Tuesday, February 23, 2016

2016: Tahun Vivere Opportunita

Siperubahan.com (original link)
23 Februari, 2016

Pada tanggal 17 agustus 1964, Soekarno selaku Presiden RI menyampaikan pidato pada upacara peringatan kemerdekaan berjudul “Tahun Vivere Perocoloso” yang berarti tahun penuh marabahaya
Dunia memang sedang gonjang ganjing saat itu. Tahun 60-an adalah puncak perang dingin antara dua super power. Eskalasi konflik antar Uni Sovyet dan Amerika Serikat hampir berujung pada konflik bersenjata di Kuba pada tahun 1962. Amerika sendiri terjebak perang gerilya di Vietnam dan pergolakan kesetaraan hak yang dipimpin Martin Luther King.
Indonesia pada tahun 1963 menjadi tuan rumah Ganefo (Games of Emerging Forces) yang diikuti 51 negara dari Asia, Afrika dan Amerika Latin serta dimaksudkan sebagai tandingan Olimpiade. Konfrontasi dengan Malaysia makin memanas dan dalam negeri terjadi persaingan ketat antara militer dengan PKI.
Sambil dihadiri puluhan ribu pendukunganya, Sukarno menyerukan untuk meneruskan revolusi Indonesia dan menutup dengan seruan: Hayo, maju terus! Jebol terus! / Tanam terus! Vivere pericoloso! Ever onward, never retreat! /Kita pasti menang.    
Pada tahun 1965 terjadi penculikan para jendral TNI oleh PKI dan pada tahun 1966 pidato Nawaksara yang berisi pertanggunjawaban Soekarno ditolak oleh MPRS. Orde Baru pun dimulai.
Karakter 2016
Tahun 2016 memiliki karakter yang berbeda. Walaupun dunia masih belum sepenuhya damai, khususnya di Timur Tengah, namun resiko perang nuklir dan kehancuran umat manusia sudah jauh berkurang. Amerika adalah pembeli terbesar produk China dan salah satu investor terbesar di Vietnam. Indonesia sudah bergabung kembali ke PBB di tahun 1966 dan membentuk Asean bersama Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura tahun 1967 yang berkembang menjadi Masyarakat Ekonomi Asean yang diresmikan tahun 2015.
Politik domestik juga berubah jauh dibandingkan awal tahun 2015 dimana Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi di parlemen menyapu bersih kursi pimpinan MPR, DPR serta alat kelengkapannya. PAN menyatakan mendukung pemerintah dan tinggal menunggu reshuffle untuk masuk kabinet. Golkar dan PPP terpecah  dua dengan pimpinan masing-masing mendekat ke ke pemerintah. Presiden PKS sudah sowan ke istana dan Sekjen Gerindra bahkan menyatakan bahwa KMP sudah bubar.
Lebih khusus lagi, tidak ada pilkada tahun ini yang menyita energi politik. Sehingga tahun 2016 adalah kesempatan emas bagi pemerintah untuk mewujudkan namanya, yaitu bekerja.
Tiga Prioritas
Namun sebelum pemerintah bisa menggerakan dan merubah masyarakat, pertama-tama harus terlebih dahulu menggerakkan dan merubah dirinya sendiri. Reformasi birokrasi dan penerapan revolusi mental pada pemerintah adalah prioritas pertama.
Setelah hampir satu setengah tahun sejak dilantik, Jokowi-JK sudah bisa melihat mana menteri-menterinya yang sudah bekerja efektif dan mana yang tidak bisa mewujudkan target yang dicanangkan. Sudah waktunya dilakukan reshuffle jilid dua sehingga para menteri bisa menggerakkan kementerian untuk berlari cepat.
Proses lelang jabatan (open recruitment) pada tingkat eselon 1 (deputi/dirjen) dan eselon 2 (direktur) perlu dijaga untuk menarik orang-orang terbaik karena pada level inilah implementasi kebijakan terjadi. UU Aparatur Sipil Negara (ASN) membuka kemungkinan bagi non-PNS untuk menduduki posisi tersebut tapi sampai sekarang tidak banyak yang mengikuti seleksi. Untuk mengurangi ketimpangan informasi, maka daftar jabatan yang dibuka perlu deadline-nya perlu di agregasi dalam satu website yang bisa di akses publik.
Pada tingkat menengah, maka perlu ada target kinerja individual yang terukur dan di evaluasi setiap tahun di segenap kementrian dan lembaga pemerintah. Sehingga bisa dilakukan analisa beban kerja serta perencanaan karir yang matang. Beberapa lembaga yang sudah menjalankan seperti Kemenkeu dan BPK dapat menjadi contoh dan template bagi yang lain.
Data kemiskinan BPS yang diumumkan  pada bulan September 2015 menunjukkan kenaikan jumlah penduduk miskin sebesar 852 ribu. Studi INDEF menemukan sebagian besar dari kenaikan tersebut disebabkan karena kenaikan harga beras yang merupakan hampir sepertiga komponen pengularan rakyat miskin. Ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau angan adalah prioritas kedua
Walaupun swasembada beras adalah tujuan yang mulia dan patut diperjuangkan. Namun perwujudannya membutuhkan waktu. Presiden Jokowi memberikan waktu tiga tahun pada menteri pertanian. Rentang waktu yang wajar mengingat perbaikan infrastrukturm distribusi pupuk serta pengembangan bibit membutuhkan waktu. Namun alergi berlebihan pada impor beras di kala El Nino menyerang menyebabkan kenaikan harga beras pada awal 2015.
Setelah menurun di periode September-November 2015, harga beras kembali merangkak sejak bulan Desember 2015. Semoga Indonesia menjadi negara yang tidak mengulangi kesalahan serta tahu perbedaan strategi jangka menengah dengan langkah taktis jangka pendek.
Pada jangka panjang, pemerintah harus mulai mendorong diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan terhadap beras yang terutama di produksi di Jawa serta membutuhkan biaya transportasi yang cukup tinggi untuk pengiriman (khususnya ke Indonesia timur). Pada pidatonya Soekarno menyatakan “Tambahlah menu-berasmu dengan jagung, dengan ubi, dengan lain-lain! Jagung adalah makanan sehat, kacang adalah makanan sehat! Campur menumu, campur menumu! Saya sendiri sedikitnya seminggu sekali makan jagung, dan badanku, lihat!, adalah sehat.”
Indonesia sejak tahun 2011 mengalami perlambatan pertumbuhan ekononomi, berkurangnya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesenjangan (antar individu dan Jawa-luar Jawa). Ketiga hal ini tidak bisa dipisahkan dari de-industrialisasi yang kita alami. Sektor Industri adalah motor pertumbuhan dan penyerap kemiskinan di banyak negara termasuk di Indonesia selama Orde Baru. Membangkitkannya adalah prioritas ketiga pemerintah.
Setelah terjadinya krismon 98, investasi dan kinerja manufaktur melambat. Untuk mendorongnya tidak mudah. Sekarang ada China, Vietnam, Thailand dan Malaysia yang berkompetisi ketat untuk meraih investasi industri yang menghasilkan nilai tambah tinggi. Supaya investor memilih Indonesia di era MEA, maka harus disiapkan infrastruktur, energi dan kemudahan iklim usaha khususnya perijinan.
Hasil survey Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2015 untuk membuka usaha di Jakarta masih membutuhkan 46 hari. Jauh lebih lama dibandingkan di Thailand (27,5 hari), Malaysia (4 hari) dan Singapura (2,5 hari).  Jaringan listrik masih belum terdistribusi dengan merata di luar Jawa dan kalaupun tersambung masih sering byar pet. Kondisi jalan, pelabuhan serta saluran telpon juga masih timpang. Alokasi APBN yang besar untuk infratruktur harus diwujudkan seoptimal mungkin tahun ini.
Opportunita vs Pericoloso
Apabila pemerintah serius bekerja memperbaiki birokrasi, mejaga ketahanan pangan dan mendorong industrialisasi, maka masih ada harapan untuk bertahan serta bersaing di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). 
Tapi apabila masyarakat melihat bahwa kesempatan emas di tahun 2016 ini disia-siakan, maka tahun penuh kesempatan (Vivere Opportunita) bisa berubah menjadi tahun penuh marabahaya (Vivera Pericoloso). Jangan sekali-kali lupakan sejarah. 

Monday, February 1, 2016

Simalakama Saham Freeport

Kompas, 1 Februari 2016 (original link)





Freeport tak henti memproduksi berita dan dilema. Setelah kegaduhan kasus "papa minta saham" memicu mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR, James R Moffett yang pendiri dan chairman perusahaan juga mundur dari induk perusahaan Freeport- McMoRan Inc. Kemudian pada awal Januari 2016, Maroef Sjamsoeddin mundur dari posisi Direktur Utama PT Freeport Indonesia.

Ketiga pengunduran diri itu tak terlepas dari isu perpanjangan dari kontrak Freeport yang akan berakhir 2021. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan paling cepat diajukan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yaitu 2019. Namun, kondisi internal perusahaan dan regulasi menyebabkan Freeport sulit menunggu tiga tahun lagi.

UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara mensyaratkan perusahaan tambang membangun smelter untuk mengolah dan memurnikan bijih tambang di dalam negeri. Pembangunan smelter Freeport diperkirakan butuh biaya 2,3 juta dollar AS (sekitar Rp 31 triliun).

Lebih lanjut lagi, cadangan mineral Grasberg yang selama ini digali dengan metode terbuka (open pit) Freeport akan terkuras habis pada pertengahan 2016. Sasaran berikut adalah cadangan tembaga dan mineral yang berada pada posisi cukup dalam sehingga perlu menggali terowongan (underground mining) dengan biaya lebih tinggi. Estimasi investasi yang diperlukan 81 miliar dollar AS atau Rp 1.215 triliun.

Padahal, laporan keuangan perusahaan induk Freeport 2014 menyatakan kerugian 1,3 miliar dollar AS (setara Rp 18 triliun). Laporan keuangan 2015 belum keluar, tetapi dengan turunnya harga komoditas akan sulit meraih untung. Lebih parah lagi, upaya diversifikasi dengan pembelian ladang minyak di Meksiko beberapa tahun lalu juga jeblok dengan rendahnya harga minyak dunia. Akibatnya, saham induk perusahaan Freeport jatuh dari 60 dollar AS di akhir 2010 menjadi hanya 3,5 dollar AS awal Januari 2015.

Kondisi keuangan perusahaan yang seret dan merugi menyebabkan Freeport perlu merayu bank investor untuk membangun smelter dan tambang bawah tanah, tetapi tanpa kepastian perpanjangan kontrak, hanya sedikit bank dan investor yang berani mengambil risiko.

Di ujung tenggat ketentuan divestasi, PT FI mengumumkan penawaran saham 10,96 persen dengan nilai 1,7 miliar dollar AS, atau setara Rp 23,7 triliun, di mana pemerintah mempunyai hak pertama untuk membeli. Apakah sebaiknya pemerintah membeli atau tidak? Apa konsekuensi dari tiap pilihan?

Sebelum menganalisis kondisi dan kebijakan untuk Freeport masa kini, perlu dipahami konteks historisnya. Orde Baru dimulai dengan menghadapi rendahnya pertumbuhan dan tingginya kemiskinan serta rendahnya penerimaan negara sehingga wajar salah satu prioritas utama pemerintah masa itu adalah menarik investasi asing. UU No 1/1967 tentang Modal Asing dan UU No 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan memberikan posisi yang amat kuat pada penanam modal.

Dengan kondisi ekonomi dan posisi tawar yang lemah, pada 7 April 1967 Pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya (KK) dengan PT FI, anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang berbasis di AS. PT FI memperoleh konsesi wilayah penambangan lebih 1.000 hektar dengan waktu konsesi 30 tahun serta bisa diperpanjang dua kali.

Di antara klausul pada KK Freeport adalah apabila terjadi perubahan perundangan tentang pertambangan, kontrak tetap berdasarkan UU No 11/1967 dan tak mengikuti perubahan (lex specialis). Perpanjangan pertama seharusnya baru diberikan 1997, tetapi dilakukan 1991, enam tahun sebelum berakhirnya kontrak sehingga KK Freeport berlaku sampai 2021.

Dua opsi

Penawaran awal Freeport 1,7 miliar dollar AS untuk 10,64 persen saham kalau dibandingkan jumlahnya hampir sama dengan anggaran Kementerian ESDM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan digabungkan. Sungguh bukan jumlah yang kecil dan menurut banyak pihak terlalu mahal (overvalued). Menurut Pasal 97 Ayat 7 di PP 77/2014, pemerintah hanya memiliki waktu 60 hari untuk memutuskan apakah membeli atau tidak.

Namun, secara fundamental penawaran saham ini menghadapkan pemerintah pada opsi yang tadinya baru harus diputuskan pada 2019. Jika pemerintah tak membeli, tetapi kontrak Freeport diperpanjang, maka akan dipertanyakan masyarakat karena menyia-nyiakan peluang kepemilikan negara. Namun, jika membeli sekarang, tetapi tak diperpanjang, maka akan menjadi sia-sia karena tanpa keluar sepeser pun pada 2021 wilayah tambang Freeport akan kembali hak penggunaannya ke negara.

Keputusan pembelian saham dan perpanjangan perlu dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan. Pemerintah perlu segera mengumpulkan para pakar dan praktisi tambang dan menetapkan dalam dua bulan apakah keberadaan Freeport di Papua diperpanjang atau tidak.

Jika hasil kajian menunjukkan bahwa kinerja pertambangan Freeport positif dan pengalihan ke pihak lain akan menurunkan produktivitas secara signifikan, maka diumumkan bahwa hak pengelolaannya akan diperpanjang di 2019 dengan diikuti negosiasi serius untuk menurunkan harga saham divestasi secara rasional. Kalau opsi ini diambil, perlu ada penegasan bahwa Freeport harus mengikuti ketentuan UU Minerba, meningkatkan royalti dan perbaiki pengolahan limbah. 

Opsi kedua adalah mengikuti pola di Blok Mahakam, di mana BUMN mengambil alih operasi dengan tetap bekerja sama dengan perusahaan internasional untuk menjaga produktivitas. Jika opsi ini diambil, pemerintah perlu tegas menyatakan dari sekarang bahwa kontrak Freeport tidak diperpanjang dan pemerintah tak akan menggunakan hak pembelian saham dari divestasi. Tim pengambil alih perlu disiapkan dari sekarang sehingga perencanaan matang dan prosesnya berjalan lancar.

Dalam dua bulan, kelanjutan Freeport di Papua akan ditetapkan. Semoga keputusan yang diambil memberikan manfaat nyata untuk rakyat Indonesia.