Thursday, December 16, 2010

Mencermati Program Pembatasan BBM Bersubsidi


Liputan6.com (original link)
16/12/2010 12:57
Berly Martawardaya


Thomas Agustine, filsuf Romawi terkemuka, menyatakan bahwa kesempurnaan manusia adalah ketika menemukan ketidaksempurnannya. Lebih lanjut, ia menjelaskan, manusia sebagai makhluk yang diciptakan berdasarkan profil Yang Maha Sempurna (Imago Dei) memiliki insting untuk terus berupaya mencapai kesempurnaan dalam berbagai aktivitasnya. Sebagai manusia dengan berbagai keterbatasan, yang dapat dicapai bukan kesempurnaan namun yang terbaik dalam berbagai batas yang ada. Kerendahan hati dan kesadaran diri adalah bagian penting dari beragama.

Ekonomi memiliki pendekatan yang banyak kemiripan dengan Thomas Agustine. Dunia yang sempurna akan menghasilkan kebijakan ekonomi yang sempurna (first best solution) untuk mengatasi masalah dan membawa maanfaat positif tanpa menimbulkan masalah baru.

Pembatasan BBM bersubsidi telah diundur tiga kali pelaksanaannya: Oktober 2010, Januari 2011, dan terakhir Maret 2011 setelah rapat 14 jam antara pemerintah dan DPR. Dengan kuota subsidi hanya 38,6 juta kiloliter, dibutuhkan pembatasan konsumsi untuk tidak melebihi dana yang dialokasikan untuk subsidi di APBN 2011. Penghematan diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Mari kita kaji kesempurnaan apa saja yang dibutuhkan supaya kebijakan ini berhasil. Dari depo BBM untuk sampai ke konsumen maka akan melalui tiga tahap penting dan rawan penyelewengan. Tahap pertama adalah ada penjagaan ketat dan mekanisme kontrol di tiap truk pengangkut bensin bahwa tidak ada premium yang dicuri di tengah jalan lalu dijual dan sisanya diencerkan dengan cairan lainnya. Perlu gembok yang dikunci setelah diisi di depo yang hanya bisa dibuka di pom bensin sesuai tujuan.

Tahap kedua adalah ketika BBM bersubsidi berada di pom bensin. Jangan sampai ada pemilik pom bensin nakal yang melakukan pengenceran serupa dan mengambil untung secara tidak legal. Perlu ada random check atas kualitas dan kemurnian premium di tiap pom bensin yang diumumkan secara terbuka dengan sanksi pencabutan izin bagi pelanggar.

Tahap ketiga, transaksi penjualan antara pom bensin dan konsumen, membutuhkan paling banyak perubahan interaksi dengan adanya rencana pembatasan. Ada dua opsi yang diajukan BP Migas: Opsi pertama melarang semua kendaraan beroda empat berplat hitam mengonsumsi BBM bersubsidi. Artinya, hanya kendaraan umum, kendaraan beroda dua dan tiga, serta nelayan yang berhak. Sedangkan, opsi kedua melarang kendaraan beroda empat berpelat hitam keluaran di atas 2005 mendapatkan BBM bersubsidi.

Kedua opsi tersebut membutuhkan identifikasi mana yang dapat beli bensin bersubsidi dan mana yang tidak diperbolehkan. Bila pembatasan berdasarkan tahun yang pilih maka apakah setiap membeli bensin harus menunjukkan STNK sehingga terlihat tahun pembelian mobil tersebut? Bisa saja dipasang stiker dan sign untuk menyiapkan STNK ketika membeli BBM bersubsidi sehingga tidak memperlama waktu dan perpanjang antrian, namun masyarakat kita belumlah sempurna.

Akan sangat mungkin muncul upaya persuasi, baik secara kasar dengan ancaman fisik dan secara halus dengan selipan sepuluh ribuan, dari konsumen supaya bisa membeli BBM bersubsidi walaupun kendaraannya berusia kurang dari lima tahun. Pegawai pom bensin, yang biasanya berpendapatan rendah dan minim perlindungan intimidasi karena lokasi kerjanya diketahui, akan sulit untuk secara konsisten melaksanakan kebijakan pembatasan. Kecuali jika ditempatkan aparat/kamera di tiap pom bensin untuk mengawasi semua transaksi pembelian BBM bersubsidi.

Bila ada stiker yang ditempel di kaca mobil menandakan tahun pembelian sehingga tidak perlu menunjukkan STNK tidak hilangkan potensi intimidasi. Bahkan bertambah lagi pintu penyelewengan di institusi yang menerbitkan stiker tersebut. Dan, jangan lupa bahwa pemalsuan produk bermerk terkenal amat marak di Indonesia. Kalau hanya stiker, walau berhologram, tentu tidak kebal dari pemalsuan.

Tahap keempat adalah memastikan tidak ada penjualan dari penerima BBM bersubsidi kepada yang ditetapkan tidak boleh membeli. Mobil plat kuning, dan mobil plat hitam pra-2005 bila opsi ini yang dipilih, dapat mengisi tanki bensin mereka dengan BBM bersubsidi dan menikmati durian runtuh dengan menjual kembali.

Untuk apa angkot dan bis umum lelah menempuh macet serta menghadapi preman yang menuntut setoran bila sekali ke pom bensin mereka bisa beli menikmati keuntungan bersih paling tidak seribu rupiah per liter?! Bila isi tangki 30 liter, totalnya Rp 30 ribu. Mengapa tidak sehari 50 kali ke pom bensin sehingga dapat untung Rp 1,5 juta per hari dan menikmati hidup ala manajer perusahaan multinasional?

Solusi yang ditawarkan untuk masalah baru ini adalah smart card dengan kuota wajar BBM bersubsidi yang boleh dibeli secara legal. Namun kebijakan ini membutuhkan penerbitan smart card dan mesin pembacanya di ratusan ribu pom bensin di segenap penjuru Indonesia. BI baru mengumumkan bahwa transisi ke smart card di kartu debit dan kredit membutuhkan waktu lima tahun untuk diimplementasikan. Bila bank yang sudah berpengalaman dan memiliki SDM mumpuni membutuhkan lima tahun, apakah itu berarti baru pada 2015 pembatasan BBM bersubsidi dapat efektif dilakukan? Ingat bahwa smart card tak menghilangkan potensi intimidasi atau penyuapan ke pegawai pom bensin.

Tahap kelima adalah potensi penimbunan. Bila tanggal pembatasan sudah diumumkan jauh-jauh hari, dapat dipastikan beberapa minggu sebelumnya akan terjadi kelangkaan premium besar-besaran. Pemilik pom bensin akan sulit menghalangi masyarakat yang akan dilarang membeli BBM bersubsidi untuk membeli volume besar dan melakukan penimbunan. Lain halnya bila pada malam hari mendadak ada pengumuman di TV bahwa besok akan dimulai kebijakan pembatasan sehingga tidak sempat terjadi penimbunan secara terorganisir.

Richard Lipsey dan Kevin Lancaster (1956) pada makalah ilmiah yang sangat banyak dirujuk, menyatakan bahwa pada dunia yang tidak sempurna maka lebih baik mengakui berbagai ketidak sempurnaan dan memformulasikan kebijakan spesifik (second best solution) untuk mencapai tujuan. Kebijakan pembatasan BBM yang membutuhkan sedemikian banyak kesempurnaan di kondisi Indonesia yang jauh dari sempurna akan sulit dijalankan secara efektif.

Indonesia yang telah menjadi net-importir minyak dan keluar dari OPEC perlu belajar dari Norwegia yang menggunakan pendapatan minyaknya untuk memperkuat competitive-ness negara serta memiliki kebijakan komprehensif jangka panjang. Pengurangan konsumsi BBM tidak dapat dilepaskan dari pengembangan transportasi publik yang nyaman, aman, dan terpercaya. Tak sepatutnya subsidi pemerintah sedemikian besar terus dinikmati kalangan menengah atas yang memang vokal dan dapat menyuarakan ketidakpuasan, beda dengan petani dan nelayan miskin yang hanya bisa pasrah pada kebijakan yang merugikan. Pengembangan energi alternatif di Indonesia yang kaya sinar matahari, angin, panas bumi, dan ombak juga perlu menjadi prioritas riset dan program pemerintah.

Sebagai penutup, ada baiknya kita merenungkan pepatah bijak ini,"To err is human. To acknowledge it and remedy the mistake is divine."


Penulis adalah staf pengajar FE Univeritas Indonesia dan Ekonom Senior Indef