu perusahaan tambang bergegas menyiapkan pembangunan smelter. Apalagi harga mineral dan komoditas tambang saat itu sedang tinggi.
UU Minerba menyebutkan deadline pengolahan dan pemurnian dalam negeri yang jelas yaitu lima tahun setelah 2009 alias tahun 2014 yang di tegaskan lagi pada PP No 23/2010 pasal 112 butir 4. 
Mengantisipasi besarnya kebutuhan dana untuk membangun smelter, pasal 93 di PP 23/2010 menyatakan kegiatan pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan secara langsung maupun melalui kerjasama .
UU Minerba mendefinisikan ”pengolahan dan pemurnian” sebagai kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
Pelarangan ekspor mineral bagi yang belum membangun smelter (sendiri atau kerjasama) baru tertulis eksplisit pada PP No 1/2014 yang pada pasal 112C menyatakan bahwa pemegang Kontrak Karya dan pemegang IUP Operasi Produksi yang telah melakukan kegiatan  pemurnian dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Pembatasan di PP 1/2014 ini sejalan   dengan pasal 170 di UU Minerba.
Masalah muncul ketika PP 1/2017 yang baru dikeluarkan, menghapus persyaratan pemegang KK telah melakukan pemurnian untuk melakukan ekspor.  
Permen ESDM No 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri pada pasal 17 menyatakan bahwa Pemegang KK Mineral Logam setelah merubah bentuk pengusahaan menjadi IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan memenuhi batasan minimum pengolahan, dapat menjual hasil pengolahannya ke luar negeri sampai paling lama 5 (lima) tahun sejak Permen ini dikeluarkan alias sampai tahun 2022.
Lampiran Permen tersebut menunjukkan bahwa batas pengolahan untuk tembaga (Cu) hanya 15 % yang cukup rendah tingkat kemurniannya.
Permen ESDM no 6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian membedakan pengolahan dan pemurnian.
Pengolahan di definisikan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu mineral yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral asal.
Pasal 5 pada Permen ESDM no 6/2017 menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK bisa mendapatkan rekomendasi ekspor setelah memenuhi berbagai syarat termasuk rencana pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri serta laporan kemajuan fisik yang telah atau sedang melaksanakan pembangunan fasilitas pemurnian yang telah diverifikasi oleh verifikator independen.
Argumen paket kebijakan relaksasi ekspor mineral adalah meningkatkan pendapatan Negara dan mendorong pertumbuhan perekonomian dengan membuka pintu ekspor mineral hasil pengolahan yang belum dimurnikan sampai 2022.
Kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat pasal 103 dan 170 di UU Minerba yang kedudukannya lebih tinggi dan menetapkan tahun 2014 sebagai deadline.
Perbedaan ini yang mendorong Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi SDA mengajukan tuntutan pembatalan paket regulasi relaksasi ekspor mineral melalui uji materiil ke Mahkamah Agung (MA)
Repotnya Mengurus Freeport
Keluarnya Paket kebijakan relaksasi ekspor mineral tidak bisa dilepaskan dari kondisi PT Freeport Indoensia (PTFI) yang sudah berjalan sejak 1967 dan belum  memiliki smelter yang operasional.
Freeport melaporkan bahwa perusahaannya memiliki pegawai sejumlah 30 ribu orang dimana 97 % adalah orang Indonesia.  Sehingga bila berasumsi tiap pegawai memiliki suami/istri serta dua anak berarti PTFI menjadi sumber pendapatan pada lebih dari 116 ribu orang.
Sepanjang 1992-2015 PTFI berkontribusi US$ 16,1 miliar terhadap penerimaan negara sementara kontribusi berupa keuntungan tidak langsung berjumlah 32,5 miliar dolar AS.
PTFI menghasilkan 1,7 % penerimaan APBN, 37,5 % PDRB Provinsi Papua dan 91 % PDRB Kabupaten Mimika yang akan terganggu bila PTFI  operasionalnya berhenti.
PTFI dan pemerintah menghadapi dilema dimana PFTI tidak mau membangun smelter yang sangat mahal sampai mendapat kepastian kontraknya diperpanjang dan pemerintah tidak mau memperpanjang kontrak kalau smelter belum dibangun.
PP 1/2017 juga merubah batas pengajuan yang tadinya paling cepat dua tahun sebelum berakhirnya ijin operasi menjadi 5 tahun sehingga pengajuan perpanjangan PTFI tidak harus menunggu tahun 2019.  
PTFI berperan besar bagi Indonesia secara historis, finansial dan simbolis. Maka sebaiknya pemerintah melakukan studi komprehensif dan redundant dengan meminta beberapa Universitas dan think thank ternama untuk melakukan Cost Benefit Analysis (CBA) apakah lebih tinggi net benefitnya bagi rakyat Indonesia bila kontrak diperpanjang atau tidak.
Keputusan sebesar ini juga membutuhkan mandat politik yang kuat. Maka perlu dipertimbangkan untuk menunda keputusan diperpanjang atau tidaknya PTFI sampai Presiden dan Kabinet baru dilantik pada tahun 2019.
Adapun tiap capres pada masa kampanye harus memaparkan sikapnya apakah setuju  atau tidak dengan membuka detil argument dan kalkulasinya. 


Friday, January 20, 2017

Tantangan Ekonomi 2017


Koran Sindo, 20 Januari 2017 (original link

Niels Bohr, pemenang hadiah Nobel Fisika pada 1922, menyatakan bahwa melakukan prediksi sangat sulit, khususnya prediksi tentang masa depan. Sekitar dua tahun lalu (KORAN SINDO, 17/12/2014) penulis menyatakan bahwa ekonomi dua tahun ke depan akan mengalami perlambatan. 

Periode 2015-2016 adalah masa menanam dan menata ulang ekonomi untuk memanen pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran pada periode 2017-2018. Tentu pertumbuhan yang lebih tinggi dari 4,79% pada 2015 dan sekitar 5% pada 2016 akan lebih baik, apalagi kalau bisa menembus 6,95% pada 2007 yang tertinggi sejak krismon Asia 1998. 

Setelah krisis subprime mortgage 2009, pertumbuhan sempat mencapai 6,15% pada 2011 dan setelah itu terus alami perlambatan. Kenapa pertumbuhan ekonomi terus menurun sejak 2011 dan bagaimana membalikkan tren tersebut? Jawaban utama adalah melambatnya sektor manufaktur yang masih merupakan seperlima perekonomian Indonesia dan menjadi motor perekonomian pada masa Orde Baru. 

Apabila sektor terbesar melambat, otomatis keseluruhan perekonomian akan turun pertumbuhannya. Pada 2011 adalah tahun terakhir di mana pertumbuhan sektor manufaktur lebih tinggi dari pertumbuhan nasional. Sektor manufaktur seperti eskalator yang mampu menyerap penduduk berpendidikan rendah dan menyediakan pekerjaan jangka panjang untuk mendorong mobilitas vertikal. 

Melemahnya sektor manufaktur ketika pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai untuk bekerja di sektor jasa bernilai tambah tinggi seperti perbankan dan telekomunikasi, akan berakibat pada perlambatan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesenjangan. Itulah yang terjadi sejak 2011. 

Jokowi lama menjalani profesi sebagai pengusaha dan eksportir mebel yang merupakan bagian dari sektor manufaktur. Pengalamannya memimpin dan mendorong ekonomi Kota Solo menambah kesadaran pentingnya sektor manufaktur pada perekonomian nasional. Apa saja yang diperlukan untuk menggenjot pertumbuhan industri Indonesia? 

Selain market yang besar dan berkembang, pengusaha juga akan memilih daerah yang lebih mudah membangun pabrik, menjalankan dan menjual hasil produksinya. Pemikiran ini membawa kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi untuk fokus memperbaiki infrastruktur khususnya jalan dan listrik serta memperbaiki iklim usaha dan memotong proses perizinan. 

Dalam ekonomi dan keuangan dikenal istilah J-curve, yaitu kurva yang menurun untuk naik lagi. Perusahaan atau wilayah perekonomian sering mengikuti pola ini karena pada awal perubahan diperlukan penyesuaian dan realokasi sumber daya sebelum competitiveness bisa menguat lagi. 

Dana yang tadinya dialokasikan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan mendorong konsumsi masyarakat digunakan untuk membangun infrastruktur. Pada saat konstruksi infrastruktur menghasilkan multiplier effect positif pada perekonomian, tapiprosesmenarik investasi baru dan pembangunan fasilitas produksi membutuhkan waktu. 

Transisi dari berkurangnya konsumsi dan belum menguatnya industri dan ekspor turut berperan dalam perlambatan ekonomi pada 2015- 2016. Apalagi, juga terjadi perlambatan ekonomi global dan kebakaran hutan di Indonesia. Akankah 2017 menjadi periode untuk memanen pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran? 

Tergantung bagaimana pemerintah merespons lima tantangan besar. Tantangan pertama adalah disiplin dan pengawasan dalam melakukan pembangunan infrastruktur dan penguatan iklim investasi. Perbaikan belum tuntas dan masih banyak pekerjaan yang bila tidak diawasi ketat dapat menimbulkan masalah. 

Jalan tol Trans-Jawa dari Merak sudah bisa langsung sampai Brebes pada 2016 dan tahun ini ditargetkan selesai sampai Semarang untuk tersambung sampai Banyuwangi pada 2019. Masih ada puluhan bandara, pelabuhan, serta ribuan jembatan yang akan dibangun atau renovasi pada 2017. Apabila pemerintah, khususnya Kementrian PU dan Perhubungan, tidak jeli dan ketat dalam menjaga kualitas, daya dorong infrastruktur dan kredibilitas terhadap investor akan menurun. 

Sangat penting bahwa pemerintah transparan dan secara periodik menyampaikan perkembangan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur secara masif membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga membawa kita pada tantangan kedua yaitu penerimaan negara khususnya pajak. Penerimaan pajak pada 2015 yang di bawah target menurunkan kredibilitas kebijakan fiskal. 

Masuknya Sri Mulyani pada pertengahan 2016 sebagai menteri keuangan membawa disiplin dan realisme yang ketat dengan dipotongnya belanja sebesar Rp133,8 triliun. Kondisi fiskal 2017 tidak bisa lagi berharap terangkat oleh tax amnesty yang pada tahap terakhir dan tidak akan menghasilkan dana tebusan sebesar tahap sebelumnya pada 2016. 

Adalah tantangan bagi aparat pajak untuk membuktikan bahwa tax amnesty bukan hanya menghasilkan dana pada 2016, tapi selanjutnya juga meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio. Salah satu sumber pendapatan negara dan perusahaan adalah harga global dan kondisi sektor migas yang menjadi tantangan ketiga. Sudah beberapa tahun tidak banyak terjadi investasi baru pada sektor migas. 

Pada 2016 bahkan terdapat 14 lelang ulang ladang migas karena pada lelang pertama tidak mendapatkan peminat yang memadai. Sepakatnya OPEC untuk memotongproduksidanmembaiknya ekonomi dunia berpotensi meningkatkan harga migas dunia. 

Tapi, pada lain sisi, Kementerian ESDM mengubah sistem cost recovery di production sharing contract (PSC) yang sudah dianut sejak 1961 menjadi grosssplit yang walau di atas kertas memiliki beberapa keunggulan, tapi memerlukan waktu implementasi dan penyesuaian bagi para kontraktor migas untuk mengalkulasi dan simulasi. 

Net effect dari kenaikan harga migas dan pergantian sistem kontrak masih belum bisa dipastikan dan perlu pengamatan beberapa bulan ke depan. Tantangan keempat adalah proteksionisme negara maju. Melambatnya perekonomian di Eropa dan Amerika serta terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika memperkuat semangat proteksionisme. 

Apabila banyak muncul kebijakan yang membatasi ekspor, akibatnya akan merugikan negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada jangka pendek, ekspektasi berkurangnya impor Amerika terhadap produk negara berkembang akan mendorong kenaikan inflasi dan suku bunga di Amerika yang sebabkan keluarnya modal dan investasi portofolio dari negara berkembang. 

Pada jangka menengah, pendapatan negara berkembang dari ekspor ke Amerika akan berkurang sehingga dampak negatifnya akumulatif. Dua negara besar di Eropa, Prancis dan Jerman, akan melakukan pemilihan umum pada 2017. Isu besar yang dihadapi adalah populisme dan semangat menutup diri. 

Apabila calon dari kubu tersebut berhasil menjadi presiden Prancis dan kanselir Jerman, dampak negatif bagi ekonomi negara berkembang akan makin besar. Tantangan besar kelima bagi ekonomi Indonesia pada 2017 adalah kondisi ekonomi China. Walau masih menembus 6,5%, pertumbuhan ekonomi di China terus melambat dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Pada 2016 China sempat mengalami guncangan nilai saham serta nilai tukar yang signifikan dan memiliki debt to GDP ratio sebesar 247%. Sebagai perekonomian kedua terbesar dunia dan sasaran 11,5% ekspor Indonesia pada 2016, perlambatan dan guncangan ekonomi di China akan terasa dampaknya bagi Indonesia. 

Tantangan pertama dan kedua berada di dalam negeri dan bisa diatasi dengan kebijakan yang tajam dan disiplin dalam implementasi. Namun, tiga tantangan berikutnya ada di luar negeri sehingga pemerintah perlu mempersiapkan beberapa skenario serta sigap dalam merespons sehingga 2017 dapat menjadi tahun pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat.

BERLY MARTAWARDAYA 
Dosen FEB-UI, Ekonom INDEF dan 
Ketua PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)