Tuesday, April 12, 2016

Melawan Kesenjangan Ekonomi


Sejak 2012 koefisien gini yang menyatakan kesenjangan ekonomi berada pada angka 0,41, jauh lebih tinggi dari tahun 1990 yang masih pada kisaran 0,3. Ini berarti terjadi kenaikan lebih dari sepertiga.  

Lebih parah lagi, studi Bank Dunia (2015) menemukan bahwa pada periode 2001-2014 masyarakat yang merupakan 10% termiskin di Indonesia mengalami penurunan pendapatan sekitar 20%. Sementara 10% terkaya mengalami kenaikan pendapatan sekitar 60%, yang miskin menjadi kian miskin dan yang kaya makin kaya. 

Kalau kita bandingkan dengan negara tetangga, secara nilai absolut kesenjangan di Indonesia masih lebih baik dari Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun, ketiga negara itu berhasil mengurangi kesenjangannya sejak dekade 1990-an. Indonesia dalam kategori yang sama dengan China, India, dan Laos, juga mengalami kenaikan kesenjangan di ASEAN pada periode yang sama. 

Apakah kondisi ini normal? Pada 1955 Simon Kutznet memublikasikan temuannya yang masih diperdebatkan sampai sekarang tentang kesenjangan. Menurut Kutznet pada awal pembangunan dan ketika pendapatan per kapita masih rendah kesenjangan juga rendah. Ketika pendapatan naik maka kesenjangan naik, sampai pada satu titik di mana pendapatan naik tapi kesenjangan menurun. 

Saat ini negara maju dan kaya seperti Swedia dan Norwegia memiliki tingkat kesenjangan lebih rendah dibanding Indonesia pada dekade 1990-an. Namun, apakah menurunnya kesenjangan sesuatu yang akan terjadi dengan sendirinya atau perlu ada kebijakan pemerintah secara eksplisit? 

Kuasa 1%  
Tahun-tahun muncul gejala menguatnya perhatian media, masyarakat, dan pembuat kebijakan pada kesenjangan ekonomi. Gerakan Occupy Wall Street dimulai tahun 2011 dengan slogan tajamnya "We are the 99%". Mereka secara efektif menunjukkan betapa 1% dari populasi menguasai sumber daya ekonomi secara sangat tidak proporsional. 

Pada 2015 Oxfam (lembaga swadaya masyarakat terkemuka di Inggris), melakukan studi yang menemukan bahwa bila harta 62 orang terkaya di dunia dijumlahkan, maka masih lebih besar dibandingkan 50% kekayaan penduduk dunia. Sungguh timpang perekonomian global. 

Thomas Piketty menulis karya besarnya pada 2013, Capital in the 21st Century , yang telah terjual 1,5 juta kopi. Argumen utama yang diajukan Piketty bahwa kesenjangan ekonomi adalah dampak dari kapitalisme yang hanya bisa dikurangi dengan kebijakan aktif negara. Apabila kesenjangan dibiarkan terus melebar, orang superkaya akan bisa memengaruhi kebijakan ekonomi untuk lebih menguntungkan kaum kaya dan demokrasi akan terancam. 

Rumus yang diajukan Piketty adalah membandingkan pertumbuhan pendapatan dari berbagai bentuk kapital (bunga tabungan/obligasi, dividen saham, dan lain-lain) dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan dari gaji. Apabila yang pertama terus lebih tinggi daripada yang kedua, kesenjangan akan terus melebar. 

Warren Buffet, salah satu orang terkaya dunia dengan aset USD66 miliar, menyatakan bahwa dirinya membayarkan pajak pada tingkat (tax rate) lebih rendah dari sekretarisnya. Karena pendapatannya berasal dari saham dan obligasi yang tingkat pajaknya lebih rendah dari gaji pegawai. 

Melawan Kesenjangan  
Ada mazhab ekonomi yang menyatakan bahwa masyarakat harus memilih apakah mendahulukan pertumbuhan ekonomi atau mengurangi kesenjangan. Namun, tidak sedikit studi yang menyatakan bahwa mengurangi kesenjangan juga mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Jerman pada masa kepemimpinan Kanselir Biscmark secara sadar memberikan jaminan sosial dan memberikan pendidikan yang berkualitas pada warganya terlepas dari kemampuan ekonomi. Jerman menjadi negara yang tinggi produktivitas dan pendapatannya, sambil menjaga kesenjangan rendah. Strategi ini kemudian ditiru oleh beberapa negara. 

Kondisi di Indonesia menghadapi kesenjangan tajam antara kota dan desa, khususnya di daerah terpencil, pegunungan, dan pulau kecil.  Studi menemukan bahwa di kota terdapat 8% masyarakat yang sulit mengakses layanan kesehatan dan 7% untuk pendidikan. Namun, di perdesaan angkanya meloncat ke 41% dan 40%. Sangat jomplang. 

Bayangkan bila kita tinggal di salah satu dari 2.519 desa terpencil yang belum tersambung  listrik. Kelas di sekolah tanpa lampu dan anak kecil tidak bisa belajar di malam hari. Lantaran tanpa pompa air, banyak waktu akan dihabiskan untuk mengangkut air dari sungai terdekat yang belum tentu higienis. 

Anak yang selama balita terjangkit penyakit infeksi akibat air tidak bersih terancam terganggu pertumbuhannya sehingga ketika dewasa sulit menjadi warga yang produktif. Saat ini proporsi anak di Indonesia yang terhambat pertumbuhannya lebih dari dua kali lipat Malaysia dan Thailand. 

Bila tidak ada perubahan, kemiskinan itu diwariskan ke generasi berikutnya. Berkebalikan dengan itu, anak-anak di kota memiliki akses luas ke layanan pendidikan, kesehatan, dan internet sehingga lebih siap bersaing. 

Mengurangi kesenjangan tidak bisa dipisahkan dari membangun desa sehingga lingkaran setan kemiskinan bisa diputus. Jangan lagi terulang anak dari keluarga miskin sering sakit karena kurang air bersih dan tidak bisa belajar dengan baik, serta tidak tinggi pendidikannya sehingga berpendapatan rendah. 

Jaringan listrik yang saat ini masih hanya menjangkau 81,5% masyarakat menjadi sangat penting untuk menaikkan kesejahteraan dan kesempatan penduduk desa. Berikutnya adalah akses ke air bersih sehingga mengurangi kerentanan terhadap penyakit, khususnya bagi balita. 

Diikuti berikutnya dengan akses terhadap pendidikan berkualitas sehingga bisa meningkatkan taraf hidup generasi mendatang. Keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk rakyat miskin perlu diprioritaskan, sehingga keluarganya tidak terbelit utang apabila suatu waktu sakit berat atau mengalami kecelakaan. 

Program-program tersebut tidak murah dan tidak dapat ditutup hanya dari dana desa. Pemerintah perlu mengubah kebijakan di mana pendapatan dari simpanan bank, obligasi dan jual beli saham, serta jual beli tanah, dianggap sebagai pajak final dengan tarif yang lebih rendah dari pada tingkat pajak dari gaji sesuai saran Piketty dan Warren Buffet. 

Mencapai pertumbuhan yang merata serta membalikkan kesenjangan dengan timpangnya posisi tawar rakyat miskin di Indonesia sungguh tidak mudah dan perlu waktu. Tapi pepatah mengatakan, runtuhnya negara karena diamnya orang-orang baik. Mumpung masih ada waktu, lawan!




Friday, April 8, 2016

Reshuffle, Tahun Penentuan dan Kabinet Muda


Kompas.com, 8 April 2016 (Original link)

Angin re-shuffle kembali berhembus kuat.  Jokowi sudah beberapa kali menyatakan bahwa menteri yang tidak berhasil melaksanakan target pembangunan yang ditetapkan bisa dicopot. Sekjen PDIP juga sudah membenarkan bahwa re-shuffle rasanya akan dilakukan.
Setelah sekitar satu setengah tahun menjabat, evaluasi yang obyektif tidak sulit untuk dilakukan. Tinggal dibandingkan target yang ditetapkan di awal, sejauh mana yang sudah tercapai. Waktu 18 bulan juga cukup untuk menilai kemampuan seseorang menteri untuk memimpin kementriannya, koordinasi intern pemerintah dan komunikasi publik
Jadwal pembahasan APBN-P akan segera dimulai. Target penerimaan, khususnya pajak, harus segera diturunkan berdasar realisasi tahun lalu sehingga pengeluaran/belanja juga harus di turunkan. Pembahasan ini idealnya tidak dilakukan oleh menteri yang akan diganti. Sebaliknya menteri baru jangan dikerangkeng oleh keputusan mentri lama. Ergo, re-shuffle akan terlaksana dalam waktu dekat.
Tahun 2015 kita menyaksikan masalah yang hampir lengkap. Di parlemen kita saksikan KMP yang solid menghadang pemerintah dan mengambil semua kursi di pimpinan DPR dan alat kelengkapan.  The Fed menghantui ekonomi seluruh negara berkembang termasuk Indonesia dengan kenaikan suku bunganya. Kebakaran hutan mengganggu kesehatan dan menurunkan produktivitas banyak rakyat Indonesia.
Internal pemerintah pun disibukkan dengan penggabungan dan pembentukan kementrian baru dan seleksi dirjen sehingga terjadi perlambatan pencairan APBN di banyak kementrian/lembaga. Hingar bingar politik sangat ramai dengan pelaksanaan 269 pilkada di segenap penjuru Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pun hanya mencapai 4,79 % yang terendah sejak krisis sub-prime mortgage tahun 2009.
Tahun Pembuktian
Tahun 2016 adalah kebalikan 2015. Ekonomi dunia mulai membaik dan oposisi di parlemen melunak. Bahkan PAN sudah menyatakan bergabung dan mendukung pemerintah. Re-strukturisasi kementrian dan seleksi eselon di semua kementrian/lembaga juga (hampir) tuntas.
Issue besar yang membuat gaduh antar menteri di kabinet seperti Masela juga sudah diputuskan oleh Jokowi sehingga sekarang adalah masa implementasi dan detil pelaksanaan. Walau sudah dimulai genderangnya, tapi tahun ini tidak ada pilkada sehingga suhu politik tidak begitu tinggi. Pemilu legislatif dan presiden masih tiga tahun.
Sehingga tahun 2016 adalah kesempatan bagi pemerintah Jokowi-JK untuk menunjukkan kinerja dan mewujudkan janji-janji politiknya. Bila tahun ini program pemerintah, khususnya infrastruktur dan maritim, banyak yang mangkrak dan tidak banyak kemajuan maka akan sulit untuk merengkuh suara mayoritas di 2019 dan terpilih kembali. 
Kabinet Muda
Tanpa ingin mengulang debat potong satu generasi yang sempat ramai dan dengan mengakui keterlibatan beberapa orang berusia muda (dibawah 50 tahun) dalam berbagai kasus korupsi, tapi ada beberapa karakter yang lebih identik dengan kaum muda yang diperlukan dalam kabinet mendatang.
Karakter penting pertama adalah semangat dan stamina kerja. Tantangan menteri  dan harapan publik semakin tinggi. Dibutuhkan orang dengan semangat dan stamina kerja  hampir 7 hari seminggu untuk ngebut dan bergerak cepat memanfaaatkan sisa waktu tiga tahun lagi.  Liputan media dan aktivitas sosial media yang intens mengharuskan menteri untuk banyak turun ke masyarakat dan menyampaikan programnya ke publik
Karakter penting kedua adalah imajinasi. Kalau dulu yang pentingwork harder, maka sekarang work smarter lebih utama. Perubahan teknologi dan disrupsi dalam dunia semakin masif.  Menteri yang masih terjebak pada pola pikir lama dan tidak bisa menyesuaikan dengan perkembangan teknologi serta kemasyarakatan  serta menjalankan evidence-based policy akan sulit membawa Indonesia menjadi negara yang kompetitif di era AFTA dan MEA.
Karakter ketiga adalah bebas dari dosa masa lalu serta perilaku koruptif. Masyarakat Indonesia mencapai turning point sehingga perilaku KKN tidak lagi diterima. Apakah dari parpol atau non-parpol, hendaknya menteri di kabinet tidak terkait kelompok predator politik dan ekonomi yang sudah sedemikian lama  menghisap kekayaan Indonesia.
Semoga Jokowi-Jk memanfaatkan momentum re-shuffle sehingga kabinet dipenuhi orang berjiwa muda yang mampu mewujudkan NawaCita dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.